Senin, 06 Februari 2012

Dari Al-Azhar, Terbitlah Kebebasan Dasar


Dari Al-Azhar, Terbitlah Kebebasan Dasar
Novriantoni Kahar, ALUMNUS UNIVERSITAS AL-AZHAR, PENGAMAT TIMUR TENGAH
Sumber : KORAN TEMPO, 6 Februari 2012


Di tengah kegalauan sosial-politik dan ekonomi yang sedang melanda Mesir pasca-Mubarak, Al-Azhar datang dengan inisiatif jitu. Pada 8 Januari lalu, dimotori Grand Syekh Ahmad Thayyib dan disokong intelektual lintas faksi, institusi pendidikan tertua di dunia Islam ini mengeluarkan empat butir manifesto yang diberi nama “Dokumen Kebebasan Dasar”(Watsiqah al-Hurriyyat al-Asasiyyah).

Dokumen ini diharapkan akan mengilhami dan menjadi landasan Konstitusi Mesir baru yang sedang merambah jalan demokrasi. Sebelum dokumen ini, Al-Azhar telah mengeluarkan imbauan untuk “Menuntaskan Tujuan Revolusi dan Mengembalikan Elan Vitalnya”. Imbauan berisi 12 butir itu lebih menyasar Dewan Tinggi Militer dan mengimbaunya agar— antara lain—mengembalikan kedaulatan sipil, menyelenggarakan pemilu yang bebas dan adil, lalu kembali ke barak.

Sementara itu, Dokumen Kebebasan Dasar berisi empat aspek kebebasan yang dianggap vital sebagai visi Mesir yang bebas dan demokratis. Ia mencakup (1) kebebasan berkeyakinan, (2) kebebasan berpikir dan berekspresi, (3) kebebasan riset ilmiah, serta (4) kebebasan kreasi seni dan budaya.

Dokumen Kebebasan

Terobosan ulama Al-Azhar ini bagaikan oasis di tengah-tengah keringnya inisiatif-inisiatif yang kredibel tentang visi Mesir pascaMubarak. Al-Azhar menyuguhkan sebuket mawar untuk semua, karena hampir segenap kekuatan sosial-politik Mesir mendukung dan mengelu-elukan Dokumen, kecuali kubu ultra-konservatif Salafi. Namun, bagi kalangan Ikhwani tua—apalagi Salafi—Dokumen ibarat serangan dini yang kelak akan membatasi manuver-manuver mereka untuk mengeluarkan legislasi-legislasi sosial yang konservatif dan anti-kebebasan. Meski begitu, calon presiden dari AlIkhwan al-Muslimun, Abu Mun’im Abu alFutuh, menyambut positif dan tak sungkan menyebutnya sebagai pelengkap spirit revolusi Mesir.

Hanya, di Mesir berlaku adagium ini: engkau tak bisa mempercayai (kejujuran pandangan-pandangan) Ikhwani, tapi engkau mungkin hidup bersama (moderasi sosial) mereka.Terhadap Salafi, engkau dapat mempercayai kejujuran (pandangan-pandangan) mereka, tapi engkau akan kesulitan hidup bersama (visi ultra-konservatif) mereka. Bisa diduga, Al-Azhar dan kalangan pengusung Dokumen berpandangan bahwa paras moderasi Ikhwan terkini masih perlu diletakkan dalam konteks menyambut kekuasaan. Sementara itu, wacana-wacana ala Wahabisme kubu Salafi membuktikan bahwa visi mereka jauh dari impian masyarakat demokratis dan terbuka.

Karena itu, salah satu tujuan eksplisit Dokumen adalah “untuk membendung ajakanajakan tendensius berkedok amar makruf nahi munkar yang berpotensi membatasi kebebasan sipil dan pribadi warga negara Mesir”. Dokumen menandaskan bahwa ajakan-ajakan itu “jauh dari visi peradaban dan perkembangan sosial masyarakat Mesir modern”. Hampir-hampir mirip Indonesia, di era transisi demokrasi ini, isu keagamaan di Mesir sering kali diletupkan untuk menyulut ketegangan-ketegangan sosial dan mengabsahkan persekusi terhadap kalangan minoritas Kristen Koptik.

Isi Dokumen

Untuk itu, butir pertama Dokumen menegaskan pentingnya kebebasan berkeyakinan bagi semua warga negara.“Kebebasan berkeyakinan, berbarengan dengan hak-hak dan kewajiban yang setara di antara semua warga negara, merupakan batu pijakan penting bagi perkembangan masyarakat modern. Semua mendapat jaminan eksplisit, baik dari teks-teks keagamaan maupun konstitusi dan perundang-undangan. ”Untuk mengukuhkan pernyataan itu, Dokumen menyitir ayat Al-Quran tentang “tiada paksaan dalam beragama”(Qs. Al-Baqarah, 1: 256) dan “barang siapa yang hendak beriman, berimanlah; dan barangsiapa yang hendak kufur, kufurlah!”(Qs. Al-Kahfi, 18: 29).

Lebih penting lagi, Dokumen menyerukan perlunya “kriminalisasi (tajrim) terhadap bentuk-bentuk pemaksaan keyakinan (ikrah), dan atau penindasan (idhtihad), dan atau diskriminasi (tamyiz) atas dasar keyakinan”. Secara agak bersayap, lalu dinyatakan pula bahwa “setiap individu berhak untuk berpikiran bebas sesuai dengan apa yang ia inginkan seraya tidak menyinggung hak-hak masyarakat untuk mempertahankan agama-agama samawi yang mereka yakini“.

Pernyataan paling kuat soal kebebasan berkeyakinan muncul dari kutipan ulama klasik Islam, Imam Malik: “Jika muncul dari seseorang 100 pernyataan bernada kafir dan hanya satu aspek yang mengandung unsur iman, maka orang tersebut hendaklah dianggap beriman dan tidak boleh dicap kafir!“Berdasarkan itu, Dokumen menolak cara-cara pengganyangan (iqsha') dan pengkafiran (takfir) terhadap keragaman dan perbedaan keyakinan. Juga menolak keras penghakiman dan intervensi (taftisy) terhadap intensi seseorang dalam berkeyakinan yang kerap dipraktekkan kalangan Salafi. Intinya, Dokumen hendak menegaskan moderasi dan toleransi beragama.

Dalam soal kebebasan berekspresi, Dokumen juga membuat pernyataan tegas.
Misalnya soal niscayanya memperbincangkan kepentingan publik secara bebas tanpa diikat oleh klausul tertentu, seperti ungkapan “asal tidak kebablasan dan melampaui kewajaran“(adamu at-tajawuz). Sebab, klausul pengikat seperti itu sering kali diselewengkan untuk mengebiri kebebasan berekspresi. Sebaliknya, Dokumen menganjurkan masyarakat untuk menoleransi dan “melampaui yang wajar“dalam perbincangan soal kepentingan publik (bal yata'ayyan as-samah biha).

Pada butir kebebasan riset ilmiah, Dokumen menekankan pentingnya iklim kebebasan ilmiah dan sokongan riset-riset ilmu pengetahuan agar umat Islam masuk kancah pertarungan ilmiah dan peradaban. Dalam seni-budaya, Dokumen menekankan bahwa kerja-kerja seni-budaya adalah profesi terhormat; kreasi dan inovasi terbaik di bidang ini merupakan manifestasi terpenting dari mekarnya kebebasan-kebebasan dasar dalam suatu masyarakat. Penegasan terakhir ini, walau tampak remeh, merupakan respons langsung terhadap visi Ikhwani lama dan kalangan Salafi yang memandang rendah aspek-aspek dan urgensi seni-budaya.

Rekonsili `Vatikan Islam'

Dokumen Kebebasan Al-Azhar disambut hangat hampir semua lapisan masyarakat Mesir: media dan pemuka agama (Islam maupun Koptik), intelektual liberal maupun kiri, pejabat militer maupun birokrasi. Al-Azhar dianggap telah menorehkan sejarah penting dalam Islam, yang mungkin setara atau lebih radikal dari Rekonsili Vatikan dalam Katolik.Terlepas dari rekam jejak AlAzhar yang dulu terlibat sensor seni-budaya lewat institusi Dewan Tinggi Urusan Islamnya--juga adanya statemen-statemen bersayap dalam Dokumen yang kelak bisa digunakan untuk menghambat kebebasan-hampir semua mufakat bahwa Al-Azhar telah melakukan terobosan paling brilian selama momentum Musim Semi Arab.

Sebagian menyebut Dokumen ini sebagai “manifesto liberalisme Arab“yang memadukan tradisi dan modernitas, kearifan dan perubahan, serta agama dan kebebasan. Jika visi-visi Dokumen kelak diadopsi oleh konstitusi dan bersemi dalam kehidupan sosial-politik-budaya Mesir, saya akan ikut berbangga menjadi salah satu Azhari atau alumnus Al-Azhar.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar