Salah
Elus Jago, Seret RI Tanpa Kehormatan
Sukardi Rinakit, PENELITI SENIOR SOEGENG SARJADI SYNDICATE
Sumber
: KOMPAS, 28 Februari 2012
Anda
mungkin akan terenyak, kecewa, marah, atau malah tersenyum. Terserah saja. Ini
hipotesis saya, ”Apabila politik bergerak linier seperti sekarang, siapa pun
yang di-endors
oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dialah pemenang Pemilu 2014. Figur
itulah yang berjodoh dengan wahyu kepresidenan.”
tulah
jawaban penulis ketika ditanya oleh istri tentang siapa yang akan memenangi
pilpres nanti. Tahun 2003, ia juga mengajukan pertanyaan sama. Ketika itu,
Partai Demokrat belum berdiri dan saya memberikan jawaban bahwa apabila ada
partai yang mengusung SBY, dia akan terpilih jadi presiden. Demikian juga tahun
2009, ketika Sultan Hamengku Buwono X akhirnya memutuskan untuk tidak maju
menjadi capres karena beliau menjunjung tinggi darma satria untuk tidak
terlibat money
politics, SBY pasti terpilih kembali.
Akan
tetapi, saya mematuhi dengan hormat pesan almarhum Nurcholish Madjid agar saya
sementara waktu menjadi ”pemompa ban kempis” (mendukung yang lemah) agar
konsolidasi demokrasi bergerak cepat. Juga karena alasan ideologis sebagai
seorang marhaenis, yang dalam dua pemilu lalu mendukung PDI-P dengan Megawati
Soekarnoputri sebagai capres.
Padahal, secara prediktif, sudah bisa diraba
siapa pemenangnya. Selanjutnya, sebagai warga negara, saya mencoba konsisten
untuk bersikap kritis terhadap pemerintah dengan harapan bisa ikut memperkuat
bekerjanya mekanisme checks
and balances dalam praktik bernegara.
Tiga
Pergeseran
Hipotesis
tentang peran SBY sebagai endorser
didasari logika sederhana. Meski popularitas SBY cenderung menurun, seperti
ditunjukkan oleh beberapa hasil survei, tetap saja popularitasnya berada pada
40-50 persen. Menurut hasil survei terakhir yang dilakukan Lembaga Survei
Indonesia, popularitas tertinggi tokoh-tokoh lain ditempati Megawati
Soekarnoputri (15,2 persen), Prabowo Subianto (10,6 persen), Jusuf Kalla (7
persen), dan Aburizal Bakrie (5,6 persen).
Maknanya,
terlepas dari kondisi Partai Demokrat yang porak poranda, secara politik sumber
daya politik SBY masih sangat kuat. Bahkan, dalam beberapa bulan terakhir ada
gejala, dia sekali-kali berani keluar dari kerangkeng rasa amannya, seperti
dalam kasus upah minimum dan demonstrasi buruh di Bekasi dan Tangerang, kritik
terhadap masyarakat internasional pengembargo produk sawit Indonesia, serta
sinyalnya untuk meminta maaf kepada korban pelanggaran hak asasi manusia.
Mencermati
munculnya nama-nama yang berpeluang menjadi capres dan kaitannya dengan posisi
sentral mereka di partai politik, tidak tertutup kemungkinan nama-nama yang
beredar sekarang nanti akan mengerucut pada tiga figur, yaitu Megawati,
Prabowo, dan Aburizal Bakrie. Merekalah yang sekarang ini ”mempunyai” partai.
Sejauh ini belum ada figur yang mencuat dari Partai Demokrat. Bisa jadi, Djoko
Suyanto yang diam-diam mereka gadang-gadang. Entah kepada siapa SBY akan
memberikan dukungan, sejarah yang akan mencatat.
Untuk
calon wakil presiden, banyak stok tokoh tersedia di atas meja. Dari ranah
kabinet, misalnya, ada Hatta Rajasa dan Dahlan Iskan. Dari provinsi ada
Rustriningsih (Wakil Gubernur Jawa Tengah), Alex Noerdin (Gubernur Sumatera
Selatan), dan Soekarwo (Gubernur Jawa Timur). Dari penegak hukum ada Mahfud MD
(Ketua Mahkamah Konstitusi) dan dari partai ada Puan Maharani (PDI-P).
Meski
pemilu masih jauh, sebagai warga bangsa kita diperkenankan untuk mulai
mengelus-elus jago masing-masing. Dalam konteks ini, selain gerak-gerik (polah
sak jangkah) dan omongan (gunem
sak klimah) dari para tokoh tersebut, hal yang perlu mendapatkan perhatian
adalah pemahaman mengenai realitas politik kekinian.
Dinamika
politik Indonesia saat ini ditandai oleh tiga pergeseran. Pertama, terjadi
kehancuran ideologi dan digantikan oleh kapital. Dalam setiap kontestasi
politik dari pemilihan ketua partai sampai pilpres, kapital menjadi bahasa
utama. Setiap kepala ada harganya. Ini telah membunuh perjuangan ideologi dan
cita-cita berbangsa dan bernegara yang dipanggul dengan setia oleh para bapak
bangsa. Dalam batas-batas tertentu, Indonesia kini menjadi paria.
Pergeseran
kedua terletak pada melemahnya kewibawaan partai politik yang digantikan oleh
popularitas kandidat. Kepercayaan masyarakat kepada partai politik secara umum
merosot tajam, partai menjadi tidak berharga karena perilaku pimpinan partai
yang tidak santun, ingkar janji politik, dan terbelit korupsi akut. Singkatnya,
seorang kandidat yang populer telah menggantikan fungsi dan daya hidup partai.
Pergeseran
terakhir, propaganda yang menjadi alat komunikasi politik partai ketika
berhadapan dengan massa rakyat telah dibunuh oleh marketing
politics, bahkan lebih rendah lagi, sekadar selling
politics. Iklan untuk membangun citra, yang sebenarnya tak lebih dari sekadar
bedak dan gincu, telah memusnahkan kesaktian para propagandis yang sangat
ideologis.
Becermin
dari tiga pergeseran tersebut, tampaknya Indonesia masa depan tidak sekadar
membutuhkan tokoh yang bisa menjamin terpenuhinya sandang, pangan, dan papan,
tetapi juga tegaknya ideologi serta cita-cita berbangsa dan bernegara.
Kesalahan mengelus jago akan menyeret Indonesia menjadi negara miskin dan tanpa
kehormatan.
Anda
mau? Saya tidak. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar