Menanti
Kejujuran Negara
Dudi Sabil Iskandar, PENELITI LEMBAGA JANGKA INDONESIA,
MAHASISWA KOMUNIKASI POLITIK PASCASARJANA UNIVERSITAS MERCU BUANA, JAKARTA
Sumber
: SINDO, 24 Februari 2012
Akhir-akhir ini fenomena kekerasan
di masyarakat kembali mencuat. Belum tuntas penyelesaian kasus konflik vertikal
(negara versus masyarakat) seperti di Bima,Nusa Tenggara Barat dan Mesuji,
Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, kekerasan horizontal
(masyarakat versus masyarakat) beberapa muncul.
Pembakaran pondok pesantren di Madura,kampanye damai “Indonesia Tanpa FPI” ditandai pemukulan demonstran— diduga dilakukan oleh anggota FPI—di Jakarta, danpengeroyokanseorangseniman di Yogyakarta oleh ormas yang berlabel agama tertentu adalah sederet peristiwa kekerasan yang terpotret media. Dalam konteks konflik horizontal, berdasarkan catatan kepolisian dalam dua tahun terakhir ini, pada 2010 ada 51 tindak kekerasan yang dilakukan organisasi kemasyarakatan dan 2011 tercatat terjadi 20 kasus anarkistis.
FPI menjadi ormas yang paling banyak melakukan kekerasan. Pada 2010 FPI melakukan 29 tindak kekerasan dan 2011 ada lima aksi anarkisme. Selain FPI, Forum Betawi Rembuk (FBR) juga dicatat kepolisian sebagai ormas yang banyak melakukan kekerasan. Dalam rentang 2007–2010 keduanya mendominasi ormas yang memiliki catatan keke-rasan terbesar.
Spiral Kekerasan
Pertanyaan mendasar dari berbagai konflik adalah di mana keberadaan negara? Penulis sepakat dengan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Dien Syamsuddin dan tokoh agama lainnya bahwa negara absen dalam berbagai konflik. Kekerasan silih berganti muncul akibat pembiaran dan pengabaian negara. Yang ironis dan menyesakkan adalah negara bagian dan pemicu dari konflik seperti yang terjadi di Mesuji dan Bima.Negara yang seharusnya menjadi regulator justru terjerembab ke dalam kubangan konflik.
Dalam konflik negara ditengarai memiliki kepentingan tersembunyi (hidden agenda) dengan eksistensi ormas anarkistis. Maka itu, apa pun wajah ormas tersebut, negara akan memproteksinya. Inilah yang disebut sebagai negara kekerasan (state of violence).Realitas ini sesuai dengan spiral kebebasan ala Dom Helder Camara. Negara berkontribusi atas ma-raknya kekerasan.
Menurutnya,kekerasan yang terjadi di masyarakat bersifat akumulatif. Kekerasan yang satu melahirkan kekerasan yang lain atau efek domino kekerasan. Sesungguhnya jika negara jujur, pembekuan atau pembubaran ormas anarkistis sangat mudah.Apalagi regulasi untuk melakukan tersebut sudah ada seperti yang tercantum dalam Pasal 13 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1985 yang menyatakan pembekuan pengurus atau pembubaran. Pembubaran setelah ormas tersebut diberi peringatan (Pasal 14).
Sedangkan tata cara pembubaran, Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986 menegaskan,pembekuan dilakukan bila ormas menyebarluaskan kekerasan mengenai agama, suku, ras, atau golongan; ormas terbukti memecah belah persatuan, merongrong wibawa pemerintah, dan mengganggu kegiatan stabilitas dan keamanan. Dengan catatan dan regulasi di atas, sesungguhnya jika negara jujur dan bertindak sesuai “fitrah”-nya—sebagai pengayom semua golongan dan pengatur kehidupan di ruang publik,tidak ada alasan negara untuk tidak membekukan atau membubarkan ormas anarkistis tersebut.
Tekanan Media
Di tengah ketidakberdayaandan kesulitan berkomunikasi dengan negara tentang perilaku ormas anarkistis, satusatunya harapan masyarakat disembatkan kepada media. Dalam dunia modern, media dengan segala perangkat dan kelengkapannya bukan lagi merupakan kebutuhan ma-syarakat. Ia adalah urat nadi dan kesadaran.
Tidak ada ruang hampa yang lepas dari pengaruh media massa. Media massa bahkan merupakan sesuatu yang given. Harapan tentang pembekuan atau pembubaran ormas anarkistis melalui media sangat relevan dengan teori Akbar S Ahmed bahwa media bersifat demokratis dan mewakili masyarakat umum meski pada perkembangannya, selain menyampaikan pesan, media juga––menurut Marshall McLuhan–– menjadi pesan tersendiri (the medium is the message).
Dengan menekan negara untuk membubarkan ormas anarkistis,media menjalankan fungsi politiknya yakni fungsi pengagendaan isu dan membela kepentingan individuindividu untuk melawan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan eksekutif (Anwar Arifin, 2010).Tentu saja selain tekanan dari media massa, pressure masyarakat yang antikekerasan melalui media sosial (Facebook dan Twitter) juga berperan dalam membersihkan ormas anarkistis di negeri ini. Dengan demikian, pembubaran ormas anarkistis membutuhkan kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas individual dan kolektif.
Sebagai catatan akhir, penulis ingin menegaskan bahwa selama negara,khususnya aparat keamanan, tidak jujur, selama itu kekerasan, baik vertikal maupun horizontal, akan terus berulang. Negara tidak akan sukses memutus spiral kekerasan jika tidak berangkat dari kejujuran para pengelolanya.
Dalam negara yang serbamajemuk seperti Indonesia, aksi kekerasan mudah timbul karena banyaknya perbedaan. Namun, jika negara jujur, cerdas, dan memiliki political will, perbedaan adalah khasanah yang tak ternilai. Berbeda tidak senantiasa bertentangan. Justru perbedaan akan menjadi kekuatan yang sangat dahsyat jika negara jujur dan memiliki manajemen konflik yang cerdas, visioner, dan futuristik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar