Kapitalis
Global-Lokal
Ferdy Hasiman, PENELITI DI INDONESIA TODAY, JAKARTA
Sumber
: KOMPAS, 29 Februari 2012
Banyak pihak di Eropa, Asia, dan Amerika
Latin memboikot produk perusahaan transnasional, seperti McDonald’s, Coca-Cola,
Pepsi, dan Starbucks, karena mematikan ambisi pebisnis-pebisnis lokal.
Nutrisi yang digadang-gadang dari produk
perusahaan transnasional (PT) tak sebanding dengan makanan dan minuman lokal.
Produk ini unggul hanya karena embel-embel nama besar negara asalnya: Amerika
Serikat.
Kritik Sri Palupi di halaman Opini harian ini
pada 2 Februari lalu, ”Pilot yang Salah Pesawat”, berkaitan dengan kondisi
Indonesia yang sedang berjumpa dengan kapitalisme. Kritik terutama ditujukan
kepada pemimpin kita yang tak berdaya di hadapan kekuasaan PT.
Survei Control Risk Group (2004) menemukan
bahwa PT kerap menggunakan tekanan politik dari negara asal untuk mendobrak
negara yang bandel. Dari survei itu, hanya 7,6 perusahaan AS dan 9,2 perusahaan
negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang
tak melalui tekanan politik. Akibatnya, menurut laporan UNCTAD (2007), 78.000
PT berikut produknya membanjiri pasar seluruh dunia dan domestik.
Tak heran jika pedagang aso- ngan yang
berjejer di setiap lorong metropolis gagap melihat gerai 7-Eleven, Circle K,
dan Lotte Mart. Rumah makan tradisional menjadi tak menarik bagi konsumen
karena kehadiran McDonald’s, KFC, Burger King, dan sebentar lagi restoran cepat
saji Johnny Rockets (AS) segera hadir di Indonesia. Mobil produk SMK di Solo
merupakan produk lokal terbaru yang disambut basa-basi konsumen karena
cengkeraman raksasa Honda, Toyota, dan perusahaan mobil Eropa.
Kapitalis
Lokal
Palupi hanya menyoroti peru- sahaan asing dan
lupa pada peru- sahaan domestik. Padahal, sepak terjang korporasi nasional dan
transnasional sama saja: cari untung. Lihat daftar 40 orang kaya Indonesia yang
mengakumulasi kekayaan 85,1 miliar dollar AS.
Nilai kekayaan mereka setara dengan 11 persen
total PDB 2011: 752 miliar dollar AS. Total kekayaan dan aset mereka terus
meningkat. Mereka mengapitalisasi semua bidang pertambangan, eceran,
perkebunan, dan pertanian. Tak ada ruang bagi rakyat mengembangkan usaha.
Kapitalis lokal tak susah mencari uang.
Mereka bisa cari uang ke bank. Yang menyulitkan mereka: mendapat lahan konsesi
dan izin sehingga mereka perlu bersahabat dengan penguasa. Bahkan, ada yang
menjadi pengurus dan penguasa partai. Di era otonomi daerah hanya partai yang
bisa mengendalikan kepala daerah karena bupati anggota partai tertentu.
Persahabatan kapitalis dan penguasa bukan
untuk urusan publik, tetapi untuk kepentingan diri. Kapitalis mendapat
kemudahan berbisnis dan penguasa beroleh dana untuk proyek politik selanjutnya.
Baik PT maupun korporasi domestik sama-sama buruk: mereka menguasai sumber
hayat orang banyak untuk kepen- tingan privat, membangun kor- poratokrasi
merusak demokrasi.
Jika PT memasarkan demokrasi sebagai pintu
masuk usahanya ke Indonesia, korporasi lokal malah menjadi pemain dalam sistem
demokrasi. Demokrasi bagi korporasi lokal sekadar tunggangan mengakumulasi
modal.
Dengan cara seperti itu, mereka mencaplok
kekayaan seluruh Nusantara. Genaplah syair Koes Plus, ”orang bilang tanah ki-
ta tanah surga”, tetapi dalam genggaman kapitalis, ”tongkat, kayu, dan batu
jadi tanaman”. Dalam genggaman kapitalis lahan dan tanah pertanian warga
dicaplok hanya untuk investasi tambang dan pembangunan mal. Maka, baik PT
maupun korporasi domestik sama- sama buruk. Keduanya menguasai
sumber hayat orang banyak untuk kepentingan privat, membangun korporatokrasi,
dan membuat cita-cita Pancasila dan UUD 1945 jauh dari harapan.
Dalam genggaman kapitalis, model pembangunan
kita kian mengarah ke rezim liberal. Liberalisasi membuka pintu bagi
pembangunan dari atas ke alas. Model ini menggodai lembaga intermediasi,
seperti perbankan, untuk berpihak kepada korporasi berskala raksasa.
Data tahun 2008 menunjukkan betapa bank-bank
nasional lebih suka memberi kredit kepada 331 perusahaan raksasa daripada
kepada sektor UMKM yang mencapai 44 juta. Rendah- nya akses kredit berakibat
langsung pada minimnya daya saing industri dalam negeri. Itu sebab- nya, meski
pertumbuhan ekonomi meningkat 6,5 persen dan pendapatan per kapita mencapai Rp
30,8 juta pada 2011, pertumbuhan itu tetap tak menyentuh hidup rakyat kecil.
Secara teoretis, rakyat kecil seperti petani
akan mendapat berkah dari pertumbuhan ekonomi jika ekspor digenjot karena
menyentuh langsung petani penggarap. Ekspor kita menunjukkan grafik menaik
beberapa tahun terakhir. Pada 2010, misalnya, kenaikan ekspor ditopang beberapa
sektor nonmigas seperti kelapa sawit. Persoalannya, meski kelapa sawit salah
satu industri yang menopang ekspor Januari-November 2010 (140,65 miliar dollar
AS), bukan petani plasma yang mendapat berkah dari kenaikan harga kelapa sawait
mentah global, melainkan pengusaha besar sekelas Wilmar Group.
Begitu pun nasib warga sekitar areal tambang
emas, nikel, dan mangan. Mereka hanya mendapat secuil berkah kenaikan harga
komoditas seperti emas dan mangan. Yang mendapat untung besar: investor
tambang. Mengapa warga kecil selalu menjadi korban pembangunan?
Tak
Diperhitungkan
Dalam pemerintah korporatokrasi, rakyat kecil
tak diperhitungkan. Suara rakyat yang berteriak menegosiasikan hidup mereka di
ruang publik tak tersambung ke parlemen. Rakyat hanya konstituen sebelum
pemilu. Setelah pemilu, konstituen mereka pemodal yang membiayai mereka dalam
kampanye pemilu. Sebab, dalam demokrasi elektoral, pendaftaran partai dan biaya
operasional sangat mahal. Perlu dana dari pengusaha, modal asing, dan dana
ilegal buat menghidupi partai. Banyaklah politikus terjebak korupsi.
Untuk lolos serbuan KPK, mereka membentuk
kartel politik guna melumpuhkan kinerja aparat penegak hukum dan menyabotase
setiap aksi pencarian informasi. Kartel politik akhirnya bermuara pada
hancurnya fungsi institusi demokratis. Institusi demokratis tetap dipelihara
sebatas simbol tanpa substansi. Pemilu tetap reguler dijalankan, tetapi tak
membawa perubahan konkret bagi hidup rakyat kebanyakan. Itu sebabnya, kendati
institusi demokratis tampak bekerja, persoalan menyangkut hidup rakyat
kebanyakan tak tersentuh kerja institusi itu.
Pemimpin Indonesia perlu belajar
dari keberanian mantan Presiden Brasil Lula da Silva mengambil jarak dari
kapitalisme global dan menerapkan program prorakyat. Ekonomi Brasil pada 2010
tumbuh 7 persen dan mampu menyerap 2,5 juta angkatan kerja oleh kebijakan
perbankan yang baik, proteksi terhadap industri kecil, dan kebijakan land
reform yang baik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar