Hukum
Nikah Beda Agama
Abdul Moqsith Ghazali, AKTIVIS
JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Sumber
: JIL, 6 Februari 2012
Memilih pasangan hidup makin tak mungkin
dibatasi sekat geografis, etnis, warna kulit, bahkan agama. Jika dahulu
orang-orang di Indonesia menikah dengan orang yang paling jauh beda kabupaten,
sekarang sudah kerap dengan orang beda provinsi bahkan negara. Dahulu, biasanya
orang menikah dengan yang satu etnis, kini menikah dengan yang beda etnis sudah
jamak terjadi. Orang Jawa tak masalah menikah dengan orang Minang. Orang Sunda
pun tak pantang menikah dengan orang Bugis. Tak sedikit orang berkulit sawo
matang menikah dengan yang berkulit putih, juga hitam. Orang Arab menikah
dengan yang non-Arab. Bule Amerika menikah dengan perempuan Batak.
Memilih pasangan hidup makin tak mungkin
dibatasi sekat geografis, etnis, warna kulit, bahkan agama. Jika dahulu
orang-orang di Indonesia menikah dengan orang yang paling jauh beda kabupaten,
sekarang sudah kerap dengan orang beda provinsi bahkan negara. Dahulu, biasanya
orang menikah dengan yang satu etnis, kini menikah dengan yang beda etnis sudah
jamak terjadi. Orang Jawa tak masalah menikah dengan orang Minang. Orang Sunda
pun tak pantang menikah dengan orang Bugis. Tak sedikit orang berkulit sawo matang
menikah dengan yang berkulit putih, juga hitam. Orang Arab menikah dengan yang
non-Arab. Bule Amerika menikah dengan perempuan Batak.
Pernikahan beda agama pun tak terhindarkan.
Globalisasi meniscayakan perjumpaan tak hanya terjadi antar orang-orang yang
satu agama, melainkan juga yang beda agama. Tunas cinta bisa bersemi di
kantor-kantor modern yang dihuni para karyawan beragam agama. Ruang-ruang
publik seperti mall, kafe, dan lain-lain membuat perjumpaan kian tak tersekat
agama. Sekat primordial agama terus lumer dan luluh diterjang media sosial
seperti facebook dan twitter. Orang tua tak mungkin membatasi agar anaknya
hanya bergaul dengan yang seagama.
Mengahadapi kenyataan itu, para agamawan
banyak yang galau. Ada yang bersikukuh bahwa pernikahan beda agama tak diretusi
Tuhan. Sebab, agama dirinya adalah terang, sementara agama orang lain adalah
gelap. Terang dan gelap tak mungkin dipersatukan dalam satu ikatan
perkawinan. Para agamawan yang galau ini coba menepiskan fakta, dan terus
merujuk Sabda bahwa nikah beda agama adalah haram. Menurut mereka, bukan hukum
Tuhan yang harus disesuaikan dengan kenyataan, tapi kenyataan lah yang harus
ditundukkan pada kehendak harafiah teks Qur’an. Analogi yang sering
disampaikan, bukan kepala yang harus dicocokkan dengan ukuran kopyah, tapi peci
lah yang mesti mengikuti besar-kecilnya kepala.
Ada juga agamawan yang pasrah pada kenyataan.
Menurut mereka, nikah beda agama tak mungkin untuk dilawan. Agama tak boleh
mengharamkan begitu saja. Sebab manusia bebas dalam memilih agama, maka ia juga
bebas menentukan pilihan pasangan dalam keluarga. ”Dalam dunia yang terus
mengarah pada kesederajatan agama-agama, kita tak mungkin memandang agama orang
lain sebagai gelap”, tandas mereka. Dengan demikian, menurut mereka, agama harus
terus ditafsirkan untuk diadaptasikan dengan kondisi zaman yang selalu berubah.
Agumen
Teologis Islam
Tentang nikah beda agama, para ulama Islam terbelah ke dalam tiga kelompok.
Pertama, ulama yang mengharamkan secara mutlak. Dasarnya adalah al-Qur’an (al-Baqarah
[2]: 221) yang mengharamkan orang Islam menikah dengan laki-laki dan perempuan
musyrik. Juga, QS al-Mumtahanah [60]: 10 yang melarang orang Islam menikah
dengan orang kafir. Sementara QS, al-Ma’idah ayat 5 yang membolehkan laki-laki
Muslim menikah dengan perempuan Ahli Kitab, menurut kelompok ini, sudah
dibatalkan dua ayat sebelumnya itu. Secara statistik, menurut mereka, tak
mungkin dua ayat yang mengharamkan bisa dikalahkan oleh satu ayat yang
menghalalkan nikah beda agama. Bagi mereka, kata ”musyrik”, ”kafir” dan ”Ahli
Kitab” adalah sinonim, sehingga yang satu bisa membatalkan yang lain.
Ulama pertama ini pun mengacu pada tindakan
Umar ibn Khattab. Ibn Katsir menceritakan bahwa ketika QS, al-Mumtahanah: 10
turun, Umar ibn Khattab langsung menceraikan dua isterinya yang masih kafir,
yaitu Binti Abi Umayyah ibn Mughirah dari Bani Makhzum dan Ummu Kultsum binti
Amr bin Jarwal dari Khuza’ah. Umar pernah hendak mencambuk orang yang
menikah dengan Ahli Kitab. Umar marah karena ia khawatir tindakan beberapa
orang yang menikahi perempuan-perempuan Ahli Kitab itu akan diikuti umat Islam
lain, sehingga perempuan-perempuan Islam tak menjadi pilihan laki-laki Islam.
Namun, kemarahan Umar tak mengubah pendirian sebagian Sahabat Nabi yang tetap
menikahi perempuan Ahli Kitab. Dikisahkan, Umar pernah berkirim surat pada
Khudzaifah agar yang bersangkutan menceraikan istrinya yang Ahli Kitab itu.
Khudzaifah bertanya kepada Umar, ”apakah anda menyangka bahwa pernikahan dengan
perempuan Ahli Kitab haram?”. Umar menjawab, ”tidak. Saya hanya khawatir”.
Menurut saya, jawaban Umar ini menunjukkan bahwa ketidak-setujuan Umar itu tak
didasarkan secara sungguh-sungguh pada teks al-Qur’an, melainkan pada
kehati-hatian dan kewaspadaan.
Kedua, ulama yang berpendapat bahwa keharaman
menikahi orang Musyrik dan Kafir sudah dibatalkan QS, al-Maidah [5]: 5 yang
membolehkan laki-laki Muslim menikahi perempuan Ahli Kitab. Para ulama
berpendapat bahwa tiga ayat tersebut memang sama-sama turun di Madinah. Akan
tetapi, ayat pertama (al-Mumtahanah ayat 10 dan al-Baqarah ayat 221) lebih awal
turun, sehingga dimungkinkan untuk dianulir ayat ketiga (al-Ma’idah ayat 5).
Yang lain mengatakan bahwa sekalipun al-Baqarah 221 lebih belakangan turun, ia
bisa membatalkan al-Ma’idah 5. Namun, menurut Muhammad Rasyid Ridla, pendapat
itu tak memiliki argumen kuat. Ibn Katsir mengutip pernyataan Ibnu Abbas
melalui Ali bin Abi Thalhah bahwa perempuan-perempuan Ahli Kitab dikecualikan
dari al-Baqarah ayat 221.
Pendapat ini juga didukung oleh Mujahid,
Ikrimah, Said bin Jubair, Makhul, al-Hasan, al-Dhahhak, Zaid bin Aslam, dan
Rabi’ bin Anas. Thabathabai berpendirian bahwa pengharaman itu hanya terbatas
pada orang-orang Watsani (para penyembah berhala), dan tidak termasuk di
dalamnya orang-orang Ahli Kitab. Beberapa buku tarikh mendaftar para sahabat
Nabi yang melakukan nikah beda agama, di antaranya adalah Utsman bin ‘Affan,
Thalhah bin Abdullah, Khudzaifah ibn Yaman, Sa’ad ibn Abi Waqash, dan
sebagainya. Menurut Ibnu Qudamah, Hudzaifah menikah dengan perempuan Majusi.
Sementara menurut Muhammad Rasyid Ridla, Khudzaifah menikah bukan dengan
perempuan Majusi, melainkan dengan perempuan Yahudi
Ketiga, ulama yang membolehkan secara mutlak.
Ulama terakhir ini melanjutkan argumen ulama kedua yang tak tuntas. Jika ulama
kedua hanya membolehkan laki-laki Muslim menikah dengan perempuan Ahli Kitab,
maka ulama terakhir ini membolehkan hukum sebaliknya; perempuan muslim menikah
dengan laki-laki Ahli Kitab. Bagi mereka, tak ada beda antara pernikahan
laki-laki muslim-perempuan Ahli Kitab dan pernikahan perempuan muslim-laki-laki
Ahli Kitab. Menurut kelompok terakhir ini, tak ada argumen ekplisit dalam
al-Qur’an yang melarang pernikahan perempuan Muslim dengan laki-laki Muslim.
Bagi mereka, tidak adanya larangan itu adalah dalil bagi bolehnya pernikahan
perempuaan muslim dengan laki-laki Ahli Kitab.
Kekhawatiran sebagian pihak bahwa pernikahan
perempuan muslim dengan laki-laki Ahli Kitab hanya akan melahirkan generasi
non-Muslim tak terbukti dalam kenyataan. Berbagai penelitian tentang pasangan
nikah beda agama justru menunjukkan bahwa jika seorang ibu beragama Islam 70 %
lebih agama anak mengikuti agama si ibu. Temuan penelitian ini tak mengejutkan
bagi saya. Sebab, peranan ibu dalam keluarga memang amat sentral, termasuk dalam
soal agama. Tentang agama apa yang dianut oleh seorang anak biasanya tak jauh
dari agama si ibu, bukan agama si ayah. Dengan demikian, tak keliru sebuah
pepatah Arab, ”ibu adalah sekolah pertama” (al-umm hiya al-madrasah al-ula).
Apa yang dikemukakan ulama ketiga itu
biasanya diacukan pada alasan kesejarahan. Alkisah, Zainab binti Muhammad SAW
menikah dengan Abu al-Ash. Pernikahan tak dilakukan berdasarkan syariat Islam
karena ia dilangsungkan sebelum Islam. Namun, yang menarik, setelah Nabi
Muhammad diangkat menjadi nabi, Abu al-Ash pun tak segera masuk Islam. Ia tetap
memilih menjadi orang musyrik, seperti umumnya penduduk Mekah saat itu. Bahkan,
ketika Nabi Muhammad dan umat Islam lain hijrah ke Madinah, Abu al-Ash bersama
sang istri (Zainab puteri Nabi) masih bertahan di Mekah. Alih-alih ikut hijrah,
Abu al-Ash justru bersekongkol dengan orang-orang kafir Musyrik Mekah
memeperangi umat Islam. Dikisahkan bahwa Abu al-Ash pernah ditangkap di Madinah
atas keterlibatannya dalam perang Badar dan Uhud. Ia kemudian diminta uang
tebusan dan Nabi meminta agar Zainab dihijrahkan ke Madinah.
Berbagai buku sejarah menceritakan bahwa
dengan hijrahnya itu, Zainab hidup terpisah dengan Abu al-Ash selama
bertahun-tahun. Mereka kembali hidup serumah, setelah Abu al-Ash masuk Islam.
Ibn Katsir menuturkan bahwa kembalinya Abu al-Ash ke pangkuan Zainab binti
Muhammad SAW tak disertai dengan akad nikah baru. Menurut ulama ketiga itu, ini
mengisyaratkan bahwa pernikahan Zainab dan Abu al-Ash yang dilangsungkan
sebelum Islam adalah sah sehingga tak perlu ada pernikahan baru. Pernikahan
Zainab dengan Abu al-Ash ini melahirkan dua orang anak, yaitu Umamah dan Ali.
Jika Ali meninggal dalam usia belia, maka Umamah kelak menikah dengan Ali ibn
Abi Thalib setelah istrinya (Fathimah binti Muhammad SAW) meninggal dunia.
Ketika Ali ibn Abi Thalib meninggal, Umamah menikah dengan al-Mughirah bin
Naufal bin al-Harits ibn Abd al-Muththalib.
Nabi juga pernah mengawinkan anak
perempuannya, Ruqayyah dengan Utbah ibn Abi Lahab. Setelah Islam datang, Nabi
tak meminta sang puteri untuk berpisah dengan Utbah. Perceraian terjadi bukan
atas kehendak Ruqayyah atau Nabi Muhammad, melainkan atas perintah ayahanda
Utbah, yaitu Abu Lahab. Abu Lahab, musuh bebuyutan Islam, yang keberatan jika
anak laki-lakinya menikah dengan Ruqayyah yang beragama Islam. Dengan perkataan
lain, seandainya Abu Lahab tak menyuruh Utbah menceraikan Ruqayyah, niscaya
pernikahan itu akan tetap berlangsung sekalipun si suami Musyrik dan si
perempuan beragama Islam seperti yang dialami Zainab binti al-Rasul Muhammad
SAW.
Bagaimana
di Indonesia?
Fakta historis tersebut tampaknya tak mengubah pendirian sejumlah ulama
Indonesia untuk melarang pernikahan antara orang Islam dan bukan Islam.
Pernikahan beda agama dalam pandangan mereka adalah haram. Per tanggal 1 Juni
1980, MUI Pusat mengeluarkan fatwa tentang haramnya pernikahan tersebut. Banyak
ulama yang khawatir, seorang istri yang Islam akan tunduk dan ikut agama si
suami yang bukan Islam. Sebagian ulama di Indonesia mewaspadai kemungkinan
tendensi politis dari kalangan non-Islam untuk menaklukkan umat Islam melalui
pernikahan beda agama. Bagi saya, kekhawatiran ini terlampau jauh, karena
banyak pernikahan beda agama yang berlangsung lama dan bertahan dengan agamanya
masing-masing.
Para ulama yang pro-pengharaman nikah beda
agama itu mendapatkan sokongan dari negara. Melalui Inpres No. 1 tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berisi hukum perkawinan, kewarisan,
dan perwakafan, pemerintah melarang umat Islam menikah dengan orang yang bukan
Islam. Dalam pasal 44 KHI dinyatakan “seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. Dalam
pasal 40 disebutkan, “dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria
dengan seorang wanita karena keadaan tertentu; ….(c) seorang wanita yang tidak
beragama Islam”. Dengan dua ayat ini tampak jelas bahwa orang Islam, baik laki
maupun perempuan, dilarang melangsungkan pernikahan dengan orang yang tak
beragama Islam.
KHI memang bukan Undang-Undang (UU),
melainkan hanya sebuah Inpres. Tapi, faktanya, KHI lah yang menjadi rujukan
para pegawai KUA dalam menikahkan para laki-laki dan perempuan Islam di
Indonesia. KHI juga dipakai para hakim agama dalam mengatasi
persoalan-persoalan perceraian di Indonesia. Dengan kenyataan ini, para pelaku
nikah beda agama tak mendapatkan payung hukum yang menjamin dan melindungi
pernikahan mereka. Ini karena negara melalui KHI telah ikut terlibat dalam
penentuan calon pasangan bagi warga negara yang mau menikah. Para aktivis HAM
berkata bahwa negara tak boleh mengintervensi dan merampas hak privat setiap
warga negara, termasuk dalam soal menentukan suami atau istri. Negara hanya
memfasilitasi dan mencatatkan suatu pernikahan bukan menentukan pasangan dalam
pernikahan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar