Atas
Nama Agama
Azyumardi Azra, DIREKTUR SEKOLAH PASCASARJANA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA; ANGGOTA
COUNCIL ON FAITH, WORLD ECONOMIC FORUM, DAVOS
Sumber
: KOMPAS, 25 Februari 2012
Anarkisme dan terorisme atas nama agama
merupakan salah satu gejala sosio-religius paling menonjol sejak awal milenium
21. Gejala ini terus berlanjut di berbagai bagian dunia, khususnya di negeri semacam
Afganistan, Irak, Pakistan, dan—sayangnya—juga di Indonesia.
Di negara kita, ketika terorisme kelihatan
kian berhasil diatasi aparat kepolisian, anarkisme atas nama agama cenderung
terus bertahan, yang sewaktu-waktu menampilkan diri dalam skala mengkhawatirkan.
Namun, gejala mengkhawatirkan itu kini
terlihat berhadapan dengan gejala lain, yaitu bahwa masyarakat Indonesia yang
cinta damai tampaknya tidak bisa lagi menerima aksi kekerasan. Hal ini
terlihat, misalnya, dari penolakan masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah atas
kedatangan sejumlah petinggi Front Pembela Islam (FPI) di Bandara Tjilik Riwut,
Palangkaraya, 11 Februari. FPI yang tidak menerima kejadian yang tidak
menyenangkan bagi mereka segera melaporkan Gubernur Kalteng dan Kapolda Kalteng
serta dua pimpinan komunitas Dayak kepada pihak kepolisian.
Peristiwa Palangkaraya itu kelihatan menjadi
titik katalis penolakan terhadap anarkisme yang kerap dilakukan FPI. Ini
terlihat dari aksi kalangan masyarakat bertema ”Indonesia Tanpa FPI” di
Bundaran HI, Jakarta, 14 Februari, yang kemudian disusul pernyataan para
pimpinan NU, Muhammadiyah, Ansor, dan Pemuda Muhammadiyah yang menolak
anarkisme FPI. Mereka beserta pejabat tinggi—mulai dari Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono sampai Menko Polhukam Djoko Suyanto—mengimbau agar FPI melakukan
introspeksi.
Hemat penulis, imbauan pimpinan ormas Islam
dan pejabat tinggi yang juga Muslim, dari perspektif Islam, seyogianya
dipandang pimpinan dan massa FPI sebagai taushiyyah bi al-haq, pesan kebenaran
sesama Muslim. Sikap terbaik yang bisa diambil FPI adalah merenungkannya dengan
kepala dingin sembari bermuhasabah atau introspeksi diri, yang juga sangat
ditekankan Islam.
Agama
Terlihat Jahat
Mengapa harus ada kekerasan atas nama agama?
Para pemimpin FPI biasanya menyatakan, aksi kekerasan adalah bagian dari dakwah
nahi mungkar, mencegah masyarakat dari kemungkaran dan maksiat. Dalam pemahaman
FPI, ormas-ormas Islam lain dalam menghadapi kemungkaran lebih terpaku pada
amar makruf, menyeru kepada kebaikan yang sering tidak efektif. Bagi FPI, nahi
mungkar paling efektif dilakukan dengan menggunakan yad, ”tangan” atau
kekuatan.
Lebih jauh FPI berargumen, mereka ”terpaksa”
menggunakan ”tangan” karena menurut mereka aparat kepolisian tidak peduli dan
gagal memberantas maksiat, semacam judi dan pelacuran, yang kian merajalela.
Atau, bahwa pemerintah tidak tegas atau gagal membubarkan komunitas agama,
semacam Ahmadiyah, yang dalam pandangan mereka menyimpang dari Islam. Oleh
karena itu, bagi FPI tidak ada jalan lain kecuali menyelesaikan berbagai
masalah tersebut dengan ”tangan” mereka sendiri.
Tujuan yang ingin dicapai FPI boleh jadi sah
dalam pemahaman Islam tertentu. Akan tetapi, jumhur (mayoritas) ulama menolak
penggunaan yad yang dalam praktiknya sering terwujud dalam kekerasan.
Bagi para ulama otoritatif, umumnya, dakwah
sebagai upaya menyeru kepada kebajikan dan mencegah atau memberantas
kemungkaran harus berdasarkan pada hikmah (kebijakan), maw’izah hasanah
(pelajaran yang baik), dan mujadalah (diskusi dan perdebatan yang beradab),
seperti digariskan Al Quran, Surat 16 al-Nahl, ayat 125.
Jika tidak berdasarkan ketiga prinsip ini dan
sebaliknya lebih menekankan kekuatan, meminjam kerangka Charles Kimball (When
Religion Becomes Evil, 2003), Islam bisa terlihat ”jahat” dan menakutkan bagi
banyak orang, termasuk mayoritas umat Islam sendiri. Kimball dengan mengangkat
pengalaman Yudaisme, Kristianitas, dan Islam sepanjang sejarah mengingatkan,
setiap agama ini dapat mengalami kerusakan dan menakutkan ketika di kalangan
penganutnya ada lima gejala dan pertanda berikut.
Pertama, klaim kebenaran absolut oleh
individu dan kelompok bahwa pemahamannya sendiri paling benar dan mereka saja
yang punya akses kepada kebenaran.
Kedua, penetapan waktu sekarang sebagai
paling pas bagi individu atau kelompok yang mengklaim memiliki restu Tuhan
untuk mengakhiri segala kemungkaran.
Ketiga, taklid buta pada pemahaman, ketentuan
praktik keagamaan, dan komando tertentu.
Keempat, menghalalkan cara apa pun untuk
melakukan perubahan yang diyakini diperintahkan Tuhan.
Kelima, pemakluman holy war (jihad) terhadap
individu atau kelompok yang dianggap ”menyimpang” dari agamanya sendiri atau
untuk menyucikan dunia dari kemungkaran.
Adanya kelima gejala itu di lingkungan ketiga
agama tadi pastilah tak representatif mewakili agama-agama tersebut. Namun,
jelas gejala itu sedikit banyak memberikan kontribusi bagi adanya prisma citra
negatif bagi agama bersangkutan.
Penanganan
Komprehensif
Anarkisme atas nama agama tidak berdiri
sendiri. Meski pemahaman keagamaan seperti di atas terbukti membawa ke dalam
kekerasan, ada faktor-faktor lain yang membuat kekerasan atas nama agama
menjadi lebih mudah terwujud dan bahkan meningkat dari waktu ke
waktu.
Salah satu faktor pokok adalah lemahnya
penegakan hukum di Tanah Air dalam disorientasi kebebasan masyarakat,
berbarengan dengan penerapan demokrasi. Eksplosi kebebasan terbukti tidak
disertai peningkatan kapasitas aparat kepolisian untuk menjamin tegaknya
penghormatan kepada hukum, ketertiban dan keadaban secara tegas, berkesinambungan,
dan konsisten.
Disorientasi, fragmentasi, dan kontestasi
politik di kalangan para pejabat tinggi untuk mendapat simpati massa membuat
mereka tidak jarang mengirim pesan keliru kepada publik. Ini terlihat,
misalnya, kecenderungan kalangan pejabat tinggi untuk lebih bersikap akomodatif
dan kompromistis terhadap ormas anarkistis. Sikap seperti ini pada gilirannya
membuatnya merasa ”di atas angin” dan seolah memiliki kekebalan (impunity) di
depan hukum.
Mempertimbangkan berbagai faktor itu, perlu
dilakukan penanganan komprehensif sejak dari reorientasi pemahaman keislaman
dan praksis dakwah yang lebih dapat diterima publik secara keseluruhan,
penguatan penegakan hukum, sampai pada peneguhan sikap para pejabat publik
untuk tidak permisif terhadap anarkisme. Jika tidak, bukan tidak mungkin
anarkisme atas nama agama terus berkelanjutan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar