Rekrutmen
Pejabat
Moh Ilham A Hamudy, Peneliti BPP Kementerian Dalam Negeri
Sumber
: REPUBLIKA, 28 Februari 2012
Salah
satu surat kabar nasional mewartakan mengutip pernyataan Ketua Mahkamah
Konstitusi Mahfud MD--birokrasi yang ada sampai saat ini adalah birokrasi lama
yang karakternya tidak berubah. Hambatan administrasi terjadi justru di
birokrasi, terutama di level pejabat eselon. Menurut Mahfud, pada umumnya,
urusan macet ada pada pejabat-pejabat birokrasi level eselon II sehingga ada
yang menyebut pemerintahan kita adalah pemerintahan eselon II. Pada level ini,
urusan baru bisa berjalan kalau didorong dengan uang atau diintervensi dari
atas.
Mengapa
demikian? Banyak faktor yang menyebabkan. Salah satu akar persoalannya adalah
rekrutmen pejabat eselon di birokrasi yang tidak pernah beres. Sudah menjadi
rahasia umum bahwa rekrutmen pejabat bukan lagi didasarkan pada keahlian dan
kompetensi yang dimiliki oleh individu.
Padahal,
menurut Pasal 5 Peraturan Pemerintah (PP) No 100 Tahun 2000 tentang
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam Jabatan Struktural, persyaratan
untuk dapat diangkat dalam jabatan eselon adalah (a) berstatus PNS, (b)
serendah-rendahnya menduduki pangkat 1 (satu) tingkat di bawah jenjang pangkat
yang ditentukan, (c) memiliki kualifikasi dan tingkat pendidikan yang
ditentukan, (d) semua unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya
bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir, (e) memiliki kompetensi jabatan
yang diperlukan, dan (f) sehat jasmani dan rohani.
Meski
begitu, untuk mendapatkan pejabat yang profesional dan amanah, syarat itu saja
tidak cukup. Mesti ada akuntabilitas dan transparansi dalam rekrutmen dan
promosi jabatan. Dalam etika pemerintahan, publik harus tahu siapa yang
mengurus pemerintahan.
Transaksi Jabatan
Jika
transparansi dan akuntabilitas ditegakkan, pengangkatan pejabat akan diterima
semua pihak. Sehingga, pe merintahan akan dikelola secara amanah oleh orang
yang berkompeten, memiliki integritas, dan komitmen memper juangkan kepentingan
publik. Tetapi, selama ini yang terjadi sebaliknya. Alihalih publik tahu, calon
pejabat yang bersangkutan pun tidak tahu dirinya akan dipromosikan atau
dimutasi ke posisi apa dan ditempatkan di mana.
Semuanya serba tertutup. Jabatan seakan hanya menjadi rahasia atasan dan Tuhan
saja.
Si
calon pejabat biasanya baru bisa tahu ia akan ditempatkan pada posisi apa dan
di mana jika ia mendapatkan jabatan itu dengan membayar upeti.
Cara ini biasanya dilakukan oleh PNS yang merasa kariernya mentok atau
menjelang pensiun. Mereka minta dinaikkan jabatan, dimutasi ke tempat yang
`basah', ataupun ingin diperpanjang masa pensiun dan jabatannya. Khusus yang
disebut terakhir ini, peraturan perundangan memang membuka celah bagi mereka
yang ingin kolusi dan transaksi jabatan.
PP
No 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian PNS jelas mengakomodasi praktik kotor
itu. Pasal 4 ayat 1 berisikan, batas usia pensiun PNS dapat diperpanjang bagi
PNS yang memangku jabatan tertentu. Sementara, ayat 2 berisikan, perpanjangan
batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sampai dengan
.... Kata `dapat' dan `sampai dengan' ini adalah senjata sakti bagi pemegang
kekuasaan dan yang membutuhkan jabatan itu untuk bertransaksi guna memperpanjang
masa jabatan dan atau pensiun. Jual beli jabatan pun terjadi. Kalau ingin diperpanjang
setahun, harganya sekian, dua tahun sekian rupiah.
Alhasil,
korupsi yang dilakukan para birokrat sampai hari ini tidak pernah surut, malah
makin menggila. Data Indonesia Coruption Watch menyebutkan, sepanjang 2011 lalu
jumlah PNS yang menjadi tersangka kasus korupsi mencapai 230 orang, berbeda
dengan tahun sebelumnya yang hanya 86 tersangka. Para pejabat yang mendapatkan
jabatannya secara curang itu melakukan transaksi koruptif dengan menjual
kebijakan negara atau menggerogoti anggaran institusinya demi kepentingan
pribadi.
Tujuannya,
apalagi kalau bukan untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan ketika
meraih jabatan yang di sandang saat ini. Padahal, menurut Max Weber, salah satu
ciri birokrasi yang ideal adalah setiap pejabat sama sekali tidak diperbolehkan
untuk melaksanakan tugas yang terkait dengan jabatannya dan sumber daya
instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.
Lelang Terbuka
Kendati
reformasi birokrasi (RB) sudah digulirkan, praktik kotor seperti itu masih saja
terjadi. RB yang terjadi saat ini hanya bagus di atas kertas dan sekadar
mengedepankan remunerasi. Tengok saja RB yang telah dan sedang berlangsung di
kementerian, apakah sudah menerapkan akuntabilitas dan transparansi dalam
promosi jabatan? Sangat diragukan (kecuali Kementerian PAN-RB dan Kementerian
Keuangan yang mulai mereformasi diri)!
Faktanya,
belum ada kemauan dan komitmen kuat dari seluruh pimpinan di jajaran birokrasi
untuk melakukan RB. Padahal, RB harus berada di bawah kepemimpinan yang jujur,
tegas, dan visioner. Dalam hal ini, menteri, sekjen, kepala daerah, dan sekda
harus mampu memimpin tanpa kenal lelah, menghilangkan benturan kepentingan, dan
mengajak birokrat fokus pada tupoksi, terbuka, jujur, dan adil.
Untuk
mendapatkan pejabat eselon yang qualified, meminimalisasi praktik jual beli
jabatan, pendekatan yang mesti diambil adalah pengembangan potensi human
capital, bukan sekadar pendekatan administrasi kepegawaian.
Rekrutmen dan promosi jabatan dilaksanakan berdasarkan hasil penilaian kompetensi, integritas, dan moralitas oleh Tim Penilai Kinerja Pegawai tanpa membedakan gender, suku, agama, ras, dan golongan.
Rekrutmen dan promosi jabatan dilaksanakan berdasarkan hasil penilaian kompetensi, integritas, dan moralitas oleh Tim Penilai Kinerja Pegawai tanpa membedakan gender, suku, agama, ras, dan golongan.
Khusus
untuk pejabat eselon I dan II, sudah saatnya pengangkatannya dilakukan secara
lelang terbuka. Dengan sistem itu, calon pejabat eselon I dan II yang ada di
seluruh Tanah Air, tidak hanya di pusat tetapi juga daerah, berkesempatan untuk
berkompetisi mengisi jabatan dimaksud. Lebih dari itu, jabatan-jabatan penting
itu dapat diisi oleh orang yang benar-benar kompeten dan mempunyai visi ke
depan untuk mempercepat pelaksanaan RB. ●
Rekrutmen diasumsikan sebagai proses mencari calon/kandidat yang qualified dg memobilisasi potensi, motivasi, mampu menerima dan mengadakan perubahan demi pengembangan sumber daya. Dalam tahapan rekrutmen tentunya dibutuhkan teknik2 yang mampu membidik ke sasaran yang diharapkan, misalnya saja menggunakan metode yang sedang dikembangkan oleh Pusat Intelegensia Kesehatan (PIK) yakni BRAIN ASSESMENT yang merupakan tolak ukur untuk melihat perkembangan otak, terlebih lagi jika di combine dengan test attitude dan skill, dengan demikian akan menggiring SDM yang memiliki kompetensi yang jempolan
BalasHapus