Keadilan,
Teks, dan Waktu
Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS
JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Sumber
: JIL, 26 Februari 2012
“Baik
dalam masyarakat beragama dan masyarakat sekular, ada hal yang mempertemukan
keduanya, yakni pentingnya kedudukan teks sebagai penjamin makna keadilan. Teks
yang terbentuk melalui jalinan huruf yang membentuk kalimat dan ujaran yang
bermakna, memberikan rasa kepastian kepada masyarakat. Suatu pengertian yang
pra-teks (seperti pikiran yang ada di benak kita, atau percakapan longgar dalam
sebuah diskusi) biasanya tak stabil. Agar suatu pengertian bersifat stabil,
dibutuhkanlah teks sebagai “baju” yang memberikan bentuk yang kurang lebih
pasti terhadap kekaburan makna pra-tekstual.”
Hubungan antara teks, ruang dan waktu selalu
menjadi perdebatan di antara para penafsir, terutama penafsir teks yang
dianggap suci. Masalah ini, sebetulnya, bukan saja terjadi di lingkungan
masyarakat beragama, tetapi juga masyarakat pada umumnya.
Kenapa “teks” punya kedudukan yang begitu
penting seperti raja? Ada banyak penjelasan. Salah satunya yang menurut saya
paling penting adalah karena masyarakat bisa disebut sebagai “masyarakat”
manakala ada “tata” atau ketertiban dalam dirinya.
Orientasi semua masyarakat
dalam lingkungan kebudayaan manapun adalah selalu mencari keteraturan, dan,
jika itu sudah diperoleh, menjaganya sekuat mungkin, dengan harga apapun.
Inilah sebabnya, semua masyarakat, pada
dasarnya, berwatak konservatif. Semua masyarakat akan cenderung menjaga
ketertiban dan “tata” (order) yang sudah berhasil ia tegakkan dengan susah
payah. Perubahan terhadap tata dan keteraturan, misalnya karena tuntutan zaman,
akan selalu membuat masyarakat khawatir dan cemas.
Apa yang disebut tata dan keteraturan dalam
masyarakat tentu harus didasarkan pada nilai lain yang sangat penting
kedudukannya dalam tegaknya setiap sistem kemasyarakatan. Nilai itu ialah
keadilan. Setiap tata atau keteraturan haruslah memenuhi satu syarat, yaitu,
dia haruslah tata dan keteraturan yang adil. Tata yang tidak adil, cepat atau
lambat, tentu akan rubuh, karena semua anggota dalam masyarakat itu akan
melakukan perlawanan terhadapnya. Hingga waktu tertentu, perlawanan bisa
dicegah.
Tetapi, perlawanan terhadap tata yang tak adil tak bisa dicegah untuk
selama-lamanya.
Yang menjadi soal, apa yang disebut “yang
adil” bukanlah barang yang mudah didefinisikan. Konsep tentang yang adil juga
tidak statis, tetapi bergerak terus. Tetapi, jika standar keadilan berubah
terus, bagaimana masyarakat bisa ditegakkan? Bangunan masyarakat, pada
akhirnya, toh membutuhkan fondasi yang tetap dan ajeg. Di sinilah, isu “teks”
masuk. Teks dibutuhkan oleh masyarakat karena mereka membutuhkan kepastian
tentang pengertian keadilan itu. Oleh karena Tuhan dianggap sebagai sumber
keadilan yang mutlak, maka teks yang bersumber dari Tuhan (disebut Kitab Suci)
dianggap sebagai penjamin konsep keadilan yang paling kokoh. Teks-teks sekular
(misalnya konstitusi modern) dianggap tak bisa memenuhi cita-cita ini.
Itulah sebabnya teks suci menempati kedudukan
penting dalam masyarakat beragama. Dalam masyarakat sekular yang mempunyai
hubungan yang kian longgar atau lebih pribadi dengan agama, kedudukan teks
tetaplah penting sebagai penjamin makna keadilan. Hanya saja, teks yang menjadi
fondasi masyarakat sekular tidak lagi bersifat “suci”. Dalam masyarakat
sekular, kedudukan teks suci digantikan dengan teks konstitusi yang dihasilkan
melalui proses kesepakatan sosial.
Baik dalam masyarakat beragama dan masyarakat
sekular, ada hal yang mempertemukan keduanya, yakni pentingnya kedudukan teks sebagai
penjamin makna keadilan. Teks yang terbentuk melalui jalinan huruf yang
membentuk kalimat dan ujaran yang bermakna, memberikan rasa kepastian kepada
masyarakat. Suatu pengertian yang pra-teks (seperti pikiran yang ada di benak
kita, atau percakapan longgar dalam sebuah diskusi) biasanya tak stabil. Agar
suatu pengertian bersifat stabil, dibutuhkanlah teks sebagai “baju” yang
memberikan bentuk yang kurang lebih pasti terhadap kekaburan makna
pra-tekstual.
Pertanyaannya adalah: apakah konsep keadilan yang
begitu rumit bisa ditampung secara menyeluruh dalam sebuah teks, meskipun itu
adalah teks yang suci sekalipun? Jika keadaan berubah, waktu terus maju, dan
pengertian manusia tentang keadilan berubah secara mendasar, apakah pengertian
tentang keadilan yang sudah tertuang dalam teks tertentu (misalnya Quran atau
sunnah) harus dipertahankan apa adanya? Ataukah penafsiran ulang atas teks
dimungkinkan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sebetulnya tak
terlalu rumit jawabannya sejauh menyangkut teks yang tak suci, misalnya
konstitusi. Masalahnya menjadi rumit jika teks itu dianggap oleh masyarakat
tertentu sebagai teks suci yang berasal dari Tuhan dan berlaku sebagai
ketentuan yang universal kapanpun dan di manapun.
Berhadapan dengan teks yang tak suci,
seseorang dengan mudah akan menempuh jalur yang sederhana: jika teks itu sudah
tak sesuai dengan semangat zaman, ya dibuang saja, atau pun jika dibaca, hanya
sebagai sumber inspirasi umum saja. Tak ada keharusan untuk menaati makna
harafiah dalam teks itu.
Sikap “santai” semacam ini sulit kita
berlakukan terhadap teks yang dianggap suci. Jika ada yang memakai sikap rileks
seperti itu, dia akan menanggung resiko sosial dan keagamaan yang berat. Sejauh
menyangkut teks suci, biasanya seseorang harus menempuh jalan berliku dan
argumen yang bertakik-takik yang ujungnya sebetulnya sederhana: bahwa teks suci
itu sudah tak relevan, sehingga harus ditafsir ulang, sebab tak mungkin dibuang
sama sekali.
Saya akan memberikan contoh sederhana. Sebuah
hadis riwayat Ibn Majah menyebutkan, siapapun budak perempuan yang melahirkan
anak (karena digauli oleh majikannya), maka ia akan dengan sendirinya menjadi
merdeka setelah majikannya itu meninggal. Teks aslinya: ayyuma amatin waladat
min sayyidiha fa hiya hurratun ‘an duburin minhu. Dalam kitab-kitab fikih
(hukum Islam), biasanya hadis ini menjadi landasan untuk pembahasan lebih jauh
tentang apa yang disebut ummahat al-aulad (budak perempuan yang mempunyai anak
dari majikannya).
Dalam keyakinan umat Islam, hadis menempati
kedudukan sebagai teks suci kedua setelah Quran. Ketentuan yang tertuang dalam
hadis, oleh umat Islam dianggap sebagai norma yang mengikat, sebab ia adalah
sumber keadilan yang berasal dari Tuhan. Jika demikian halnya, bagaimana kita
berhadapan dengan teks pendek di atas yang berasal dari hadis Nabi itu?
Hadis di atas mengandung norma penting
tentang keadilan, yakni, hak budak perempuan untuk merdeka setelah majikannya
meninggal, karena yang terakhir ini telah menggaulinya sebagai layaknya seorang
isteri.
Tetapi, pertanyaan berikutnya juga segera
menyeruak ke permukaan: apakah hadis di atas juga mengandung norma
lain—misalnya, apakah ia menyetujui lembaga perbudakan? Jawaban tentu jelas
sekali: ya. Hadis itu, secara implisit (mafhum/makna tersirat), mengandung pengertian
bahwa lembaga perbudakan disetujui oleh Islam. Tidak seperti gerakan
abolisionis yang muncul pada abad ke-18 di negeri-negeri Barat yang menghendaki
penghapusan perbudakan secara total, Islam datang ke masyarakat Arab pada abad
ke-7 dengan ajaran yang non-abolisionistik. Islam bisa menerima lembaga
perbudakan pada zaman itu, tetapi, secara pelan-pelan, melakukan reformasi atas
lembaga itu. Islam mengenalkan sejumlah norma keadilan dalam memperlakukan
budak, antara lain melalui ketentuan tentang hak kemerdekaan otomatis bagi
seorang budak perempuan yang memiliki anak dari majikannya setelah yang
terakhir ini meninggal, seperti termuat dalam teks hadis di atas.
Pertanyaan berikutnya lagi: apakah lembaga
perbudakan ini harus tetap dipertahankan saat ini, semata-mata karena teks
hadis di atas mengandung makna implisit tentang pengakuan atas lembaga itu?
Jika jawabannya ya, apakah mempertahankan lembaga itu memenuhi norma keadilan
untuk konteks sekarang?
Saya kira, jawaban untuk pertanyaan ini
sangat mudah: jelas, lembaga perbudakan tak bisa lagi dipertahankan saat ini.
Selain berlawanan dengan hukum internasional, ia juga berlawanan dengan norma
keadilan yang diajarkan oleh Islam sendiri. Setahu saya, tak ada seorang ulama
modern yang masih berpendapat bahwa lembaga perbudakan masih bisa dipertahankan
saat ini, dengan alasan bahwa praktek itu tidak pernah dihapuskan secara mutlak
baik melalui teks Quran atau hadis.
Contoh kecil ini memperlihatkan beberapa hal.
Pertama, baik ketentuan yang berasal dari teks suci (agama) atau teks “sekular”
(seperti konstitusi modern), memiliki aspirasi yang sama, yaitu hendak
menegakkan tatanan yang adil. Kedua, apa yang disebut sebagai tatanan yang adil
sudah tentu berkembang terus, seturut dengan perkembangan peradaban manusia.
Pada suatu zaman, lembaga perbudakan dianggap tak menyalahi norma keadilan. Di
zaman yang lain, lembaga itu dianggap tak adil lagi, dan karena itu harus
dihapuskan sama sekali. Ketiga, karena pengertian tentang norma keadilan ini
terus berubah, maka pemahaman kita terhadap teks juga harus berubah, terutama
teks suci yang biasanya sama sekali tak bisa dihapuskan begitu saja. Jika
pemahaman kita statis, maka kita akan berpendapat bahwa lembaga perbudakan
harus tetap dipertahankan dengan landasan teks di atas. Pemahaman yang terakhir
ini, jelas bertentangan dengan rasa keadilan manusia modern saat ini.
Tetapi, yang lebih penting dari semuanya
ialah kenyataan bahwa teks tak bisa bersifat “exhaustive”, sempurna dan
lengkap memuat makna keadilan secara menyeluruh. Contoh hadis tentang budak umm
al-walad di atas adalah ilustrasi yang sangat bagus untuk memperlihatkan
ketidaksempurnaan teks dalam memuat pengertian tentang keadilan. Sebab, memang
setiap teks akan selalu terikat dengan konteks tertentu. Yang bisa membebaskan
teks dari kungkungan konteks ini agar norma keadilan yang terkandung di
dalamnya bisa terus relevan ialah pemahaman (baca: tafsir) kita. Manusialah
yang bertugas untuk “membebaskan” teks dari kungkungan spasio-temporal yang
membatasinya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar