Makna
Oscar bagi si Bisu
Kris Moerwanto, SENIOR
EDITOR JAWA POS
Sumber
: JAWA POS, 29 Februari 2012
SEPERTI sudah diramal banyak
pengamat film, film The Artist akhirnya benar-benar memenangi Academy
Awards 2012. Pada hajatan bergengsi komunitas perfilman sedunia yang
berlangsung dua hari lalu itu, tak tanggung-tanggung The Artist
memborong lima Piala Oscar. Salah satunya untuk kategori aktor terbaik, yakni
Jean Dujardin (lewat film yang sama dia sudah menyabet aktor terbaik di
Festival Cannes 2012 dan Golden Globe 2011). Selain itu, Oscar untuk kategori
desain kostum terbaik, sutradara terbaik, dan original score. Juga
penghargaan tertinggi Oscar sebagai film terbaik tahun ini. Sebelum di Piala
Oscar, The Artist berturut-turut telah sukses memenangi ajang Golden
Globe 2011 dan Guild Awards 2011.
Film buatan Prancis-Amerika itu menarik untuk dibahas dari aspek marketing terkait dengan pergeseran mutakhir disiplin ilmu komunikasi. Ada yang bilang, kunci kemenangan The Artist di berbagai ajang bergengsi penghargaan film itu adalah penyajian secara unik, berbeda dengan lainnya: Kisah di film tersebut sama sekali tak menyertakan sepotong pun dialog. Padahal, film produksi mutakhir justru sibuk dengan hiruk pikuk. Tak sekadar ingin memanjakan mata, tapi juga mengeksploitasi tata suara dan bunyi-bunyian yang disokong teknologi akustik serbaluar biasa.
Kemenangan film The Artist itu lain daripada yang lain. Itulah film bisu pertama yang berhasil memenangi Oscar sejak Perang Dunia I, di ajang yang justru perbandingan film-film "bersuara". Kisahnya campuran unsur komedi yang diwarnai romansa dan diselingi melodrama. Dengan setting Hollywood tahun 1927, film tersebut menceritakan kehidupan seorang aktor era film bisu yang sedang galau. Sebab, di tengah puncak ketenarannya, dunia perfilman Hollywood saat itu justru sedang bersiap-siap mengadopsi teknologi yang mengawali zaman baru, yakni era "film bersuara".
The Artist seakan mencubit kuat urat kesadaran para praktisi komunikasi dan media tentang kekuatan fenomena paradoks di tengah tata nilai yang dianggap lazim: Ketika yang berbunyi kian bikin gaduh, ternyata yang senyap justru layak disimak. Bahwa yang bisu alias tak bersuara terbukti bisa lebih bermakna di tengah yang serbabising. Ironisnya, salah satu nomine yang dikalahkan film The Artist, kebetulan, berjudul Extremely Loud alias Sangat Bising.
Ini catatan paradoks lain dari The Artist. Biaya produksinya terbilang murah di tengah kelaziman film Hollywood yang jor-joran menghabiskan biaya produksi mahal. Dikemasnya pun layaknya film klasik hitam putih, justru ketika berbagai film mutakhir menampilkan teknologi pencahayaan dan tata warna canggih. Belum lagi setting kisahnya yang era tempo doeloe, tahun 1927-1929. Padahal, tema-tema film kontemporer seakan bergegas berebut ingin menghadirkan kecanggihan teknologi dan serbamasa depan saat ini juga.
Kerasnya sikap George Valentin sang tokoh utamaĆ yang diperankan aktor Jean Dujardin, yang antipati terhadap penerapan teknologi baru dari film bersuara, juga sejalan dengan maraknya fenomena gerakan De-Tech di beberapa negara sejak 2011. Yakni, kesadaran masyarakat untuk mulai membatasi ketergantungan kehidupan mereka kepada teknologi dan menggantikannya dengan pola kehidupan bernuansa kembali ke alam. Fenomena itu menjadi diametral karena umat di seluruh penjuru dunia justru sedang dilanda euforia serba connected. Sampai-sampai yang tak connected dianggap jadul dan teralienasi dari kehidupan sosial.
Yang menarik, kemenangan The Artist itu sudah diramal salah satu agency periklanan terbesar sejagat, JWT Internasional. Dalam presentasinya yang berjudul Things to Watch in 2012, prakiraan intelijen pemasaran JWT mencatat bahwa fenomena silence adalah satu di antara seratus pertanda fenomenal yang diramal bakal terjadi. Dan ternyata terbukti. Di tengah suasana chaotic gara-gara kegaduhan dan kian bisingnya kehidupan serba connected yang dibanjiri komunikasi data dan suara di mana saja.
Dalam tinjauan perkembangan ilmu komunikasi pemasaran, fenomena chaotic karena banjir data, suara, dan informasi tersebut sebenarnya adalah implikasi. Terjadi ketika jagat pemasaran berubah kian memipih (horizontal). Banyak sumber informasi yang secara serentak menyuplai banyak informasi kepada banyak tujuan. Bahkan, pesan tak lagi butuh diantarkan dengan kata-kata untuk bisa dikomunikasikan. Sebab, seperti kata Marshall McLuhan, media kini telah menjelma menjadi pesan itu sendiri. Karena itu, laiknya film bisu, film The Artist pun semata mengandalkan kekuatan gambar bergerak, kualitas akting dan ekspresi pemeran, serta komposisi musik pengiring seluruh adegan sebagai sarana penyampai pesan.
Ada yang mengistilahkan, ini adalah zaman attention economy. Inilah era ketika konsumen harus dibujuk, bahkan dibayar dulu, agar sejenak mau memperhatikan sesuatu. Tapi, kehidupan yang serba connected secara digital mengakibatkan opsi pilihan pun tersedia tanpa batas. Padahal, makin tersedia multiopsi, perhatian konsumen justru gampang terdistraksi, teralihkan ke opsi lain.
Tapi, The Artist menyadarkan kita bahwa di tengah zaman yang serba tergesa, ditingkah suara berisik, hiruk pikuk, serta suasana yang kian gaduh dan bising sehingga kata-kata seakan semakin kehilangan makna, ternyata pesan yang sunyi justru bisa lebih berarti. Pelajaran penting bagi para praktisi komunikasi dan media tentang bagaimana bersiasat membantu konsumen media agar kian terberdayakan: mampu membedakan, memilah dan memilih mana pesan penting dari yang genting. Bisa membedakan mana pesan yang bermakna dari yang ornamental belaka. ●
Film buatan Prancis-Amerika itu menarik untuk dibahas dari aspek marketing terkait dengan pergeseran mutakhir disiplin ilmu komunikasi. Ada yang bilang, kunci kemenangan The Artist di berbagai ajang bergengsi penghargaan film itu adalah penyajian secara unik, berbeda dengan lainnya: Kisah di film tersebut sama sekali tak menyertakan sepotong pun dialog. Padahal, film produksi mutakhir justru sibuk dengan hiruk pikuk. Tak sekadar ingin memanjakan mata, tapi juga mengeksploitasi tata suara dan bunyi-bunyian yang disokong teknologi akustik serbaluar biasa.
Kemenangan film The Artist itu lain daripada yang lain. Itulah film bisu pertama yang berhasil memenangi Oscar sejak Perang Dunia I, di ajang yang justru perbandingan film-film "bersuara". Kisahnya campuran unsur komedi yang diwarnai romansa dan diselingi melodrama. Dengan setting Hollywood tahun 1927, film tersebut menceritakan kehidupan seorang aktor era film bisu yang sedang galau. Sebab, di tengah puncak ketenarannya, dunia perfilman Hollywood saat itu justru sedang bersiap-siap mengadopsi teknologi yang mengawali zaman baru, yakni era "film bersuara".
The Artist seakan mencubit kuat urat kesadaran para praktisi komunikasi dan media tentang kekuatan fenomena paradoks di tengah tata nilai yang dianggap lazim: Ketika yang berbunyi kian bikin gaduh, ternyata yang senyap justru layak disimak. Bahwa yang bisu alias tak bersuara terbukti bisa lebih bermakna di tengah yang serbabising. Ironisnya, salah satu nomine yang dikalahkan film The Artist, kebetulan, berjudul Extremely Loud alias Sangat Bising.
Ini catatan paradoks lain dari The Artist. Biaya produksinya terbilang murah di tengah kelaziman film Hollywood yang jor-joran menghabiskan biaya produksi mahal. Dikemasnya pun layaknya film klasik hitam putih, justru ketika berbagai film mutakhir menampilkan teknologi pencahayaan dan tata warna canggih. Belum lagi setting kisahnya yang era tempo doeloe, tahun 1927-1929. Padahal, tema-tema film kontemporer seakan bergegas berebut ingin menghadirkan kecanggihan teknologi dan serbamasa depan saat ini juga.
Kerasnya sikap George Valentin sang tokoh utamaĆ yang diperankan aktor Jean Dujardin, yang antipati terhadap penerapan teknologi baru dari film bersuara, juga sejalan dengan maraknya fenomena gerakan De-Tech di beberapa negara sejak 2011. Yakni, kesadaran masyarakat untuk mulai membatasi ketergantungan kehidupan mereka kepada teknologi dan menggantikannya dengan pola kehidupan bernuansa kembali ke alam. Fenomena itu menjadi diametral karena umat di seluruh penjuru dunia justru sedang dilanda euforia serba connected. Sampai-sampai yang tak connected dianggap jadul dan teralienasi dari kehidupan sosial.
Yang menarik, kemenangan The Artist itu sudah diramal salah satu agency periklanan terbesar sejagat, JWT Internasional. Dalam presentasinya yang berjudul Things to Watch in 2012, prakiraan intelijen pemasaran JWT mencatat bahwa fenomena silence adalah satu di antara seratus pertanda fenomenal yang diramal bakal terjadi. Dan ternyata terbukti. Di tengah suasana chaotic gara-gara kegaduhan dan kian bisingnya kehidupan serba connected yang dibanjiri komunikasi data dan suara di mana saja.
Dalam tinjauan perkembangan ilmu komunikasi pemasaran, fenomena chaotic karena banjir data, suara, dan informasi tersebut sebenarnya adalah implikasi. Terjadi ketika jagat pemasaran berubah kian memipih (horizontal). Banyak sumber informasi yang secara serentak menyuplai banyak informasi kepada banyak tujuan. Bahkan, pesan tak lagi butuh diantarkan dengan kata-kata untuk bisa dikomunikasikan. Sebab, seperti kata Marshall McLuhan, media kini telah menjelma menjadi pesan itu sendiri. Karena itu, laiknya film bisu, film The Artist pun semata mengandalkan kekuatan gambar bergerak, kualitas akting dan ekspresi pemeran, serta komposisi musik pengiring seluruh adegan sebagai sarana penyampai pesan.
Ada yang mengistilahkan, ini adalah zaman attention economy. Inilah era ketika konsumen harus dibujuk, bahkan dibayar dulu, agar sejenak mau memperhatikan sesuatu. Tapi, kehidupan yang serba connected secara digital mengakibatkan opsi pilihan pun tersedia tanpa batas. Padahal, makin tersedia multiopsi, perhatian konsumen justru gampang terdistraksi, teralihkan ke opsi lain.
Tapi, The Artist menyadarkan kita bahwa di tengah zaman yang serba tergesa, ditingkah suara berisik, hiruk pikuk, serta suasana yang kian gaduh dan bising sehingga kata-kata seakan semakin kehilangan makna, ternyata pesan yang sunyi justru bisa lebih berarti. Pelajaran penting bagi para praktisi komunikasi dan media tentang bagaimana bersiasat membantu konsumen media agar kian terberdayakan: mampu membedakan, memilah dan memilih mana pesan penting dari yang genting. Bisa membedakan mana pesan yang bermakna dari yang ornamental belaka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar