Partai
Vs Media, Siapa Menang?
Tjipta Lesmana, GURU
BESAR KOMUNIKASI POLITIK, UNIVERSITAS PELITA HARAPAN (UPH),
PEMEGANG PRESS CARD NUMBER ONE DARI PWI PUSAT
Sumber
: SINAR HARAPAN, 29 Februari 2012
Sejumlah fungsionaris Partai Demokrat merasa
“gerah” dan jengkel dengan pemberitaan media massa yang dinilai sangat
memojokkan dan merugikan partai.
Satu bulan terakhir berita seputar kasus
Nazaruddin memang mendapat liputan yang semakin gencar, karena dikaitkannya
beberapa nama pembesar Partai Demokrat. Nazaruddin, Mindo Rosalina Manullang,
Yulianis dan beberapa saksi lain menyebut-nyebut nama Anas Urbaningrum, Ketua
Umum Partai Demokrat.
Eksposur terhadap ''fenomena Angelina
Sondakh'', eks Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat yang juga anggota
Badan Anggaran DPR, betul-betul menohok.
Yang dimaksud “fenomena Angie” adalah: (a)
kesaksiannya pada persidangan Nazaruddin 10 hari lalu, (b) pemindahan Angie di
DPR yang terkesan panik dari Komisi X ke Komisi III, kemudian ke Komisi VIII, tapi
akhirnya kembali ke habitatnya semula, Komisi X.
Kesal dengan pemberitaan yang dinilai bias
dan bernuansa ”mengadu domba” antara sesama kader partai, Kepala Bidang Hukum
dan HAM Partai Demokrat, Jimmy Setiawan, menyerukan rekan-rekannya untuk
memboikot media massa. Maksudnya? Jangan mau melayani permintaan wawancara
media!
Jimmy Setiawan, pasti, tidak mengerti
komunikasi.
Jangan salahkan media kalau pemberitaan media
terkesan bias dan merugikan. Informasi-informasi yang
dipublikasikan/ditayangkan media, sesungguhnya, berasal dari sumber-sumber
terbuka, seperti persidangan terhadap Nazaruddin, pengamat, dan orang-orang
Demokrat sendiri. Media hanya mencoba memotret apa yang terjadi. Kalau
kejadiannya menghebohkan, tentu saja pemberitaannya pun menghebohkan.
Kesaksian Angelina Sondakh memang
menghebohkan. Dia membantah hampir semua pertanyaan hakim dan terdakwa
Nazaruddin. Bahkan, apa yang sudah tertulis di Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
yang ditandatanganinya dibantah, termasuk soal penggunaan telepon BlackBerry
miliknya. Ada kesan Angie (panggilan akrabnya) telah melecehkan para anggota
majelis hakim dan pengacara serta jaksa/penuntut umum.
Hampir semua narasumber yang dimintakan
komentarnya tentang kesaksian Angie memberikan pandangan sama. Pertama, mereka
sangat meragukan kejujuran Angie. Apakah Angie sedang berupaya keras untuk
menyelamatkan beberapa petinggi Demokrat? Masakan, semua dijawab ”Tidak
pernah”, ”Tidak pernah”, dan ”Tidak pernah”. Secara implisit, para narasumber
itu melemparkan tudingan Angie telah melakukan perjury alias bersaksi
bohong.
Salahkah media jika tanggapan-tanggapan
narasumber dipublikasikan di media mereka?
Perihal pemindahan Angie dari Komisi X DPR,
memang menimbulkan kepanikan dan kekacauan (messy). Wakil Ketua Fraksi
Partai Demokrat, Sutan Bhatoegana, menyatakan tidak tahu kalau Angie
dipindahkan ke Komisi III, padahal sebelumnya ia mengaku sudah mengusulkan agar
Angie dipindahkan ke Komisi VIII agar mendapat ”siraman rohani”. Itu artinya
apa?
Artinya, tidak ada kekompakan dalam tubuh
Partai Demokrat, kalau tidak dikatakan ”ada gesekan-gesekan internal”. Pemimpin
Fraksi PD kemudian berkilah bahwa rotasi Angie sudah direncanakan jauh sebelum
kesaksiannya di pengadilan.
Tapi, apakah pemimpin fraksi dan DPP tidak
bisa membaca peta situasi? Segera setelah Angie memberikan kesaksian dan
menimbulkan reaksi yang begitu heboh di masyarakat, apakah mereka tidak cepat
membaca reaksi masyarakat, khususnya para pakar hukum pidana?
Jika semua ini direkam dan dipublikasikan
oleh media, media tidak bisa disalahkan, apalagi ada pernyataan Andi
Mallarangeng, Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat, bahwa SBY selaku Ketua
Dewan Pembina marah setelah mengetahui Angie dirotasi ke Komisi III.
Sekali lagi, Jimmy Setiawan tidak paham
komunikasi, apalagi jurnalistik. Bagaimana seorang wartawan mencari dan menulis
berita, ada kriteria. Salah satu nilai berita yang tinggi adalah kontradiksi
atau konflik.
Kejadian yang mengandung nuansa kontradiksi
atau konflik pasti mengandung nilai berita tinggi. Ketika satu petinggi
Demokrat menohok petinggi lain dalam pernyataannya, that is good news!
Lapor ke KPI
Setelah wacana boikot media kandas total,
beberapa warga melaporkan dua stasiun televisi ke Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI). Menurut Didi Syamsuddin, salah satu Ketua Partai Demokrat yang juga
anggota DPR, pengaduan itu bukan atas nama institusi (PD), tapi
pribadi-pribadi.
Tapi, beberapa di antara mereka diketahui
wartawan yang bekerja di media cetak yang berkiblat ke PD. Dalam alam
demokrasi, tentu saja tindakan mereka sah-sah saja. Mungkin mereka menilai
liputan berita kedua stasiun TV itu tidak lagi objektif dan ”sangat menjurus”.
Sebagai praktisi sekaligus akademisi
jurnalistik, saya prihatin melihat fenomena ”kebakaran jenggot” di kalangan
Partai Demokrat. Tapi, karena saya selama ini menjalin hubungan yang cukup baik
dengan mereka, ada baiknya saya memberikan sedikit advis kepada kader-kader PD.
Pertama, dalam era demokrasi liberal,
informasi harus dilawan dengan informasi, bukan dengan ancaman atau intimidasi
dalam bentuk apa pun.
Kedua, media adalah wacana publik untuk
mencari kebenaran. Dalam rezim otoriter, kebenaran itu milik penguasa.
Sebaliknya, dalam sistem demokrasi, penguasa akan sia-sia kalau mencoba
membentuk kebenaran, sebab kebenaran milik publik.
Caranya, ya, melalui dialog publik (public
discourse) yang terus-menerus, bebas dan jujur. Pada saatnya nanti,
pendapat ngaco akan gugur dengan sendirinya, dan yang benar akan
mendapat dukungan mayoritas.
Ketiga, terkait butir kedua, media pemerintah
atau yang berkiblat ke penguasa takkan laku. Di seluruh dunia – dan dalam
sistem demokrasi, sebagian besar rakyat emoh membaca atau menonton media
pemerintah.
Sebaliknya, media yang terus-menerus
memaki-maki pemerintah pun takkan mendapat simpati publik. Media harus objektif
dan independen. Tapi, independen bukan tidak boleh berpihak. Media harus
berpihak, yaitu berpihak kepada kebenaran dan keadilan!
Tontonan di persidangan Muhammad Nazaruddin
dengan para saksinya selama ini, sesungguhnya, sekaligus tempat publik mencari
dan memperdebatkan kebenaran dan keadilan. Media tidak pernah puas dengan
adegan di persidangan yang kadang kala memang seperti ”badut”. Maka, media
mencari sumber-sumber lain di luar pengadilan. Terjadilah diskursus publik yang
intensif.
Keempat, sejarah di mana-mana – temasuk di
Indonesia – membuktikan bahwa penguasa yang memusuhi, apalagi berkonfrontasi,
dengan media, kejatuhannya tinggal tunggu waktu. Media bisa serempak bersatu
menghantam penguasa! Itulah yang kita saksikan pada era Megawati Soekarnoputri
ketika pemerintah terus menghantam media.
Ketika SBY tampil, benar atau salah, sebagian
besar media serempak balik badan ke SBY dan meninggalkan Bu Mega. Pengalaman
serupa terjadi pada era Gus Dur yang sering menyalahkan dan mendiskreditkan
media ketika pernyataan-pernyataan kepala negara menimbulkan kontroversi.
Orang-orang Demokrat boleh kesal melihat
pemberitaan media hari-hari ini tentang partainya. Tapi, hendaknya mereka
menyikapinya dengan kepala dingin. Jangan lupa, kebusukan tidak bisa dibungkus
dengan cara apa pun! Aksi boikot atau lapor ke KPI dan Dewan Pers justru bisa
merugikan diri sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar