Soal
BBM: Tiada Jalan Lain
A. Tony Prasetiantono, KEPALA PUSAT STUDI EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK (PSEKP) UGM, YOGYAKARTA
Sumber
: KOMPAS, 27 Februari 2012
Akhirnya ”perjuangan” Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono untuk menahan harga bahan bakar minyak bersubsidi telah usai. Setelah
sekian lama dikritik para pengamat dan disarankan untuk menaikkan harga BBM
bersubsidi demi kesehatan dan keberlanjutan fiskal, akhirnya Presiden pun
memutuskan untuk menaikkan harga BBM (Kompas, 22/1/12). Kini, sedang dicarikan
saat yang tepat untuk melakukannya.
Di samping itu, masih diperlukan persetujuan
DPR dan mengubah Undang-Undang (UU) APBN yang telanjur diputuskan untuk tidak
menaikkan harga BBM tahun ini.
Sayang sekali, pemerintah dan DPR telanjur
membuat UU seperti itu, padahal mereka tahu kondisi perekonomian global tidak
menentu. Jadi, mana mungkin berani memutuskan harga BBM tidak dinaikkan,
padahal kita tidak tahu apa yang bakal terjadi di zona euro, Amerika Serikat,
ataupun Iran. Bagaimana prospek ekonomi global? Semuanya serba abu-abu.
Sebagai contoh, sampai hari ini kita
senantiasa diliputi tanda tanya, bagaimana solusi krisis zona euro?
Kegagalan Euro
Ekonom AS rata-rata skeptis terhadap mata
uang tunggal euro. Martin Feldstein (Harvard) dengan tegas menyindir bahwa euro
merupakan ”eksperimen yang gagal”. Kegagalan itu dinilainya bukan kebetulan.
Artinya, sebenarnya sudah bisa diantisipasi sebelumnya (”The Failure of the
Euro”, Foreign Affairs, Januari-Februari 2012).
Sementara Paul Krugman (Princeton)
menyarankan agar Yunani keluar dari zona euro dan membikin mata uang sendiri,
yang selanjutnya bisa terdepresiasi, lalu pelan-pelan perekonomiannya pulih.
Namun, ekonom lain banyak yang tak
sependapat. Mantan Gubernur Bank Sentral Argentina (Mario Blejer) dan Meksiko
(Guillermo Ortiz) menulis kolom di The Economist (18-24 Februari 2012) bahwa
Yunani sebaiknya tidak keluar dari zona euro. Menerbitkan mata uang baru yang
kemudian terdevaluasi bukan perkara gampang.
Berdasarkan pengalaman negara-negara Amerika
Latin, khususnya Argentina pada 2002, langkah tersebut akan menyebabkan bank
run. Masyarakat akan panik dan menimbulkan pelarian dana besar-besaran. Di
Argentina bahkan timbul kerusuhan. Padahal, devaluasi mata uang dimaksudkan
untuk mendorong daya saing. Namun, jalan menuju sana sangat tidak linier.
Kedua ekonom tersebut menyarankan agar Yunani
tetap menggunakan mata uang euro sambil terus menjalankan kebijakan disiplin
fiskal yang ketat (austerity). Itu memang bakal menyakitkan dan menjadi
perjalanan panjang, tetapi masih lebih dapat dikelola dengan baik dibandingkan
dengan keluar dari zona euro.
Lonjakan Harga Minyak
Belum lagi krisis zona euro tertangani dengan
baik—meski sudah ditolong dengan dana talangan 130 miliar euro yang bisa
mengamankan utang jatuh tempo Yunani pada 20 Maret 2012—harga minyak dunia
kembali naik dan mencapai puncak 106 dollar AS per barrel karena konflik
Iran-AS.
Ini meningkatkan kompleksitas krisis ekonomi
global yang sama sekali di luar jangkauan kita untuk mengelak. Juga tidak ada
jaminan, kapan konflik ini bakal berakhir sehingga kian sulit meramalkan kapan
harga minyak turun.
Paling-paling ekonom hanya bisa berspekulasi
bahwa ”harga minyak bakal turun jika permintaan turun”. Itu sama saja berharap
agar krisis ekonomi global kian memburuk. Jadi, mau tidak mau, menaikkan harga
BBM memang telah menemukan urgensinya. Presiden Yudhoyono sudah tidak memiliki
tabungan argumentasi untuk menundanya lagi. Sudah tidak ada jalan lain.
Keputusan ini dapat mengakhiri spekulasi yang
berkembang terhadap rencana pemerintah untuk membatasi konsumsi BBM dan
melakukan konversi energi ke bahan bakar gas (BBG) pada 1 April 2012. Rencana
ini tidak realistis karena pembatasan BBM bersubsidi rawan kericuhan, sedangkan
penggunaan BBG memerlukan masa transisi panjang, setidaknya tiga tahun.
Upaya untuk tidak menaikkan harga BBM
bersubsidi sepertinya sekadar mengulur-ulur waktu yang hanya populer secara
politis, tetapi sama sekali tidak produktif secara ekonomis. Jika pemerintah
tidak melakukan tindakan apa pun, subsidi BBM akan mencapai Rp 150 triliun,
ditambah Rp 90 triliun untuk subsidi listrik.
Angka subsidi Rp 210 triliun jelas sangat
tidak masuk akal dibandingkan dengan volume APBN 2012 sebesar Rp 1.418 triliun.
Angka tersebut bahkan jauh lebih besar dibandingkan dengan dana pemerintah yang
dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur setahun. Tentu ini hal yang ironis
dan tidak boleh dibiarkan berlanjut.
Momentum Kenaikan
Sekarang masalahnya adalah kapan dan
berapakah harga BBM dinaikkan? Sebenarnya saat ini merupakan momentum yang
tepat ketika inflasi year on year hanya 3,65 persen.
Sayangnya, masih ada proses konstitusi yang
harus dilalui sehingga paling cepat 2-3 pekan lagi dieksekusi. Pada saat itu,
saya perkirakan inflasi juga masih cukup landai, antara 3,5 dan 4 persen. Ini
masih cukup kondusif.
Lalu, berapa besaran kenaikannya? Saya duga
angkanya Rp 1.000 per liter karena pada angka ini kontribusi terhadap tambahan
inflasi masih sekitar 1 persen. Jadi, sesudah kenaikan harga BBM, inflasi akan
sekitar 5 persen. Secara ekonomi masih terjangkau (affordable), sedangkan
secara politis belum memicu gejolak kerusuhan.
Pemerintah juga akan memberikan kompensasi
kepada masyarakat yang paling terkena dampak kenaikan harga ini melalui skema
subsidi langsung. Saya usulkan agar skemanya sejauh mungkin menghindari bentuk
uang tunai karena berisiko kericuhan—sebagaimana pengalaman masa lalu.
Sistem kupon makanan seperti di Amerika
Serikat rasanya bisa diadopsi. Di sana, setiap Jumat sore hingga malam
masyarakat antre di kasir supermarket dengan membawa kupon yang bisa dibelikan
bahan pokok. Ini bisa meminimalkan risiko kesalahan alokasi, misalnya dana
bantuan langsung tunai (BLT) malah digunakan untuk membeli telepon seluler.
Namun, bagi daerah-daerah terpencil yang
infrastrukturnya buruk, skema ini barangkali sulit diterapkan. Karena itu,
skema uang tunai masih relevan. Namun, di daerah yang padat
penduduknya—biasanya infrastruktur perdagangan bahan pokok cukup baik—skema ini
bisa diterapkan.
Ke depannya, pemerintah perlu memikirkan
skema lain yang memenuhi asas keadilan. Meski sudah ada skema kompensasi
(misalnya BLT), tetap saja kenaikan harga BBM bersubsidi secara ”pukul rata”
akan menimbulkan masalah ketidakadilan.
Orang berkendaraan mobil yang sekali mengisi
tangkinya 40 liter mendapatkan jatah subsidi 10 kali lipat pengendara sepeda
motor yang mengisi tangkinya 4 liter. Karena itu, subsidi bagi pemilik mobil
dan sepeda motor mestinya berbeda.
Karena itu, saya usul agar pemerintah mulai
mempersiapkan skema yang ”lebih maju” yang menyerap aspirasi keadilan. Harga
BBM bersubsidi bagi sepeda motor seharusnya berbeda dengan mobil. Sama-sama
bersubsidi, pemilik sepeda motor mestinya diberi ”proteksi” yang lebih besar.
Memang tidak akan ada skema yang bebas
komplikasi ketika diimplementasikan. Yang bisa kita lakukan adalah meminimalkan
risiko dampak kerusakan. Kenaikan harga minyak dunia, sebagaimana krisis
ekonomi di zona euro, merupakan sebuah keniscayaan, di mana kita tidak bisa
melarikan diri.
Kenaikan harga BBM bersubsidi pasti
menyakitkan. Namun, bukan hanya kita yang menderita karena ini praktis sudah
menjadi ”musuh bersama” di seluruh dunia—kecuali negara eksportir minyak.
Pemahaman ini harus terus dikampanyekan pemerintah agar dapat mengurangi beban
psikologis masyarakat. ●
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus