Pekerjaan
Rumah OJK
Didik J. Rachbini, GURU BESAR DAN EKONOM SENIOR INDEF
Sumber
: REPUBLIKA, 24 Februari 2012
Sektor
keuangan Indonesia telah memasuki babak baru setelah disahkan Undang-Undang
Otoritas Jasa Keuangan (UU-OJK). Tujuan OJK didirikan adalah untuk mewujudkan
sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Wewenangnya luas,
antara lain, pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal
minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan
penca dangan bank. Dengan sistem yang baru, diharapkan perbankan lebih efisien,
biaya modal dan suku bunga rendah, serta perbankan bebas kartel.
Ekonomi
Indonesia tumbuh cukup memadai sekitar 6,5 persen, tetapi masih banyak penyakit
ekonomi yang menjangkiti ekonomi nasional. Ekonomi Indonesia berkembang karena
momentum dan faktor eksternal yang mendukung nya. Tetapi, ada banyak masalah
yang menghambat, antara lain, sektor keuang an yang masih kalah efisien
dibanding kan dengan efisiensi perbankan di negara-negara sekitarnya.
Banyak
kritik bahwa perbankan Indonesia tidak efisien. Kadin juga menggugat dunia
perbankan untuk menurun kan tingkat suku bunganya agar lebih mendorong dunia
usaha. Tingkat suku bunga yang tinggi pada saat ini sudah dianggap membebani
dunia usaha dan menggerus daya saing dunia usaha Indonesia. Perbankan nasional dianggap tidak
efisien karena daya saing Indonesia tidak setara dengan perbankan di
negara-negara ASEAN lainnya yang sudah menurunkan suku bunganya, baik suku
bunga deposito maupun kredit.
Tidak
hanya ketua umum Kadin, tetapi Gubernur Bank Indonesia (BI), juga mengeluhkan
perbankan nasional, yang tidak serta-merta menurunkan suku bunga kredit ketika
BI secara bertahap menurunkan BI ratenya. Level BI Rate beberapa bulan terakhir
ini berada pada kisaran enam-tujuh persen, tetapi tingkat suku bunga kredit di
pasar mencapai 14-15 persen.
Bahkan,
usaha menengah masih membayar dengan suku bunga lama hampir 20 persen. Untuk
keperluan mo dal dalam usaha konsultansi ekonomi, kredit yang harus dibayar
mencapai dua kali lipat dari pinjamannya hanya dalam empat-lima tahun.
Perbankan sekarang sangat menikmati suku bunga tinggi dari kegiatan perkreditannya.
Dari
perbedaan dengan BI rate mau pun suku bunga deposito, suku bunga kredit yang
terbentuk sangat tinggi dan membebani dunia usaha. Karena itu, tidak aneh jika
ketua umum Kadin menggugat dunia perbankan, yang memainkan dan mempertaruhkan
nasib dunia usaha dengan suku bunga yang tinggi. Walau dana masuk melimpah,
tingkat suku bunga di Indonesia tetap tinggi. Dalam hukum ekonomi yang
sederhana, ketika pasokan melimpah maka harga cenderung turun.
Lalu,
apa penyebab tingginya tingkat suku bunga di Indonesiai? Mengapa suku bunga
kredit tidak pernah turun secara proporsional? Bagaimana perilaku pasar
keuangan di subsektor perbankan?
Sudah
jamak kalau Kadin mengkritik bahwa tingkat suku bunga kita tergolong yang
paling tinggi di dunia. Rata-rata suku bunga dasar kredit (nominal) mencapai
11,9 persen. Di pasar kre dit tingkat suku bunga yang terbentuk lebih tinggi
lagi, yakni sekitar 1415 persen. Ini setara dengan negara terbelakang, seperti
Laos dengan tingkat suku bunga sekitar 12-13 persen.
Kadin
menilai, keadaan ini tidak kon dusif bagi dunia usaha dan meminta dunia
perbankan agar tingkat suku bunga turun setara dengan negara-negara sekitarnya.
Intinya, dengan dana yang melimpah se mestinya tingkat suku bunga di pasar
kredit turun sehingga BI harus lebih agresif lagi merancang kebijakan yang
memungkinkan harga modal usaha menjadi lebih layak. Tidak seperti sekarang,
dunia usaha menanggung beban bunga yang tinggi.
Negara-negara
tetangga sudah ber hasil mengefisienkan tingkat suku bu nga nya jauh di bawah
Indonesia. Tingkat suku bunga dasar kredit di Malaysia hanya 6,6 persen,
Singapura sekitar 4,3 persen, dan Thailand 3,3 persen.
Ketika
pasokan dana besar, suku bu nga tidak turun secara signifikan. Dibandingkan dengan suku bunga di ne
gara sekitarnya, tingkat suku bunga di Indonesia masih sangat tinggi. Ber
dasarkan gejala-gejala ini maka dipas tikan ada akar masalah yang menyebabkan
suku bunga tetap tinggi.
Tampaknya
struktur pasar keuangan di Indonesia bersifat oligopolistis. Pada pasar
keuangan khusus deposito, pemilik dana besar yang bisa memengaruhi suku bunga
hanya di tangan segelintir pelaku, yakni BUMN besar, pemerintah terutama
Kementrian Keuangan, dan orang kaya di Indonesia. Dengan struktur oligopili ini
ada juga indikasi perilaku monopolistis di mana pemilik dana tersebut meminta
tingkat suku bunga khusus atau “special rate” sehingga mendong krat tingkat
suku bunga deposito.
Pasar
yang oligopolistis ini bersaing tentunya dengan SBI atau BI Rate, yang ju ga
terdongkrak lebih tinggi. Karena itu, juga tidak aneh jika SBI dan BI ra te
kita jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Sibor dan Libor karena faktor
struktur pasar dan perilaku monopoli tersebut. Bahkan, jauh lebih tinggi lagi
dibandingkan dengan US prime rates, sekitar tiga persen dan Japan Prime Ra tes
sekitar satu persen.
Jadi,
masalah suku bunga juga berakar pada struktur pasar yang oligopo listis dan
perilaku monopolistis, terutama pemilik dana besar BUMN dan pemerintah sendiri.
Pemilik dana besar di BUMN dan pemerintah meminta bunga yang tinggi pada
perbankan sehingga suku bunga deposito terdongkrak tinggi.
Pantas
suku bunga Indonesia tergolong paling tinggi di dunia karena ada indikasi
kartel di dalam pasar keuangan ini, yang tidak lepas kemungkinan kolusi. Dana
besar di BUMN sudah menjadi rahasia umum sebagai barang dagangan antara bank
dan pemilik dana. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi OJK yang baru, yang bila
diperlukan bisa bekerja sama dengan KPPU. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar