Memangkas
Inferioritas Migas
Eddy Purwanto, MANTAN
DEPUTI BP MIGAS
Sumber
: KORAN TEMPO, 29 Februari 2012
Di sektor energi, tahun "layak
investasi" 2012 sebaiknya dimanfaatkan oleh para pemangku kepentingan
untuk meningkatkan ketahanan minyak dan gas bumi nasional dari hulu hingga ke
hilir. Inilah waktu yang tepat untuk memangkas "ketidakberdayaan"
atau "inferioritas" negara atas sumber daya migas agar lebih
superior, sekaligus memperbaiki iklim usaha untuk kenyamanan dan keuntungan
para investor yang berniat menanamkan modalnya di bumi Indonesia, khususnya di
tataran migas. Kita sambut rencana Amerika Serikat untuk segera menambah
investasi migas US$ 25 miliar, setelah Fitch dan Moody menaikkan rating
investasi Indonesia (11 Februari).
Sektor Hulu
Di sisi hulu, selain keharusan menggalakkan
kegiatan kebumian melalui eksplorasi dan eksploitasi, untuk mulai memangkas
inferioritas, pemerintah dapat memulai dari penyempurnaan kontrak production
sharing (PSC) yang baru. Bila dipandang perlu, dapat dipertimbangkan
pemberian insentif sebagai bentuk kompensasi penyempurnaan PSC.
Seperti dimaklumi, sejak menjadi negara net
pengimpor minyak pada 2004, Indonesia membutuhkan penguasaan volume migas yang
lebih berdaulat di dalam negeri. Penguasaan volume migas yang selama ini
diserahkan ke tangan kontraktor perlu dipertimbangkan kembali tanpa merugikan
kontraktor.
Tahun 2012 adalah saat yang tepat untuk
mengadakan penyempurnaan kontrak guna menjawab kebutuhan bangsa, terutama
setelah Indonesia menjadi negara net pengimpor minyak dan bersiap menghadapi
perubahan sosial-ekonomi yang radikal di masa depan.
Ramalan para ahli, pendapatan per kapita
Indonesia bisa menembus US$ 10 ribu pada 2016-2017, naik dibanding saat ini
yang sudah mencapai US$ 3,542. Pertumbuhan ekonomi, yang ditunjang oleh kondisi
lainnya, seperti peningkatan jumlah penduduk dan belum berkembangnya energi
"baru dan terbarukan", akan menggiring kebutuhan impor minyak mentah
serta bahan bahan bakar minyak yang lebih dahsyat. Para analis meramalkan
Indonesia berpotensi menjadi negara "pengimpor terbesar keempat" di
Asia, setelah Cina, India, dan Jepang (Zuhdi Pane). Masalah geopolitik, seperti
krisis Selat Hormuz, menjadi sinyal buruk bagi ketahanan energi Indonesia di
masa depan.
Salah satu ketentuan kontrak yang perlu
disempurnakan adalah terkait dengan pemberian kewenangan kepada kontraktor
untuk memasarkan minyak bagian pemerintah. Selama ini kontraktor diberi hak dan
kebebasan mengekspor seluruh volume minyak bumi bagian kontraktor serta
pemerintah. Apabila pemerintah memilih mengambil bagiannya dalam bentuk minyak
(natura), pemerintah harus "melapor" kepada kontraktor secara
tertulis paling lambat 90 hari sebelum awal semester dengan menyebutkan jumlah
yang diminta (Bab VI.2, PSC). Kondisi ini membuat kontraktor menjadi superior,
sebaliknya Indonesia menjadi inferior.
Pada waktu Indonesia masih menjadi negara net
pengekspor minyak, ketentuan tersebut tidak menjadi masalah, bahkan
menguntungkan pemerintah. Namun, setelah lifting cenderung menurun dan
Indonesia membutuhkan volume minyak dan BBM di dalam negeri yang semakin
banyak, ketentuan tersebut berbalik memberatkan, bahkan cenderung merugikan
Indonesia, terutama terkait dengan semakin besarnya volume impor dari luar negeri.
Pada 2011, Indonesia mengimpor minyak mentah 400 ribu barel per hari dan produk
BBM 400 ribu barel per hari. Posisi ini menjadikan Indonesia sangat inferior
terhadap kontraktor migas.
Untuk kontrak-kontrak baru, disarankan
ketentuan ini dibalik, bukan kontraktor, tapi Indonesia (dalam hal ini Badan
Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi) yang mempunyai kewenangan
serta hak memasarkan seluruh volume hasil produksi minyak bumi, baik di dalam
negeri maupun di luar negeri. Dan BP Migas akan membayar seluruh kewajiban
pemerintah, yaitu hak bagi hasil kontraktor serta pengembalian biaya operasi
dalam bentuk uang (cash, bukan volume) tanpa sedikit pun merugikan
kontraktor dengan basis harga pasar atau Indonesian Crude Price yang disepakati
bersama. Bila ketentuan ini dipandang kurang menarik bagi kontraktor, hasil
produksi bagian kontraktor (split) boleh diambil dalam bentuk natura
(minyak) dan boleh diekspor.
Ketentuan kontrak kedua yang perlu
disempurnakan menyangkut pembayaran biaya operasi atau lazim disebut cost
recovery, yakni kontraktor akan memperoleh penggantian biaya operasi (cost
recovery) dalam bentuk volume migas yang diproduksi dari lapangan terkait
(Bab VI.1, PSC). Ketentuan ini pada waktu Indonesia masih menjadi net
pengekspor tidak menjadi masalah, bahkan kontraktor turut membantu memasarkan
minyak bagian pemerintah. Namun, setelah Indonesia menjadi negara net
pengimpor, ketentuan ini menjerat Indonesia menjadi kurang berdaulat terhadap
volume minyak domestik. Konsekuensinya adalah ketergantungan impor yang semakin
besar, sedangkan separuh volume lifting diekspor oleh kontraktor, dan
bila Indonesia berniat membeli kembali volume domestik tersebut, kontraktor
akan melepas dengan harga tinggi (premium). Ketentuan ini memberi kesempatan
kepada kontraktor memburu rente dari pengembalian biaya operasi.
Biaya operasi migas di Indonesia US$ 12-13
miliar setahun. Volume minyak bumi yang diserahkan ke tangan kontraktor sebagai
pengganti biaya operasi sekitar sepertiga dari lifting minyak atau
sekitar 300 ribu barel per hari. Apabila volume sebanyak itu dapat ditahan di
dalam negeri untuk bahan baku kilang domestik, inferioritas migas berkurang
karena adanya jaminan tambahan volume yang akan meningkatkan ketahanan energi
dan berkurangnya ketergantungan impor.
Sektor Hilir
Bersyukur Indonesia belum pernah mengalami
krisis energi berskala nasional. Katastropi sekelas tsunami Aceh tidak
menyebabkan kelumpuhan nasional akibat krisis energi, terutama BBM. Bencana
alam berkali-kali terjadi, tapi Indonesia mampu bertahan karena keran impor
masih terbuka lebar. Namun, di masa mendatang, Indonesia tidak boleh terlena.
Volume impor cenderung semakin besar dan pergolakan geopolitik bergeser menjadi
ancaman negara-negara Asia-Pasifik, termasuk Indonesia. Dunia tidak pernah sepi
dari pergolakan geopolitik yang berpotensi mengancam kelancaran impor minyak,
terutama dari wilayah Timur Tengah, contohnya krisis Selat Hormuz.
Di sisi hilir, inferioritas migas yang utama
adalah Indonesia belum memiliki "cadangan strategis nasional" yang
terstruktur. Selama ini pemerintah menugasi Pertamina mengelola stok atau
cadangan darurat yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun cadangan darurat itu
sifatnya hanya berupa inventori dan hanya mampu mengatasi situasi darurat
selama 22 hari konsumsi. Upaya menambah volume cadangan strategis membutuhkan
biaya yang sangat mahal untuk membangun infrastruktur, seperti tangki-tangki
penimbunan, jaringan pipa, serta pembelian volume minyak mentah dan BBM.
Disarankan agar pemerintah, dalam hal ini BP
Migas, segera membangun cadangan strategis nasional yang lebih terstruktur dan
terukur. Pertamina boleh saja ditunjuk sebagai pelaksana di lapangan, tapi
strategi, pengendalian, pengawasan, dan anggaran harus ditangani pemerintah. Pada
tahap awal, cadangan strategis sebaiknya ditingkatkan dari 22 hari menjadi 30
hari, kemudian secara bertahap ditingkatkan paling sedikit cukup untuk
menanggulangi krisis selama 60 hari. Sebagai perbandingan, Jepang menguasai
cadangan strategis cukup untuk 120 hari impor.
Sumber inferioritas hilir lainnya adalah
belum terpenuhinya penambahan kilang domestik yang sangat dibutuhkan.
Diharapkan, hingga akhir 2015 Indonesia memiliki tambahan tiga kilang baru
dengan total kapasitas 600-900 ribu barel BBM per hari. Namun, sejak 1998,
belum ada investor yang bersedia membangun kilang karena margin kilang dianggap
terlalu kecil. Para investor cenderung menuntut insentif kepada pemerintah,
terutama bila investor tersebut diwajibkan juga mendatangkan minyak mentah sebagai
bahan baku kilang karena produksi minyak mentah domestik tidak mencukupi.
Pada tahun "layak investasi" 2012,
diharapkan Indonesia dapat menawarkan insentif fiskal dan kompensasi yang
menarik, baik di sektor hulu maupun sektor hilir, serta kemudahan nonteknis
yang bersifat "lintas sektor" kepada calon investor, seperti masalah
perpajakan, lahan, birokrasi, perizinan, dan otonomi daerah. Ketahanan migas
ibarat mata uang dengan dua sisi, sisi hulu dan sisi hilir. Keduanya harus
superior untuk menunjang ketahanan energi nasional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar