Politikus
Makin Autis
Arif Afandi, PRESDIR
WIRA JATIM GROUP
Sumber
: JAWA POS, 25 Februari 2012
PANGGUNG
para wakil rakyat di Senayan kini makin transparan. Perilaku mereka sangat
gampang diketahui para pemilihnya. Perkembangan media membuat tingkah laku
pimpinan politik di dewan bak ikan dalam akuarium besar. Mereka akan terlihat
ketika berbuat baik. Saat berlaku menyimpang pun mudah ketahuan.
Sayangnya, potret terekam mereka kurang menyenangkan. Mulai ribut-ribut penyimpangan anggaran, pembangunan ruang rapat mewah badan anggaran, terbongkarnya kasus korupsi cek perjalanan, tuntutan rumah dinas, sampai tudingan perilaku hedonisme para anggota dewan. Akhirnya, mereka tampak sibuk sendiri, tidak memikirkan nasib rakyat kebanyakan.
Mengapa isu-isu yang menyangkut diri dan lembaga kepemimpinan politik sangat menonjol dalam beberapa kurun waktu belakangan? Apakah kecenderungan ini hanya terjadi pada para anggota dewan atau kepemimpinan politik di dalam pemerintahan?
Perlu ada penelitian tentang notulensi sidang di parlemen: apakah dalam rapat para pemimpin politik kita lebih banyak mendiskusikan nasib bangsa atau nasib mereka sendiri. Tapi, dari perilaku yang dipotret media, mereka cenderung banyak memikirkan kebutuhan sendiri. Mereka tidak memberikan solusi problem rakyat. Tapi, mereka malah ramai-ramai menjadi problem. Itu bisa disebut gejala autisme politik. Autisme adalah istilah kedokteran, terutama kedokteran jiwa. Autisme disebut kondisi seseorang -terutama anak-anak- yang tidak mampu membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal.
Dalam ilmu kejiwaan, autisme digolongkan sebagai kelainan: perkembangan anak secara tidak normal. Pengidapnya disebut anak berkebutuhan khusus. Karena penderitanya makin banyak, kini telah dikembangkan juga sekolah khusus untuk mereka. Seorang yang menderita autis biasanya sibuk dengan dirinya sendiri, cenderung obsesif, tidak peduli kepada orang lain, kurang bisa mengendalikan emosi, dan susah berkomunikasi.
Tentu, pemimpin politik kita tidak secara harfiah punya gejala-gejala seperti autisme dalam ilmu kejiwaan. Namun, kalau mereka terus-menerus punya kecenderungan untuk memikirkan diri sendiri, gagal berkomunikasi dengan rakyat atau konstituennya, serta kurang bisa mengendalikan emosi ketika menghadapi kritik dan masukan publik, bisa juga kita menyebut mereka sebagai autisme politik.
Dengan kata lain, autisme politik adalah kepemimpinan yang tidak peduli kepada orang lain, sibuk dengan urusan dan dunianya sendiri, terobsesi dengan angan-angan yang dimiliki, serta tak peduli dengan suara publik maupun kepentingan pemilihnya. Mereka lebih memikirkan keberhasilan obsesinya ketimbang keberhasilan bersama.
Gejala tersebut sebetulnya agak aneh. Sebab, terjadi saat berlangsungnya proses demokratisasi dalam rekrutmen kepemimpinan politik. Kepemimpinan politik sekarang merupakan hasil pemilihan langsung. Semangat pemilihan langsung adalah untuk mendekatkan hubungan antara pemilih dan terpilih. Dulu, seseorang memilih partai, bukan wakilnya. Sekarang orang bisa memilih orang dari partai yang dia pilih. Demikian juga dengan pemilihan kepala daerah sampai presiden.
Seharusnya, pemilihan langsung menghasilkan pemimpin politik yang lebih terikat kepada pemilihnya. Pemilihan langsung juga bisa mendorong mereka untuk berlomba membuat track record agar tetap dipilih pada periode selanjutnya. Karena itu, sistem demokratis ini bisa mendorong pemimpin politik semakin berlomba-lomba berbuat baik terhadap para pemilihnya. Itu berarti mereka juga lebih peka, banyak mendengar, serta menampung keinginan masyarakat.
Dengan demikian, semua kebijakan dibuat atas dasar kepentingan masyarakat banyak. Kebijakan yang mengantarkan bangsa ini semakin maju dan kompetitif dengan bangsa lainnya. Menjadikan bangsa dengan peradaban tinggi, infrastruktur memadai, dan kehidupan masyarakat yang sejahtera. Juga, sistem pemerintahan yang makin transparan serta bertanggung jawab.
Kepemimpinan yang tidak autis akan ditandai makin banyaknya agenda pembicaraan tentang kepentingan publik ketimbang kepentingan diri sendiri maupun partai atau kelompoknya. Mereka lebih banyak mengagendakan pembicaraan tentang sinkronisasi peraturan yang menguntungkan rakyat, membangun pemerintahan bersih dan bertanggung jawab, serta menciptakan kehidupan lebih baik dengan peradaban yang bisa dibanggakan. Wacana utamanya bukan soal jajanan, siapa memiliki mobil apa, kursi impor atau tidak, dan sebagainya.
Di pemerintahan juga demikian. Wacana yang sering muncul justru berupa kebijakan yang tidak menguntungkan masyarakat. Mereka lebih banyak melihat kepentingan sendiri ketimbang kepentingan masyarakat banyak. Di pemerintahan lokal tak kalah menariknya. Di Surabaya, misalnya, kita sering menyaksikan otot-ototan antara wali kota dan DPR, wali kota dan gubernur, dan sebagainya. Mereka sibuk dengan keyakinan masing-masing, bukan apa yang diinginkan konstituen atau pemilihnya.
Masih banyak isu yang bisa menjadi contoh akan kecenderungan autisme kepemimpinan politik di sekitar kita. Yang pasti, kecenderungan pemimpin politik untuk menjadi autis ini perlu segera mendapat perhatian. Jangan sampai ''penyakit'' yang menggejala ini menjadi berketerusan.
Yang pasti, autisme politik akan menciptakan masing-masing elemen bangsa ini berjalan sendiri-sendiri. Mereka sibuk dengan diri masing-masing. Kecenderungan seperti itu akan memengaruhi kebudayaan politik. Komitmen pada etika untuk saling menghargai menjadi akan berkurang. Tentu, hal tersebut tidak baik untuk masa depan bangsa kita. ●
Sayangnya, potret terekam mereka kurang menyenangkan. Mulai ribut-ribut penyimpangan anggaran, pembangunan ruang rapat mewah badan anggaran, terbongkarnya kasus korupsi cek perjalanan, tuntutan rumah dinas, sampai tudingan perilaku hedonisme para anggota dewan. Akhirnya, mereka tampak sibuk sendiri, tidak memikirkan nasib rakyat kebanyakan.
Mengapa isu-isu yang menyangkut diri dan lembaga kepemimpinan politik sangat menonjol dalam beberapa kurun waktu belakangan? Apakah kecenderungan ini hanya terjadi pada para anggota dewan atau kepemimpinan politik di dalam pemerintahan?
Perlu ada penelitian tentang notulensi sidang di parlemen: apakah dalam rapat para pemimpin politik kita lebih banyak mendiskusikan nasib bangsa atau nasib mereka sendiri. Tapi, dari perilaku yang dipotret media, mereka cenderung banyak memikirkan kebutuhan sendiri. Mereka tidak memberikan solusi problem rakyat. Tapi, mereka malah ramai-ramai menjadi problem. Itu bisa disebut gejala autisme politik. Autisme adalah istilah kedokteran, terutama kedokteran jiwa. Autisme disebut kondisi seseorang -terutama anak-anak- yang tidak mampu membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal.
Dalam ilmu kejiwaan, autisme digolongkan sebagai kelainan: perkembangan anak secara tidak normal. Pengidapnya disebut anak berkebutuhan khusus. Karena penderitanya makin banyak, kini telah dikembangkan juga sekolah khusus untuk mereka. Seorang yang menderita autis biasanya sibuk dengan dirinya sendiri, cenderung obsesif, tidak peduli kepada orang lain, kurang bisa mengendalikan emosi, dan susah berkomunikasi.
Tentu, pemimpin politik kita tidak secara harfiah punya gejala-gejala seperti autisme dalam ilmu kejiwaan. Namun, kalau mereka terus-menerus punya kecenderungan untuk memikirkan diri sendiri, gagal berkomunikasi dengan rakyat atau konstituennya, serta kurang bisa mengendalikan emosi ketika menghadapi kritik dan masukan publik, bisa juga kita menyebut mereka sebagai autisme politik.
Dengan kata lain, autisme politik adalah kepemimpinan yang tidak peduli kepada orang lain, sibuk dengan urusan dan dunianya sendiri, terobsesi dengan angan-angan yang dimiliki, serta tak peduli dengan suara publik maupun kepentingan pemilihnya. Mereka lebih memikirkan keberhasilan obsesinya ketimbang keberhasilan bersama.
Gejala tersebut sebetulnya agak aneh. Sebab, terjadi saat berlangsungnya proses demokratisasi dalam rekrutmen kepemimpinan politik. Kepemimpinan politik sekarang merupakan hasil pemilihan langsung. Semangat pemilihan langsung adalah untuk mendekatkan hubungan antara pemilih dan terpilih. Dulu, seseorang memilih partai, bukan wakilnya. Sekarang orang bisa memilih orang dari partai yang dia pilih. Demikian juga dengan pemilihan kepala daerah sampai presiden.
Seharusnya, pemilihan langsung menghasilkan pemimpin politik yang lebih terikat kepada pemilihnya. Pemilihan langsung juga bisa mendorong mereka untuk berlomba membuat track record agar tetap dipilih pada periode selanjutnya. Karena itu, sistem demokratis ini bisa mendorong pemimpin politik semakin berlomba-lomba berbuat baik terhadap para pemilihnya. Itu berarti mereka juga lebih peka, banyak mendengar, serta menampung keinginan masyarakat.
Dengan demikian, semua kebijakan dibuat atas dasar kepentingan masyarakat banyak. Kebijakan yang mengantarkan bangsa ini semakin maju dan kompetitif dengan bangsa lainnya. Menjadikan bangsa dengan peradaban tinggi, infrastruktur memadai, dan kehidupan masyarakat yang sejahtera. Juga, sistem pemerintahan yang makin transparan serta bertanggung jawab.
Kepemimpinan yang tidak autis akan ditandai makin banyaknya agenda pembicaraan tentang kepentingan publik ketimbang kepentingan diri sendiri maupun partai atau kelompoknya. Mereka lebih banyak mengagendakan pembicaraan tentang sinkronisasi peraturan yang menguntungkan rakyat, membangun pemerintahan bersih dan bertanggung jawab, serta menciptakan kehidupan lebih baik dengan peradaban yang bisa dibanggakan. Wacana utamanya bukan soal jajanan, siapa memiliki mobil apa, kursi impor atau tidak, dan sebagainya.
Di pemerintahan juga demikian. Wacana yang sering muncul justru berupa kebijakan yang tidak menguntungkan masyarakat. Mereka lebih banyak melihat kepentingan sendiri ketimbang kepentingan masyarakat banyak. Di pemerintahan lokal tak kalah menariknya. Di Surabaya, misalnya, kita sering menyaksikan otot-ototan antara wali kota dan DPR, wali kota dan gubernur, dan sebagainya. Mereka sibuk dengan keyakinan masing-masing, bukan apa yang diinginkan konstituen atau pemilihnya.
Masih banyak isu yang bisa menjadi contoh akan kecenderungan autisme kepemimpinan politik di sekitar kita. Yang pasti, kecenderungan pemimpin politik untuk menjadi autis ini perlu segera mendapat perhatian. Jangan sampai ''penyakit'' yang menggejala ini menjadi berketerusan.
Yang pasti, autisme politik akan menciptakan masing-masing elemen bangsa ini berjalan sendiri-sendiri. Mereka sibuk dengan diri masing-masing. Kecenderungan seperti itu akan memengaruhi kebudayaan politik. Komitmen pada etika untuk saling menghargai menjadi akan berkurang. Tentu, hal tersebut tidak baik untuk masa depan bangsa kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar