Dimana
Partai-Partai?
M. Alfan Afian, DOSEN PASCASARJANA ILMU POLITIK UNIVERSITAS NASIONAL
Sumber
: KOMPAS, 28 Februari 2012
The
morality of a [political] party must grow out of the conscience and the
participation of the voters.
(Eleanor Roosevelt)
Beberapa hasil lembaga
survei belakangan ini menunjukkan kecenderungan anjloknya popularitas hampir
semua partai politik kita. Kondisi semacam ini mengonfirmasi bahwa fluktuasi
reaksi antipartai di titik terendah.
Masyarakat jenuh dengan partai-partai yang
kurang aktual keberadaannya. Mereka hadir dengan pamrih, bukan sebenar-benar
”dewa penolong” bagi kompleksitas masalah sehari-hari.
Sesungguhnya partai-partai sekarang punya
kesempatan luas untuk mengakar ke bawah karena tidak berlakunya lagi praktik
”massa mengambang” (the floating mass). Namun, kelihatannya partai-partai masih
belum beranjak dari posisinya sebagai ”benda mati”, berupa kibaran bendera dan
simbol-simbol, bukan gerakan sosial yang peduli dan konkret.
Masyarakat tak butuh bendera dan simbol,
tetapi peran nyata dalam mengatasi permasalahan mendesak, kalau bukan mendasar.
Ketika media massa menyorot jembatan ”Indiana Jones” di suatu daerah
terbelakang, di mana partai-partai? Ketika pembangunan tidak beranjak maju, di
mana partai-partai?
Partai-partai kita masih sebatas mementingkan
”politik panggung” dan enggan mengembangkan diri sebagai sebuah ”gerakan
sosial”. Paradigma yang dipraktikkan masih terlalu kuno dalam perkembangan
demokrasi kita, yakni paradigma memoles wajah dengan bedak dan gincu pencitraan
untuk menuai dukungan suara secara instan.
Mereka hanya perlu ”pinjam tangga”
legitimasi rakyat untuk sekadar naik ke kekuasaan.
Ketika kiprah nyatanya dibutuhkan, mereka
justru tak kunjung hadir. Dan, ketika hendak pemilu, mereka ramai-ramai hadir
justru tidak memberikan pendidikan politik, tetapi langsung ke praktik-praktik
pragmatisme- transaksional. Masyarakat sendiri sering tak tahan diperlakukan
seperti itu dan jadi masokis: semakin ”disakiti”, semakin ”merasa nyaman”.
Maka, hancurlah kultur ”demokrasi kita”.
Politisi yang Otentik
Inilah yang membuat partai-partai kita
berwajah menyebalkan. Tidak satu partai pun yang sungguh-sungguh memberdayakan,
kecuali sebatas jargon. Partai memang bukan perusahaan, melainkan instrumen
politik yang mampu mendorong perubahan sosial.
Dengan catatan, apabila
kepemimpinan partai mampu mengarahkan ke sana.
Artinya, kepemimpinan yang visioner dan
sungguh-sungguh dalam membangun kelembagaan partai. Bukan partai yang pendek
jangkauan visinya, hanya semata untuk mementingkan peluang- peluang politik
oligarkis. Partai yang baik bukan sekadar mesin pendulang suara. Ia semestinya
punya kader-kader bermutu yang benar-benar dididik untuk menjadi politisi yang
otentik.
Partai atau politisi yang otentik tidak
ahistoris dengan permasalahan-permasalahan rakyat. Partai yang benar-benar
membangun kader dan menuai simpati rakyat dibesarkan oleh rakyat. Kalau partai
dipercaya dan jadi tumpuan harapan rakyat, para politisinya tidak akan sibuk
dengan upaya-upaya pragmatis ”menyedekahi” konstituen, tetapi sebaliknya akan
didukung beramai-ramai ongkos politiknya. Jadi, bagi partai-partai tidak saja
diperlukan kelembagaan yang kuat, tetapi juga kemampuan untuk melakukan revolusi
perilaku politik.
Memulihkan
Kepercayaan
Jelas yang dibutuhkan partai-partai kita saat
ini adalah pemulihan kepercayaan. Integritas partai penting, selain kompetensi
kader-kadernya yang berkiprah di segenap lembaga politik. Semestinya
partai-partai itu ada di tengah-tengah masyarakat dan menjadi bagian dari
solusi, bukan justru memicu masalah.
Pola patronase dan politik uang yang
mempersubur praktik pragmatisme-transaksional memang sudah seperti benang
kusut. Akan tetapi, tanpa upaya sungguh-sungguh dari berbagai pihak, benang itu
semakin kusut. Upaya perbaikan harus datang dari segala arah. Semua memang
butuh proses, tetapi tetap harus ada yang berani memulai.
Partai-partai harus mengada, bukan sebatas
poster-poster dan simbol-simbol, melainkan ada kader yang jelas memperjuangkan
sesuatu yang nyata. Akar-akar partai harus tertanam kuat, justru karena
kemanfaatannya yang signifikan dalam pergerakan sosial. Namun, bukan berarti
hendak menyaingi ormas atau lembaga swadaya masyarakat, melainkan komplementer,
bahkan juga substitusi.
Partai-partai memang tak selalu merupakan
”pahlawan” dalam segala urusan, tetapi setidaknya hadir dengan kultur
egaliternya, menyapa dan menjadi bagian dari masyarakat dalam menghadapi
kompleksitas hidup. Kalau tidak, adanya partai-partai itu sama dengan tidak
adanya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar