Maka
Nikah Resmilah
Nur Lailah Ahmad, HAKIM
PENGADILAN AGAMA YOGYAKARTA
Sumber
: KORAN TEMPO, 22 Februari 2012
Mahkamah Konstitusi dengan putusan Nomor
46/PUU-VIII/2010 pada Jumat, 17 Februari, ini telah membuat putusan yang cukup
mempunyai implikasi yang luas bagi penerapan hukum di Indonesia, khususnya
hukum perkawinan. Dalam amarnya, MK menyatakan: “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Ayat ini harus dibaca: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”
Putusan ini memang memberi harapan yang besar
bagi anak-anak di luar pernikahan untuk mendapatkan hak-hak keperdataannya
sebagai anak, misalnya hak waris dan hak untuk mendapatkan akta. Tapi, apakah
ini merupakan jawaban dari segala masalah anak di luar perkawinan yang selama
ini ada dalam masyarakat, atau justru akan menimbulkan masalah baru yang
disebabkan oleh adanya putusan MK ini?
Dalam dua hari ini, semenjak putusan MK ini
muncul, masyarakat yang kontra terhadap putusan ini umumnya menyatakan hal itu
sebagai pelegalan terhadap perzinaan. Bahkan beberapa komentar menyatakan
Mahfud Md. sebagai gerombolan pemakmur zina. Mahfud Md. selaku Ketua MK sudah
menyampaikan bantahan, dan menyatakan bahwa putusan ini justru dimaksudkan
untuk mencegah terjadinya perzinaan (Detiknews, Senin 20 Februari 2012).
Adapun yang pro menyatakan putusan ini
sebagai perlindungan hukum dan ekonomi bagi anak-anak di luar perkawinan. Hal
ini didukung oleh pendapat sosiolog dari Universitas Airlangga, Bagong Suyanto,
yang mengatakan putusan MK ini berperspektif hak anak (www.mahkamahkonstitusi.go.id).
Bukan kapasitas saya untuk menilai apakah polemik ini benar atau salah. Sebab,
tentu semua mempunyai argumen masing-masing. Saya hanya ingin berbagi catatan,
bagaimana implikasi dari dibacakannya putusan ini.
Poligami Liar
Selama ini, kekhawatiran pelaku-pelaku
poligami liar adalah pengakuan terhadap anak yang akan dilahirkan dari poligami
tersebut. Masih jelas dalam ingatan kita bagaimana Bambang Trihatmodjo begitu
berkeras untuk menceraikan istrinya, Halimah. Perceraian itu oleh sementara
orang disebabkan oleh desakan Mayangsari, yang dipicu kekhawatiran Mayangsari
tentang keabsahan anak mereka, Kirani. Sementara itu, di sisi lain, Halimah
sebagai istri yang sah begitu mempertahankan mahligai perkawinan mereka. Semua
upaya hukum dilakukan agar perceraian tidak terjadi. Tapi akhirnya Bambang
harus mengucapkan ikrar talak baginya.
Andai putusan MK ini dijatuhkan beberapa
waktu lalu, mungkin Mayangsari tak perlu ngotot membujuk Bambang Tri
menceraikan istrinya. Sebab, mungkin, bagi Mayang, pengakuan dari Bambang dan
bukti bahwa Kirana anak mereka sudah cukup kuat. Kirana akan tenang mendapatkan
warisan dari harta Bambang. Dan poligami liar Bambang dengan Mayang akan tetap
langgeng.
Bukan tidak mungkin, seorang laki-laki akan
melakukan poligami liar dengan janji kepada istrinya bahwa kelak anaknya akan
diakui sebagai anak biologisnya. Dan tentu, dengan meyakinkan, laki-laki
tersebut akan mendalilkan putusan MK ini sebagai penguat bujuk rayunya. Dengan
demikian, istri yang dipoligami tidak resmi tersebut akan merasa tenang karena,
walau dirinya bukan istri yang sah di mata hukum, anaknya akan mendapat
perlindungan hukum dan hak-hak yang sama dengan anak-anak dalam perkawinan yang
sah.
Saat ini saja, ketika syarat poligami sudah
diperketat, poligami liar begitu menjalar. Bagaimana jika para perempuan yang
mau dipoligami liar cukup merasa tenang, karena anak yang akan dilahirkan sudah
ada perlindungan hukumnya. Dapat dipastikan poligami liar semakin merebak.
Tuntutan Warisan
Umumnya seorang anak di luar nikah (yang
diwakili oleh ibunya) pertama-tama hanya meminta keabsahan statusnya. Tetapi,
setelah status didapat, tentu akan diikuti dengan tuntutan-tuntutan lain,
terutama tentang warisan. Persoalan yang muncul adalah bagaimana jika bapak
biologisnya sudah meninggal dan harta warisan telah dibagi?
Selama ini stigma yang ada di masyarakat
adalah bahwa anak-anak yang lahir di luar pernikahan telantar. Bapak biologis
lari dari tanggung jawab. Lalu, bagaimana jika terjadi sebaliknya? Seorang
laki-laki akan bertanggung jawab, tapi perempuan dengan berbagai alasan tidak
mau menikah, sehingga kemudian anak lahir di luar perkawinan. Setelah itu pun,
laki-laki dan keluarganya masih ingin bertanggung jawab, tapi yang terjadi
justru perseteruan antara ibu dan bapak biologisnya. Perseteruan berujung pada
perebutan anak, di mana bapak biologis meminta hak asuh anak tersebut.
Jika memahami keputusan MK di atas, ada
kesamaan hak antara bapak dan ibu biologis terhadap anak yang dilahirkan di
luar perkawinan. Hal demikian sejalan dengan yang dikembangkan John Rawls
tentang teori keadilan, yang salah satunya adalah prinsip persamaan kesempatan
(equal opportunity principle). Dengan demikian, tidak mustahil seorang
bapak biologis juga dapat menuntut hak asuh atas anak mereka.
Jika ini terjadi, tentu akan menjadi masalah
baru bagi pengadilan dalam memutuskan. Mungkinkah hakim akan memakai
pertimbangan sebagaimana pertimbangan ketika memutuskan hak asuh anak dalam
perkawinan yang sah? Atau, hakim menjadikan perkara hak asuh anak di luar
perkawinan sebagai perkara yang spesial, sehingga akan cenderung memakai
pertimbangan sosiologis daripada yuridis? Wallahualam. Yang pasti, bersiaplah
ibu-ibu yang mempunyai anak di luar perkawinan, kelak bapak biologisnya akan
menuntut hak yang sama bagi anaknya.
Masih banyak perkara yang pasti akan muncul
dengan lahirnya putusan ini. Tapi, sebagai sebuah terobosan dalam perlindungan
hukum kepada anak di luar nikah, putusan ini wajib kita beri apresiasi. Semoga
harapan Ketua MK atas putusan ini untuk mencegah perzinaan bisa dicapai. Tapi,
betul kata pepatah, lebih baik mencegah daripada mengobati. Lebih baik menikah
resmi daripada melahirkan anak di luar perkawinan.
Maka, menikah resmilah...!
Tapi, sebagai sebuah terobosan dalam
perlindungan hukum kepada anak di luar nikah, putusan ini wajib kita beri
apresiasi. Semoga harapan Ketua MK atas putusan ini untuk mencegah perzinaan
bisa dicapai. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar