Mencari
Komisioner OJK
Sunarsip, EKONOM THE INDONESIA ECONOMIC
INTELLIGENCE (IEI)
Sumber
: REPUBLIKA, 20 Februari 2012
Minggu-minggu
ini adalah waktu yang padat bagi Panitia Seleksi (Pansel) Dewan Komisioner
Otoritas Jasa Keuangan (DK OJK). Betapa tidak, saat ini terdapat 290 orang
calon DK OJK yang lolos persyaratan administrasi. Sebagai informasi, Pansel DK
OJK memiliki tugas untuk menetapkan sebanyak 21 orang calon DK OJK kepada
Presiden RI. Dari ke-21 orang tersebut, Presiden akan memilih 14 orang untuk
menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sehingga
nantinya akan terpilih tujuh orang untuk menjadi DK OJK.
Seperti
kita ketahui, sejak 22 November 2011, kita telah memi liki Undang-Undang (UU)
No 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sesuai Pasal 5, OJK ini
nantinya berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang
terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.
Terlihat bahwa OJK ini nantinya akan menjadi lembaga yang strategis dalam
mewujudkan industri keuangan yang sehat, stabil, dan tumbuh berkelanjutan
sehingga tidak mengherankan bila OJK disebut sebagai superregulatory body. Sebab,
selain cakupan industri yang dikelola begitu besar, fungsi yang dijalankannya
juga lengkap.
Pemerintah
dan DPR telah menetapkan model pengawasan sektor keuangan secara terintegrasi
(integrated approach) sebagai pilihan. Dan tentunya, pilihan ini telah
didasarkan atas berbagai pertimbangan, termasuk pertimbangan realitas ekonomi.
Oleh karenanya, tidak pada tempatnya lagi kita mempersoalkan keberadaan OJK.
Diskusi telah selesai dan tugas selanjutnya adalah bagaimana agar OJK ini bisa
menjalankan fungsinya dengan baik. Dan, salah satu kuncinya adalah memilih
figur-figur yang tepat untuk memimpin OJK. Seperti apakah figur-figur yang
dibutuhkan oleh OJK ini?
Secara
umum, berbagai persyaratan yang harus dipenuhi bagi calon DK OJK telah memadai.
Namun, secara teknis, banyak hal yang harus menjadi pertimbangan dalam
menetapkan DK OJK ini. Terutama sekali, bila kita melihat OJK adalah lembaga
baru (sekalipun merupakan peleburan dari berbagai lembaga yang ada) sehingga
berpotensi menimbulkan ketidakpastian (uncertainty). Beberapa hal berikut saya
kira penting untuk menjadi pertimbangan dalam penentuan anggota DK OJK.
Pertama,
perlu dipahami bahwa industri keuangan bukanlah industri yang berdiri sendiri.
Keberadaan industri keuangan sangat dipengaruhi dan juga ikut memengaruhi
stabilitas makro, fiskal, dan moneter. Karena itu, calon anggota DK OJK tidak
hanya paham dan berpengalaman dalam industri keuangan di level mikro, tetapi
semestinya juga memiliki pemahaman makro terhadap keberadaan industri keuangan
dan relasi nya. Dengan demikian, perimbangan anggota DK OJK antara yang
memiliki kapabilitas pada level mikro dan makro perlu diperhatikan. Mengapa
perimbangan komposisi DK OJK ini penting?
Di
satu sisi, figur anggota DK OJK yang berasal dari industri memang sangat
diperlukan. Sebab, hal itu akan sangat menunjang dalam melaksanakan perannya
sebagai DK OJK. Namun, terlalu industry oriented juga memiliki kekurangan.
Dikhawatirkan, mereka nantinya hanya menjadi “kepanjangan tangan“ dari industri
terkait. Akibatnya, bisa berpotensi menimbulkan bias kebijakan dan berat
sebelah pada kepentingan industri.
UU
No 21/2011 sejatinya telah cukup baik dalam mengunci agar potensi situasi
negatif tersebut tidak terjadi. Misalnya, dengan ditetapkannya pejabat BI dan
Kementerian Keuangan sebagai ex-officio anggota DK OJK. Melalui pejabat
ex-officio ini, nantinya dapat menjadi penyeimbang dan dalam pengambilan
kebijakan, tidak hanya melihat dari sisi industri secara mikro, tetapi juga
telah mempertimbangkan aspek makronya.
Namun,
keberadaan pejabat ex-officio ini masih belum cukup karena jumlahnya ha nya dua
orang. Karena itu, tetap dibutuhkan anggota DK OJK yang berasal dari kalangan
independen yang memiliki pemahaman industri yang komprehensif sekaligus
memiliki visi makro (fiskal dan moneter) yang kuat. Kita percaya, ketika
seseorang telah diangkat sebagai anggota DK OJK, seharusnya akan menanggalkan
seluruh kepentingan noninstitusi. Namun, realitas sering berkata lain sehingga
potensi penyimpangan sekecil apa pun perlu diantisipasi.
Kedua,
kesuksesan OJK dalam mewujudkan industri keuangan yang dapat mendukung
terwujudnya stabilitas keuangan, makro, fiskal, dan moneter, juga ditentukan
pada sejauh mana kemampuannya dalam menjalin kerja sama dengan para
stakeholder, baik pemerintah, BI, maupun DPR. OJK adalah pemegang kebijakan
yang lebih bersifat micro prudential, tetapi juga tetap harus berwawasan macro
prudential. Sementara itu, kebijakan macro prudential berada di BI dan
pemerintah, sedangkan DPR selaku pemberi payung hukumnya.
Para
anggota DK OJK semestinya merupakan figur yang secara politik dan profesional
diyakini akan mampu menjalin kerja sama yang baik dengan stakeholder. Fakta menunjukkan, banyak sekali orang yang
pada industri memiliki kemampuan profesional mumpuni, tetapi ketika menjadi
pejabat publik akhirnya terlihat tak berdaya. Penyebabnya, yang bersangkutan
tidak mendapat dukungan yang cukup, baik secara politik maupun profesional dari
stakeholder.
Ketiga,
hendaknya yang akan menjadi anggota DK OJK adalah figur-figur yang langsung
dapat memunculkan kepercayaan (trust) terhadap OJK. Sebab itu, penetapan
anggota DK OJK hendaknya memperhatikan track record profesionalnya dalam
industri. Namun, tidak hanya didasarkan atas track record pengalamannya dalam
industri, anggota DK OJK juga harus bersih dari berbagai catatan negatif, baik
di mata industri, hukum, maupun moralitas.
Keempat,
menjaga kepercayaan terhadap OJK adalah hal mutlak. Hal sekecil apa pun yang
berpotensi memunculkan ketidakpercayaan harus dicegah. Salah satunya, anggota
DK OJK haruslah bebas dari berbagai kepentingan politik. Karena itu, seyogianya
orang partai politik tidak menjadi anggota DK OJK. UU No 21/2011 memang telah
memberikan rambu-rambu bagi calon anggota DK OJK yang berasal dari partai
politik. Di mana, sebelum menjadi anggota DK OJK, yang bersangkutan harus
mengundurkan diri sebagai pengurus partai politik.
Sebenarnya,
ini merupakan ketentuan formal yang berlaku bagi pejabat lembaga negara.
Sayangnya, dalam praktiknya, banyak pejabat publik yang berasal dari partai
politik akhirnya sulit menghindarkan diri dari kepentingan politik partainya.
Pertanyaannya, apakah kita masih dapat menjamin bahwa aturan bagi praktisi
partai politik terkait dengan calon anggota DK OJK tersebut cukup efektif
mencegah terulangnya praktik yang terjadi di lembaga negara lainnya?
Penentuan
anggota DK OJK saat ini penuh pertaruhan. Bila gagal menetapkan figur-figur
yang tepat, kredibilitas OJK bisa jatuh. Dan bila telah jatuh, upaya
membangunnya kembali akan sulit. Belajar dari kegagalan OJK di negara lain
(termasuk Inggris, Financial Services Autority), sesungguhnya tidak semata
disebabkan oleh ketidakmampuan secara profesional. Ketidakpercayaan juga
menjadi penyebabnya. Karena itu, jangan bermain api dengan masalah trust ini dengan
menempatkan orang-orang yang tidak tepat di OJK. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar