Islam
dan Kapitalisme
Ulil
Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Sumber
: JIL, 20
Februari 2012
Cerita tentang Islam yang mempunyai banyak
ekspresi bukanlah hal yang baru. Sejak dulu, agama yang dipeluk oleh mayoritas
penduduk Indonesia ini memiliki pelbagai ragam manifestasi pada banyak level.
Pada level doktrin dan keyakinan (teologis), sejak dulu ada banyak sekte dalam
Islam: Sunni, Syiah, Mu’tazilah, dsb. Pada mazhab hukum, ada banyak kelompok
Islam: Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Pada level kecenderungan intelektual,
ada banyak trend dalam Islam: ada Islam model kaum fuqaha, ada Islam model kaum
sufi, ada Islam model kaum filsuf yang banyak memakai pendekatan rasional.
Cerita tentang Islam yang mempunyai banyak
ekspresi bukanlah hal yang baru. Sejak dulu, agama yang dipeluk oleh mayoritas
penduduk Indonesia ini memiliki pelbagai ragam manifestasi pada banyak level.
Pada level doktrin dan keyakinan (teologis), sejak dulu ada banyak sekte dalam
Islam: Sunni, Syiah, Mu’tazilah, dsb. Pada mazhab hukum, ada banyak kelompok
Islam: Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Pada level kecenderungan
intelektual, ada banyak trend dalam Islam: ada Islam model kaum fuqaha, ada
Islam model kaum sufi, ada Islam model kaum filsuf yang banyak memakai pendekatan
rasional.
Pada level kehidupan sehari-hari, ada banyak
ragam model Islam juga. Ada Islam “tekstual” sebagaimana digeluti oleh para
sarjana yang biasa bekerja dengan teks, ada juga Islam “populer” yang kerap
bercampur dengan tradisi-tradisi setempat yang begitu beragam. Bagi kalangan
Islam yang biasa bergelut dengan teks-teks standar, Islam populer itu biasanya
dianggap menyimpang, karena bercampur dengan tradisi pra-Islam. Jika kalangan
Islam tekstual cenderung memurnikan Islam dari pengaruh budaya-budaya populer,
Islam populer justru mengembangkan cora keberagamaan yang menyerap
budaya-budaya itu – apa yang sering disebut seabagai “inkulturasi”.
Perubahan watak ruang sosial juga punya
pengaruh yang besar dalam pluralisasi atau proses pemeragaman Islam itu. Dalam
ruang sosial yang otoriter di mana kebebasan dibatasi, sebagaimana kita lihat
pada era Orde Baru dulu, corak keragaman Islam lebih “terkontrol”. Pada era
itu, corak Islam yang “politis” selalu diawasi dan dibatasi geraknya, karena
bisa mengganggu keamanan nasional. Dalam ruang demokratis yang terbuka seperti
kita alami saat ini, corak Islam mengalami pluralisasi yang kian akut dan
intensif.
Buku yang disunting Greg Fealy dan Sally
White, Expressing Islam: Religious Life
and Politics in Indonesia (2008), merekam dengan baik proses pluralisasi
Islam pasca-reformasi itu. Baru-baru ini, buku itu diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Komunias Bambu dengan judul yang lumayan
“seksi”, Ustadz Seleb, Bisnis Moral, dan Fatwa Online.
Salah satu gejala menarik yang dipotret buku
itu ialah komersialisasi agama. Istilah ini tak harus berkonotasi negatif.
Gejala komersialisasi bukanlah khas Islam saja. Hampir dalam semua agama besar
dunia, kita melihat gejala komersialisasi agama. Tetapi ada juga kalangan lain
yang melihat gejala ini secara negatif, karena ia bisa menimbulkan pendangkalan
agama.
Apa yang disebut dengan komersialisasi,
mengutip definisi Greg Fealy dalam buku itu, adalah usaha menjadikan ajaran
agama atau simbol-simbolnya yang kasat mata sebagai komoditi yang bisa
diperjual-belikan untuk meraih keuntungan (the
turning of faith and its symbols into commodity capable of being bought and
sold for profit). Gejala ini tentu saja bukan saja khas era saat ini. Sejak
dulu, komersialisasi agama dalam pengertian mengkonsumsi simbol-simbol agama
seperti pakaian dan asesori lain sudah ada. Tetapi ada yang khas pada gejala
komersialiasi agama di zaman kapitalisme global sekarang ini.
Salah satu yang khas pada komersialisasi saat
ini adalah kemampuan simbol-simbol Islam untuk melakukan penetrasi terhadap
ekonomi kapitalis dan menjadikan modus ekonomi tersebut sebagai wahana untuk
memperjual-belikan simbol-simbol agama secara massif. Salah satu kasus yang
menarik adalah jilbab. Semula, jilbab adalah simbol kesalehan agama. Tetapi
saat ini, jilbab bukanlah sekedar simbol kesalehan, tetapi juga bagian dari “fashion” atau mode. Apakah salah
menjadikan pakaian agama sebagai mode? Tentu saja tidak. Jika ada yang
menjadikan batik sebagai mode, kenapa jilbab tak boleh menjadi mode?
Sektor lain di mana Islam yang telah
mengalami komoditisasi (komodifikasi?) itu melakukan penetrasi terhadap ekonomi
kapitalis adalah perbankan. Saat ini, apa yang disebut sebagai bank Islam atau
bank syariah bukan hal yang aneh lagi. Jasa pelayanan “Islamic finance” bukan saja disediakan oleh bank yang jelas-jelas
menyebut dirinya sebagai bank syariah, tetapi juga oleh bank-bank konvensional.
Bank Indonesia sebagai otoritas moneter tertinggi di negeri kita juga sudah menyediakan
payung hukum bagi praktek bank Islami ini.
Tak ada perbedaan mendasar antara praktek
bank biasa dan bank syariah kecuali dalam satu hal, yaitu soal bunga. Jika bank
konvensional mengutip bunga, maka bank syariah menolak praktek bunga, meskipun ada
sejumlah “kiat” yang dilakukan untuk meraih fee (=bunga?) dengan cara yang tak
bertentangan dengan ajaran Islam.
Praktek bank syariah ini dengan cukup baik
memperlihatkan bahwa tak ada kontradiksi antara Islam dan kapitalisme.
Praktek-praktek ekonomi dan bisnis kapitalistik bisa dimodifikasi begitu rupa
oleh aktivis dan sarjana Muslim untuk menampung sejumlah ajaran Islam. Ini
berkebalikan dengan praktek yang ada pada dekade 50an dan 60an di mana ada
upaya dari banyak kalangan saat itu untuk memodifikasi Islam agar cocok dengan
corak ekonomi sosialistis yang etatistik (=melibatkan peran yang besar dari
negara).
Bahkan model pemasaran khas yang disebut
dengan MLM (multi-level marketing)
juga diadopsi oleh para praktisi bisnis Muslim. Kita selama ini mengenal
jaringan MLM raksasa seperti Amway atau CNI. Tetapi, kita juga menjumpai
praktek MLM yang memakai merek Islam, seperti Ahad-Net (dengan tokoh utamanya
Ateng Kusnadi) dan MQ-Net yang didirikan oleh da’i kondang Abdullah Gymnastiar
alias Aa Gym.
Yang menarik, di samping praktek ekonomi
kapitalistik yang memakai merek Islam ini, kita, pada saat yang sama, juga
menjumpai sekelompok aktivis Islam yang mengutuk kapitalisme (juga demokrasi)
sebagai praktek yang mereka anggap berlawanan secara kategoris dengan Islam,
seperti kelompok Hizbut Tahrir, misalnya. Kritik pada kapitalisme tentu bukan
dimonopoli kelompok ini. Kita kerap menjumpai retorika yang anti-kapitalisme
dari sejumlah penulis, da’i, atau penceramah Muslim. Lepas dari kritik-kritik
ini, mulai dari yang keras sampai yang moderat, fakta memperlihatkan bahwa
praktek ekonomi kapitalisme banyak diadopsi secara nyaris “harafiah” oleh
praktisi bisnis Muslim, tentu dengan melakukan modifikasi seperlunya, plus
simbol atau merek Islam (biasanya memakai istilah Arab).
Apakah pelajaran yang patut diambil dari
fenomena komersialisasi atau komditisasi Islam ini? Ialah berikut ini: bahwa
baik modus ekonomi kapitalisme maupun Islam memperlihatkan kelenturan tertentu
untuk saling menampung. Hubungan antara keduanya tidak sekontradiktoris seperti
yang dikesankan oleh banyak retorika anti-kapitalisme sebagian kalangan Muslim
selama ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar