Ekonomi
Rente dan Beban Anggaran
Makmun Syadullah, PENELITI UTAMA BADAN KEBIJAKAN FISKAL, KEMENKEU
Sumber
: SUARA KARYA, 21 Februari 2012
Ekonomi rente adalah bentuk kerja sama saling menguntungkan antara
oknum pengusaha yang menyediakan modal dengan oknum pejabat yang menyediakan
fasilitas, insentif, dan proteksi. (Thamren Ananda 2010) Pengusaha memperoleh
keuntungan kemudahan sumber daya murah, mudahnya akses atas informasi dan
peluang yang diperoleh melalui kebijakan yang dikeluarkan. Sementara pejabat
memperoleh keuntungan dalam imbalan suap dan peluang untuk melakukan kolusi dan
korupsi.
Perburuan ekonomi rente tidak hanya terjadi di negara-negara
berkembang, bahkan di menjangkiti negara-negara maju. Sebuah hasil penelitian
yang dilakukan oleh Transparancy International tahun 2010 dan baru dirilis pada
awal November 2011 menyebutkan bahwa perburuan ekonomi rente di Rusia dan China
adalah yang terburuk. Perusahaan-perusahaan di kedua negara ini dipandang
sebagai pelanggar terburuk dengan melakukan praktik suap dalam menjalankan
bisnis di luar negeri. Sementara pengusaha-pengusaha Swiss dan Belanda
menempati urusan teratas pengusaha yang dipandang jujur.
Berdasarkan daftar Bribery Payers Index yang dibuat Transparancy
International terhadap 28 negara, Indonesia menduduki peringkat ke-4 daftar
pengusaha yang gemar memberi suap untuk memuluskan urusan bisnisnya. Survei ini
tidak menjelaskan di negara mana saja pengusaha Indonesia ditengarai kerap
memberi suap. Namun, setidaknya survei ini bisa menjelaskan kebiasaan membayar
suap para pengusaha Indonesia. Kecenderungan membayar suap juga merupakan
perpaduan antara kebiasaan yang dilakukan di Indonesia dan lemahnya hukum di
negara tujuan berbisnis.
Menurut Gordon Tullock dalam bukunya Theory of Economic Rent-seeking,
perilaku ekonomi cenderung terjadi pada mereka yang memegang kendali struktur
monopoli. Di sektor ekonomi, para pengusaha memonopoli sumber daya, distribusi
dan pasar, sementara di sektor publik menjadi pengontrol kebijakan di
pemerintahan maupun legislatif. Para pengusaha memperoleh keuntungan dengan
cara bukan persaingan yang sehat pasar, namun dengan mengundang kekuasaan atau
memengaruhi kekuasaan untuk mengambil dari suatu nilai yang tidak dikompensasi.
Praktik ekonomi-rente juga diasosiasikan dengan usaha untuk mengatur regulasi
ekonomi melalui lobi kepada pemerintah dan parlemen.
Dalam praktiknya, bisnis ekonomi rente tidak saja dilakukan oleh
oknum pengusaha dengan pejabat negara baik di pusat maupun daerah, namun jauh
telah menyusup ke badan legislatif. Alih-alih menjalankan fungsinya mengawasi
jalannya roda pemerintahan, mereka justru terus mengembangkan sayap
kekuasaannya demi mengejar ekonomi rente. Sejumlah kasus belakangan ini seperti
kasus korupsi Wisma Atlet, dan dugaan korupsi dana Percepatan Pembangunan
Infrastruktur Daerah Transmigrasi (PPIDT) di kementerian tertentu merupakan
bukti perburuan ekonomi rente oleh para politikus.
Fenomena semakin suburnya perburuan rente di Indonesia seolah
membuktikan sinyalemen Prof Yoshihara Kunio dalam bukunya The Rise of Ersatz
Capitalism in Southeast Asia. Menurut Yoshihara, praktik kapitalisme semu di
Asia Tenggara terutama Indonesia menimbulkan tumbuhnya pemburu rente di
kalangan birokrat pemerintah, tentunya juga legislatif, sehingga pelaku usaha
yang sesungguhnya tidak bisa berkembang. Munculnya kapitalis Asia Tenggara itu
dikarenakan adanya orang-orang yang punya kedekatan dengan penguasa (personal
contact) serta cenderung membangun industri berdasarkan kedekatan keluarga,
ketimbang membangun industri berdasarkan pada profesionalisme industrialis.
Perburuan ekonomi rente akan membebani anggaran negara, dengan
kerugian dapat dilihat dari dua sisi.
Pertama, penggunaan anggaran menjadi tidak optimal. Penyisihan
APBN untuk investasi yang seharusnya berpotensi menjadi sumber penerimaan
negara hilang begitu saja karena adanya perburuan rente. Siapa pun tahu siapa
yang berburu rente dalam kasus kepemilikan saham pemerintah pada PT Newmont
Nusa Tenggara (NNT). Sesuai keputusan Badan Arbitrase Internasional, 31 Maret
2009, pemerintah yang seharusnya mayoritas menjadi minoritas. Anehnya lagi,
legislatif yang seharusnya mendukung kebijakan pemerintah, justru
menghalang-halangi.
Kedua, meningkatnya beban utang negara akibat tidak efisiennya
penggunaan anggaran. Anggaran pendapatan negara setiap tahun mengalami
peningkatan cukup signifikan, tapi anehnya peningkatan ini sepertinya tidak
pernah cukup untuk membiayai pengeluaran. Tentunya ini tak dapat dipisahkan
postur belanja pemerintah selalu dinilai masyarakat sarat dengan pemborosan
akibat perburuan ekonomi rente.
Menurut catatan KPK tahun 2008, kebocoran atas APBN mencapai
30-40% dengan persentase dari tahun ke tahun meningkat. Meski temuan KPK ini
perlu pembuktian kebenarannya, setidaknya temuan KPK ini menunjukkan bahwa
efektivitas dan akuntabilitas penggunaan anggaran negara masih lemah. Tingginya
kebocoran dan pemborosan APBN bukan saja berakibat tidak tercapainya
efektivitas APBN, namun juga berakibat utang negara terus meningkat dari tahun
ke tahun. Meskipun pemerintah mampu mengendalikan ratio utang negara terhadap
PDB, namun secara kuantitas utang negara dari tahun ke tahun meningkat.
Sungguh, begitu dahsyatnya dampak perburuan ekonomi rente terhadap
anggaran negara. Seolah tak satu pun para pemangku kekuasaan mempunyai
perhatian terhadap negeri ini. Yang ada, mereka berlomba-lomba menjadi mafia
ekonomi rente, hanya mementingkan diri sendiri guna mendapatkan keuntungan
sesaat. Penegakaan hukum (law enforcement) yang selalu didengung-dengungkan seakan
tak efektif dalam memberantas perburuan rente. Bahkan sebaliknya beberapa
survey menunjukkan para penegak hukum sangat rentan dengan perburuan rente. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar