Demokrasi
dan Pembangunan
Daoed
Joesoef, ALUMNUS
UNIVERSITE PLURIDISCIPLINAIRES PANTHEON-SORBONNE
Sumber
: KOMPAS, 20
Februari 2012
Penyembuhan demokrasi tak langsung dari
neurosis yang dideritanya jelas memerlukan pendidikan formal.
Sebab, penyakit ini kian parah, ditandai
dengan semakin banyak jumlah orang yang tidak terdidik di kalangan penduduk
dari negara-bangsa yang menerapkannya sebagai sistem politik dan
ketatanegaraan. Pendidikan formal ini sendiri harus yang mencerahkan, di mana
penggunaan nalar (akal, reason)
dibiasakan di kalangan anak-anak didik sedini mungkin.
Nalar
dan Konsensus
Pendidikan seperti itu diniscayakan karena,
pertama, guna menyadarkan rakyat bahwa yang mereka delegasikan kepada para
wakilnya adalah ”kewenangan”, bukan ”tanggung jawab”. Mereka tetap bertanggung
jawab untuk mengawasi semua kekeliruan yang secara efektif diselubungi oleh
built-in mechanism institusional dan motivasional yang dimiliki oleh demokrasi
tidak langsung.
Selain ini, ketika parpol menyodorkan kepada
mereka calon-calon wakil untuk dipilih, nalar pasti mereka perlukan untuk
menilai calon-calon itu. Bukan berdasar opini yang dipidatokan oleh para calon,
tetapi berdasar apa yang telah dibuat oleh opini tersebut pada diri calon-calon
itu sendiri. Opini yang serba muluk itu bisa saja rekayasa speech writer, bukan keyakinan hidup sebenarnya dari sang calon.
Penggunaan nalar diperlukan pula, kedua,
untuk mengoreksi pola pikir masyarakat karena cara berpikir individu
terpengaruh oleh pola pikir tersebut. Di mana pun, pola pikir masyarakat
dibentuk oleh empat unsur: (i) fakta empiris, (ii) pengertian mitologis dan
religius, (iii) ide politik dan etik, dan (iv) generalisasi penalaran ilmiah.
Tiga dari unsur-unsur ini (i-iii)
berpembawaan divergen. Demokrasi per se bahkan tambah memperkuat daya
divergensi unsur (ii) dan (iii). Unsur yang punya efek konvergen hanya satu:
unsur ke-(iv).
Sejarah keintelektualan setiap kelompok human
merupakan cerita konflik dari aspek-aspek yang konvergen dan divergen tadi.
Berarti, tak ada satu pun masyarakat yang mau berdemokrasi mampu survive
kecuali apabila pola pikirnya mengandung banyak unsur ilmiah, yang memungkinkan
semua pikiran individual warganya cenderung konvergen. Dan hal ini terjadi
secara reasonable, bukan karena paksaan dari luar diri, walaupun dalam
berdiskusi tentang mitos, agama dan ide politik. Namun yang dimaksud dengan ”unsur
ilmiah” itu bukanlah ilmu pengetahuan per se, melainkan kebiasaan bernalar
seperti yang lazim berlaku di komunitas ilmiah.
Rasionalisasi ketiga dari signifikansi
kebiasaan bernalar adalah demi efektivitas Pancasila, terutama sila keempat.
”Musyawarah” tidak identik dengan ”negosiasi”, bahkan bukan proses take and
give ke arah kompromi. Dalam kompromi, yang esensial justru disisihkan karena
perbedaan prinsipiil justru ada di situ.
Musyawarah, sejatinya, dialog interaktif:
saling menginformasikan apa yang dipikir dan dirasakan tentang hal-hal yang
esensial. Konsensus yang jadi tujuannya adalah ekspresi dari suatu keinginan
bersetuju secara bebas, suatu kemauan bebas untuk mengatasi semua perbedaan,
yang lahir dari ”kehendak hidup bersama” dalam komunitas. Dengan begitu.
konsensus dapat dikatakan sebagaimana Descartes mengatakan tentang common
sense, bahwa ”it is the best shared thing
in the world”.
Nalar
dan Kecerdasan
Kalau konsensus merupakan perkara common
sense, ia adalah—karenanya— urusan nalar dan kecerdasan. Kecerdasan ada karena
hati turut bernalar hingga gairah ditransformasikan menjadi rasa yang nalariah.
Inilah yang kiranya disebut ”emotional
intelligence”.
Berkat perpaduan nalar dan kecerdasan, berupa
kearifan, konsensus bisa diperoleh bila saja common sense bahkan tidak siap
mengatur perilaku individual atau kolektif semata-mata berdasar nalar.
Filosof-matematikawan Pascal di abad XVII telah berujar, ”Le coeur a ses
raisons que la raison ne peut pas expliquer” - the heart has its reason when
rasion cannot explain (hati punya penalarannya sendiri jika nalar tidak bisa
menjelaskan).
Berarti konsensus dapat dilihat sebagai
dialog di suatu persimpangan jalan, antara nalar dan hati, bersendikan konsesi
timbal balik, respek dan kasih, kebebasan, kemauan dan identitas diri sendiri
dan orang lain, yang berbeda dengan diri sendiri.
Penglihatan ini berlaku pula apabila kita
membicarakan pembangunan nasional, yang merupakan konsekuensi logis dari
revolusi nasional kita. Sama dengan revolusi, pembangunan pada asasnya suatu
konsensus karena berurusan terutama dengan manusia; semua rakyat Indonesia,
mengakui ciri-ciri khas historis, kultural dan spiritual bawaan suku/daerah
masing-masing di satu pihak, dan solidaritas human serta kebangsaan di lain
pihak.
Pembangunan manusia, sebagai ide dasar
pembangunan nasional, berarti memajukan kekayaan hidup human ketimbang kekayaan
ekonomi di mana manusia hidup. Kekayaan ini hanya sebagian dari kekayaan hidup
human karena ia meliputi nilai-nilai yang tidak berbentuk.
Nalar
dan Keluhuran
Sewaktu revolusi dahulu, Bung Hatta selalu
mengatakan bahwa kita ingin membangun suatu dunia di mana setiap orang
seharusnya bahagia. Menurut hemat saya, ”kebahagiaan” ini identik dengan
”kekayaan human” tersebut, yang ukurannya adalah ”memiliki lebih banyak” dan
sekaligus ”menjadi lebih luhur”.
Konsensus mengenai pembangunan, lebih-lebih
kalau urusan utamanya manusia, tentu saja bisa bersosok beda menurut waktu dan
tempat. Menurut waktu, dalam makna historis dan filosofis dari istilah ”waktu”,
menurut tempat, dalam makna teritorial dan kultural dari istilah ”tempat”. Maka
kita jangan sekali-kali melibatkan teknologi melulu dalam pembangunan, tetapi
juga filosofi. Bukankah Pancasila kita akui sebagai filosofi dasar kita dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Lagi pula, di setiap sila dari
Pancasila tersirat keberadaan manusia.
Berfilosofi secara esensial, menurut Derrida,
adalah mencari suatu kriteriologi baru untuk membedakan antara memahami dan
menjustifikasi. Berarti, pembangunan—terutama di tahap perencanaannya—tidak
bisa lagi dipercayakan kepada teknokrat saja, tetapi kepada teknosof, teknokrat
yang berfilosofi. Pembangunan nasional berurusan bukan dengan benda dan hewan,
tetapi dengan manusia, yaitu makhluk yang punya nalar dan hati, berpikiran dan
berperasaan. Akuilah, hal yang esensial ini yang selama ini justru kita abaikan
dalam pembangunan nasional, baik dalam teori maupun praksisnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar