Upaya
Dongkrak Budaya Ilmiah
I
Sukron Ma’mun, DOSEN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA
Sumber
: REPUBLIKA, 20
Februari 2012
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI)
mengeluarkan kebijakan yang cukup mengejutkan bagi dunia akademik perguruan
tinggi, yaitu adanya Surat Edaran Nomor 152/E/T/2012 tentang Syarat Kelulusan
Menulis Karya Ilmiah pada Jurnal Bagi Program Sarjana, Magister, dan Doktoral.
Surat edaran tersebut menyatakan kewajiban memublikasi karya pada jurnal ilmiah
sebagai syarat kelulusan sarjana, jurnal nasional terakreditasi bagi mahasiswa
program magister, dan jurnal internasional bagi program doktoral.
Kemendikbud
memastikan bahwa surat edaran tersebut akan berlaku mulai Agustus tahun ini.
Sontak beragam tanggapan mencuat sebagai protes atas kebijakan tersebut.
Berbagai kalangan menilai, kebijakan tersebut terlalu dipaksakan dan perlu
ditinjau ulang. Kebijakan ini juga dinilai akan menimbulkan problem, terutama
terkait dengan semakin lambatnya mahasiswa menyelesaikan studi sebagai akibat
sulitnya memublikasikan karyanya.
Ketua
Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTSI) yang juga rektor UII
Yogyakarta Prof Edy Suandi Hamid menyatakan keberatan atas kebijakan tersebut.
Meskipun kebijakan tersebut memiliki tujuan yang baik untuk peningkatan mutu
indeks akademik di Indonesia, tapi perlu pengaturan yang tepat untuk
mewujudkannya (Republika, 14/2). Senada dengan itu, beberapa akademisi juga
menyatakan kekurangsepahamannya dengan Kemendikbud.
Terlecut Indeks Publikasi
Keluarnya
kebijakan tersebut disinyalir merupakan keprihatinan Kemendikbud atas prestasi
ilmiah dunia akademik perguruan tinggi di Indonesia. Ribuan perguruan tinggi
dari universitas, institut, sekolah tinggi, dan akademi yang ada sejauh ini
tidak mampu memberikan kontribusi yang memadai dalam publikasi karya ilmiah
atau riset. Kenyataannya, ratusan ribu lulusan perguruan tinggi tersebut sa
ngat minim mendapatkan publikasi ilmiah.
Menurut
data yang dilansir oleh Pusat Dokumentasi Ilmiah IndonesiaLembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (PDII-LIPI) hingga Mei 2011, tidak kurang 7000 jurnal
ilmiah terdaftar, tapi hanya 4.000 yang aktif terbit. Dari sekian ribu jurnal,
hanya 406 jurnal ilmiah yang terakreditasi dan 250 jurnal PT yang
terakreditasi. Sementara, yang terakreditasi oleh Ditjen Pendidikan Tinggi
hanya berjumlah 121 buah jurnal.
Jumlah
tersebut bagi Kemendikbud tentu sangat memprihatinkan, mengingat negara-negara
lain memiliki jumlah yang lebih tinggi. Data yang dirilis oleh Scomagojr,
Journal, and Country Rank pada 2011 menunjukkan fakta dalam hal ini. Indonesia
menempati posisi ke-64 dari 236 negara yang di-rang king. Sepanjang 1996-2010,
Indo nesia memiliki 13.037 buah jurnal ilmiah, jauh tertinggal dari Malaysia
yang me miliki 55.211 jurnal dan Thailand sebanyak 58.931 jurnal.
Kewajiban
menulis karya pada jurnal ilmiah tentu akan memberatkan bagi mahasiswa,
terutama yang ada di perguruan tinggi (PT) “pinggiran”. Bahkan, tidak dapat
dimungkiri bahwa perguruan tinggi ternama sekalipun sejauh ini belum memiliki
budaya aka demik yang memadai, terutama dalam penerbitan karya ilmiah
mahasiswa, khususnya S1. Jika ada, jumlahnya sangat sedikit.
PT
kecil dan juga PT yang ada di beberapa pelosok daerah sejauh ini paling sedikit
memiliki budaya ilmiah yang mapan. Kendala teknis dan juga minimnya sumber daya
manusia menjadi kendala terbesar. Perpustakaan dengan minimnya koleksi
referensi, jarangnya diskusi yang didatangi oleh pakar atau ahli, dan berbagai
persoalan yang lain menghadang.
Hanya
internet sebagai sumber yang paling bisa diandalkan untuk menunjang informasi
dan menggali pengetahuan. Dengan demikian, dari mana akan muncul tulisan atau
hasil riset yang bisa diandalkan?
Kemungkinan,
cara yang akan di tempuh oleh civitas academica hampir di seluruh Indonesia
adalah cara instan. Dengan cara menulis karya yang “asal-asalan”, comot
kanan-kiri, copy-paste, plagiat, atau bahkan memunculkan “mafia penulis”. Hal
ini sangat memungkinkan karena mustahil membentuk budaya tulis di kalangan
mahasiswa da lam jangka waktu yang sangat sing kat, terlebih dengan berbagai
macam keterbatasan tersebut.
Tentu
masih segar dalam ingatan kita, kasus plagiatisme yang menimpa dunia akademik
perguruan tinggi beberapa saat lalu. Demikian halnya de ngan kasus mafia karya
ilmiah di se jumlah daerah, terkait dengan sertifikasi guru. Mengapa hal
demikian bisa terjadi? Karena, tuntutan adminsitratif dan tidak mungkinnya
dilakukan oleh yang bersangkutan.
Kewajiban menulis karya pada jurnal ilmiah
yang segera diberlakukan jangan-jangan juga akan mendorong hal yang sama. Sudah
menjadi rahasia umum berapa banyak mafia-mafia penulisan skripsi dan bahkan
tesis yang ada di kota-kota besar. Inilah budaya instan akademik yang paling
menakut kan karena telah mematikan kejujuran akademik dan proses pembelajaran
itu sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar