Senin, 20 Februari 2012

Demokrasi dan Kepentingan Rakyat


Demokrasi dan Kepentingan Rakyat
Paulinus Yan Olla, ROHANIWAN, LULUSAN UNIVERSITAS PONTIFICIO ISTITUTO
DI SPIRITUALITÀ TERESIANUM, ROMA
Sumber : KOMPAS, 20 Februari 2012


Wacana publik di negeri ini telah agak lama disandera oleh kepentingan para elite politik.
Pemimpin tertinggi negeri ini dan partai berkuasa sibuk membersihkan diri dari tuduhan kebobrokan korupsi dan salah urus negara. Kepentingan rakyat yang sesungguhnya terabaikan dalam wacana. Demokrasi yang dijalankan di negeri ini mungkin saja sungguh telah mengidap neurosis politis seperti disinyalir Daoed Joesoef. Ada kegagalan institusional, motivasional, dan mekanistis yang menghalangi terwujudnya kesejahteraan rakyat, padahal rakyat secara teoretis jadi pemilik negara berdemokrasi.

Anomali

Gagalnya parpol menyuarakan kepentingan rakyat bukan hanya di Indonesia. Italia setelah Perang Dunia II sekurang-kurangnya dua kali mengalami anomali dalam penerapan demokrasinya. Anomali pertama terkait sistem pemerintahan yang korup. Hal itu dihadapi dengan gebrakan penyelidikan ”tangan bersih”. Inti gebrakan itu adalah tekad politik membersihkan tangan mereka yang terlibat dalam politik dari praktik korupsi, pemerasan atau penyelewengan uang rakyat untuk parpol. Penyelidikan yang dimulai 1991 dan berlangsung dua tahun itu membidik banyak menteri, anggota parlemen, pengusaha, dan mantan PM Italia. Mereka yang terlibat penyelewengan uang rakyat dihukum.

Anomali kedua dalam demokrasi Italia ditandai kejatuhan Berlusconi, 2011 lalu, digantikan sebuah pemerintahan teknis di bawah pemerintahan Mario Monti. Berlusconi dan koalisi partainya gagal menggerakkan pemerintahan menghadapi krisis utang dan krisis finansial yang membelit Italia. Pemerintahan yang gagal digantikan sebuah pemerintahan teknis yang dibentuk tidak melalui pemilu sebagai saluran demokrasi yang normal.

Demokrasi Indonesia tampak belum membuahkan kesejahteraan rakyat. Seperti dilaporkan harian ini, SBY sendiri mengakui penurunan dukungan terhadap pemerintah dan partainya. Hasil survei memperlihatkan, Januari 2011 Partai Demokrat masih dapat dukungan 20,5 persen responden, di akhir Januari dan awal Februari 2012 tinggal 13 persen (Kompas, 6/2).

Jauhnya jarak antara klaim keberhasilan pembangunan ekonomi makro oleh pemerintah dan tetap minimnya kesejahteraan masyarakat pada umumnya telah memicu ketidakpuasan publik. Begitu pula jatuhnya kredibilitas wakil-wakil rakyat di mata publik telah lama diketahui. Rakyat kebanyakan merasa tidak diwakili. Keputusan legislatif tak memihak rakyat dan penerapan hukum telah lama mengabaikan rasa keadilan rakyat. Terjadi anomali dalam demokrasi karena rakyat tidak berkuasa dan kepentingannya diabaikan.

Dalam dua kali anomali demokrasinya, Italia menjawabnya secara berbeda. Dalam kasus pertama, setelah operasi ”tangan bersih”, rakyat akhirnya merebut kembali kedaulatan yang dibajak partai-partai politik. Rakyat di negeri itu menunjukkan kegeramannya dengan menjatuhkan partai-partai besar yang selama beberapa dekade jadi mayoritas tetapi korup. Partai Demokrasi Kristiani (La Democrazia Cristiana) dan Partai Sosialis Italia (Il Partito Socialista Italiano) ditinggalkan. Berlusconi tampil berkuasa tahun 1994 dengan partai baru (Forza Italia) karena rakyat bosan melihat praktik korupsi partai-partai berkuasa saat itu.

Dalam kasus kedua, rasionalitas dan tanggung jawab kenegarawanan politisi kembali menyelamatkan Italia dari kejatuhan. Pemerintahan teknis Mario Monti lahir dari rasa tanggung jawab etis Berlusconi dan partai berkuasa maupun oposisi untuk menempatkan kepentingan umum di atas kekuasaan jangka pendek partai. Pertikaian para politisi di semua kubu dihentikan dan perpecahan bangsa dihindari demi kepentingan bangsa dan kesejahteraan rakyat.

Rakyat Diabadikan

Indonesia kini ditantang mencari jalan keluar dari sakit demokratis yang dialaminya. Sayangnya, pilihan-pilihan dalam khazanah sejarah demokrasinya sangat terbatas dan tak inspiratif. Presiden Soekarno digantikan Soeharto melalui ”kudeta merangkak”. Soeharto pun digusur melalui kegeraman massa, dan Gus Dur dilengser parlemen di tengah jalan pemerintahannya.

Kini kekhawatiran adanya Sidang Istimewa MPR jadi wacana yang membayangi. Dapatkah bangsa ini belajar jadi lebih cerdas berdemokrasi tanpa kegeraman dan kebencian? Dapatkah daulat rakyat dibela dengan rasionalitas dan sikap kenegarawanan elite politik untuk menempatkan kepentingan politik di atas partai dan kekuasaan? Demokrasi mengandaikan kecerdasan dan tanggung jawab. Ketika peralihan kekuasaan terjadi hanya melalui bahasa kekerasan dan nafsu berkuasa, bangsa itu makin jauh dari kecerdasan dan demokrasi.

Dalam situasi seperti itu, tanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat terabaikan. Daulat rakyat berubah jadi amuk massa. Pilihan ke mana arah demokrasi Indonesia berjalan akhirnya diserahkan pada kecerdasan bangsa ini memilih jalan bijak, mengembalikan kedaulatan rakyat dan mengabdi kesejahteraannya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar