Bisnis
Sekolah Bisnis
Falik Rusdayanto, DIREKTUR
GOLDEN INSTITUTE JAKARTA,
ALUMNUS UNIVERSITAS CHULALONGKORN, THAILAND
Sumber
: SINAR HARAPAN, 2
Februari 2012
Fenomena terus meningkatnya pengangguran
intelektual di negeri ini dimanfaatkan sejumlah lembaga pendidikan untuk
menggelar jurusan wirausaha/bisnis.
Tak heran jika bisnis sekolah kewirausahaan
(bisnis) kian marak. PPM School of Management misalnya, sejak 2005
mengembangkan sekolah tinggi manajemen yang berorientasi mencetak
manajer-manajer muda serta wirausahawan muda.
Contoh lainnya adalah Ciputra
Entrepreneurship School (CES) yang menawarkan pembentukan sikap dan perilaku
wirausaha melalui serangkaian sistem mentoring. Bekal materi pengetahuan
bisnis, cara menggali dan mengungkap nilai-nilai bisnis, serta berbagai spirit
bisnis yang terus ditiupkan, CES berkomitmen mencetak wirausahawan-wirausahawan
tangguh.
Pun demikian dengan Center for
Entrepreneurship Development, Prasetiya Mulya Business School (PMBS), yang
sejak 2005 membuka program sarjana (S-1) Bisnis, setelah sebelumnya
bertahun-tahun membuka Program S-2 (Magister Manajemen).
Dengan hadirnya program ini, pelajar
Indonesia yang ingin mengenal lebih jauh sekolah bisnis tidak perlu pergi ke
luar negeri. Di sini, para mahasiswa diberi pengetahuan kuat dan
keterampilan untuk menjawab tantangan di dunia bisnis.
Maraknya sekolah kewirausahaan tampak hendak
menegaskan wirausahawan itu bisa dididik, bukan dilahirkan sebagaimana selama
ini dipahami sebagian kalangan. Wacana apakah wirausahawan itu dididik
atau dilahirkan sudah lama berkembang di jagat bisnis.
Darah Pengusaha
Mari kita lihat hasil penelitian berikut. Mc
Slelland pada 1961 telah melakukan riset di Amerika Serikat yang
hasilnya menunjukkan 50 persen pengusaha yang dijadikan sampel
penelitiannya adalah mereka yang dilahirkan keluarga pengusaha juga.
Penelitian yang dilakukan Sulasmi (1989) terhadap
22 pengusaha wanita di Bandung juga menunjukkan sekitar 55 persen pengusaha
tersebut memiliki keluarga pengusaha (orang tua, suami, atau saudara
pengusaha). Keluarga Bakrie, Kalla, dan Aksa adalah contoh populer betapa dari
sebuah keluarga yang kuat kultur bisnisnya akan sangat mungkin terlahir entrepreneur
hebat.
Sementara penelitian yang dilakukan Mutmainah
(2001) atas delapan pengusaha paling sukses di Pangandaran menunjukkan mereka
memulai usaha karena keterpaksaan. Tak sedikit kisah sukses entrepreneur
lantaran diawali kemiskinan.
Thomas Sugiarto adalah salah satu dari
deretan kelompok ini. Kepahitan hidup dapat memberi energi luar biasa
untuk seseorang berjuang mengubah nasib lebih baik. Visi itulah yang akan
menggerakkannya untuk bekerja keras tanpa lelah, mencari peluang tanpa malu
hingga akhirnya sukses menghampirinya.
Pada kategori yang ketiga, menurut Muhandri
(2002), adalah kelompok pengusaha yang umumnya memiliki tingkat pendidikan
tinggi. Orang yang masuk dalam kategori ini memang mempersiapkan diri untuk
menjadi wirausahawan, dengan banyak mempelajari keilmuwan (akademik) yang
berkaitan dengan dunia usaha.
Dalam kategori ini terdapat pengusaha yang
langsung memulai usaha (merasa cukup dengan dasar-dasar keilmuwan yang
dimiliki) dan ada yang bekerja terlebih dahulu untuk memahami dunia usaha
secara riil.
Bisa Didapat
Mencermati tiga kategori di atas, kita
mendapatkan gambaran bahwa jiwa entrepreneur itu bisa didapat dengan
berbagai cara. Setidaknya ini bisa mematahkan pandangan yang selama ini
masih diyakini sebagian kalangan bahwa seorang entrepreneur itu
dilahirkan dari keluarga dengan kultur bisnis kuat.
Sebaliknya, seorang entrepreneur
sangat mungkin dimunculkan melalui berbagai kondisi (lewat pendidikan hingga
keterpaksaan), meski ia tidak dilahirkan dalam keluarga dengan kultur bisnis
kuat.
Namun, yang belum dapat dipatahkan adalah
kenyataan mayoritas pengusaha yang sukses ternyata berasal dari keluarga dengan
tradisi yang kuat di bidang usaha (bisnis). Dengan demikian dapat digarisbawahi
bahwa kultur (budaya) berwirausaha suatu keluarga atau suku, atau bahkan bangsa
sangat berpengaruh terhadap kemunculan kelas wirausahawan baru yang
tangguh.
Namun ada satu catatan yang perlu
diperhatikan, kultur tersebut tidak dapat ditanamkan dalam sekejap. Sangat
mungkin para orang tua pebisnis memang sejak dini telah menanamkan jiwa
wirausaha kepada anak-anak.
Secara komunal, kultur beberapa suku di
Indonesia memang mengagungkan profesi wirausaha sehingga banyak wirausahawan
tangguh berasal dari suku tersebut. Namun tak bisa dipungkiri, secara umum
kultur masyarakat Indonesia lebih mengutamakan profesi yang relatif ”tanpa
risiko” (misalnya menjadi pegawai negeri atau swasta).
Menilik pentingnya membangun kelas
wirausahawan, pemerintah perlu menyusun suatu program untuk menanamkan budaya
wirausaha di kalangan generasi muda kita. Hal itu penting sebagai salah satu
solusi guna membantu menyelamatkan perekonomian masyarakat di masa depan.
Karena tidak semua orang tua bisa kita
harapkan mampu dan mau berupaya menanamkan budaya wirausaha kepada anak-anaknya
maka penting bagi pemerintah untuk menanamkan budaya wirausaha
tersebut dengan sasaran para siswa sekolah khususnya, dan masyarakat
pada umumnya.
Tentulah usaha itu tidak mudah, tetapi ada
baiknya kita belajar pada keberhasilan program keluarga berencana (KB) semasa
Orde Baru, yang semula dianggap mustahil, ternyata dapat dilaksanakan dengan
baik.
Selain itu akan lebih baik lagi usaha
menciptakan wirausaha baru yang tangguh tersebut digalang untuk kalangan
lulusan perguruan tinggi yang telah memiliki dasar keilmuwan dan
intelektualitas yang tinggi.
Ini karena ke depan persaingan usaha di era
globalisasi menuntut kemampuan seorang wirausahawan dengan kemampuan
tinggi. Untuk itulah berdirinya sekolah-sekolah kewirausahaan
menemukan argumentasi yang sangat jelas.
Pola Inkubasi Bisnis
Salah satu pola pengembangan wirausaha yang
tangguh dan unggul adalah dengan memberikan pembinaan dan pendampingan
melalui apa yang disebut inkubasi bisnis. Beberapa perguruan tinggi
melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)-nya maupun
Departemen Teknis telah mengembangkan pola inkubasi bisnis ini.
Para tenant (unit bisnis binaan)
diberikan kesempatan untuk dibina dalam periode waktu tertentu. Para tenant
diberikan bantuan pendidikan, pelatihan, dan magang yang didukung
fasilitas/akses teknologi, manajemen, pasar, modal, serta informasi. Pada
sisi inilah kita menemukan argumentasi bahwa entrepreneur itu bisa
dididik, bukan semata-mata dilahirkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar