“Zombi-Zombi”
Koruptor
Sunardi, DOKTOR ILMU HUKUM PPS UNIBRAW,ALUMNUS LEMHANAS (2010)
Sumber
: SUARA KARYA, 2
Februari 2012
William J Chambliss dalam On the Take; From Petty Crooks to
Presidents (1978) dan Richard Quinney melalui Critique of Legal Order (1973)
menggambarkan bahwa hukum cenderung dibuat untuk menampung keinginan elite yang
menguasai negara daripada untuk kepentingan masyarakat. Benarkah hukum
'dipersembahkan' untuk memuaskan atau mengamankan kelompok elite?
Benar! Hukum kita hanya mengabdi dan 'menyembah' elite. Hukum kita
masih terhegemoni oleh kekuatan mafioso atau serba memanjakan para penyalahguna
jabatan dan pembarter kekuasaan. Hukum kita dijadikan instrumen untuk
membenarkan yang salah, mengaburkan yang benar, dan menghancurkan keadilan.
Keadilan menjadi kata yang paling gampang disebut, namun paling sulit membumi
di negeri ini.
Para penyalah-guna jabatan masih menjadi elitis yang perkasa dan
arogan. Mereka bermain apologi dan menyebar tekanan psikologis untuk
menciptakan ketakutan di hati aparat penegak hukum supaya pilar negara hukum
mengidap virus kecil nyali. Politik verbalitas dilancarkannya guna membuat
gagap aparat penegak hukum, sehingga bukan hanya dirinya bisa terbebas dari
jeratan hukum, tetapi juga mampu unjuk kekuatan kalau dirinya adalah sang
penentu.
Norma yuridis yang berharga mahal di tangan legislatif saat
diproduksi, tak lebih dari instrumen yang kehilangan nafas filosofi
egalitarianisme dan keberpihakannya pada keadilan akibat direduksi dan
dijadikan objek permainan oleh kekuatan elitis menyibukkan dirinya dalam
perburuan atau pengejaran status menjadi manusia-manusia borjuis instan.
Sudah demikian sering, misalnya, para tersangka koruptor
melontarkan ancaman akan membongkar secara terbuka dan habis-habisan skandal
politisi Indonesia, jika dirinya diseret ke meja hijau. Dari pernyataan ini,
dapat dibaca maksudnya.
Pertama, tersangka koruptor bermaksud melakukan pembelaan atas apa
yang menimpa dirinya. Kedua, mereka sangat paham kalau penyelenggaran hukum di
negeri ini sangat rentan dipermainkan, pasalnya tak sedikit di antaranya yang
menjadi 'zombi-zombi' (mayat-mayat hidup) di antara para koruptor. Mereka mampu
membaca dan menafsirkan kelemaham koruptor sebagai potensi besar yang bisa
membuatnya lebih cepat menempati derajat ningratisme sosial-ekonomi.
Para 'zombi' tersebut sepertinya antusias menangani dan
mempertanggungjawabkan para tersangka koruptor atau menunjukkan kinerja yang
sejalan dengan panduan norma yuridis dan kode etik profesinya. Padahal, di
balik yang terlihat, mereka ternyata menjadi pelayan setia para koruptor atau
menggiring tersangka sebagai 'ATM-ATM'-nya. Mereka bisa menceritakan tentang
ancaman sanksi hukum yang tertulis dalam produk legislatif hanya sebagai pisau
tajam yang diserahkan penumpulannya pada tersangka koruptor.
Masyarakat sebenarnya sudah lama merindukan testimoni terbuka dan
jujur di kalangan saksi, namun karena seringnya gertakan testimoni tak berujung
pada terbukanya objektivitas, dan bahkan yang menonjol lebih banyak akrobat
para pemberi kesaksian yang tidak berujung pada terbongkar tuntasnya kasus
hukum. Maka, jadinya negara hukum tak ubahnya berada dalam genggaman totalitas
'zombi-zombi' koruptor.
Demikian sering masyarakat mendapatkan tontonan atmosfer hukum
yang kehilangan arah, tanpa makna, dan serba kabur. Ada sejumlah tontonan
mengenai upaya pengimplementasian sistem peradilan pidana (criminal justice
system) yang melibatkan tokoh kenamaan dalam perkara korupsi, namun saat proses
dimulai, tidak lama setelah itu, yang terdengar hanya kesimpang-siuran. Ada
saling mengambing-hitamkan, saling menyalahkan, dan 'kelumpuhan' di sana-sini.
Kosa kata pro yustitia hanya menempel di kertas kop aparat peradilan, yang tak
menjadi 'ayat-ayat' sakral untuk mengantarkan tegaknya dan membuminya keadilan.
Pro yustitia telah tereliminasi akibat sepak terjang elite bermasalah yang
diberikan tempat berdaulat.
Masyarakat sangat akrab mendengar celoteh dan auman keras dari
seseorang tokoh yang terdesak secara hukum, khususnya pada saat berstatus
terpojok, jadi tersangka atau terdakwa. Namun, celoteh dan auman ini tiba-tiba
lenyap setelah tergilas oleh datangnya kasus-kasus baru yang lebih sensasional.
Gema hukum terdahulu yang sepertinya akan menegakkan hak keadilan untuk semua
(justice for all), terbukti hanya dijadikan kenangan dan 'noktah sejarah' dalam
agenda peradilan yang semakin temaram atau terpinggirkan dalam jagat yang
mengenaskan: kombinasi memalukan dan memilukan. Masyarakat dibuat akrab dengan
apa yang namanya kasus-kasus mengambang (floating case).
Itu menunjukkan bahwa tak sedikit elite sibuk mengejar kemapanan,
kenyamanan, dan keamanan. Menurut Herbet Marcus, sikap macam ini tergolong one
dimention man atau manusia monologis, manusia berdimensi tunggal, atau sosok
yang menjalani kehidupannya secara eksklusif, tanpa memikirkan kepentingan
terbaik bangsa dan citra negara hukum.
Tidak salah stigma publik kalau aparat penegak hukum kita
beraninya hanya pada orang kecil yang bermasalah secara hukum, sementara ketika
elemen elite yang bermasalah, aparat kehilangan nyali. Hilangnya nyali ini
layak ditafsirkan sebagai atmosfer tereduksinya militansi aparat dan menangnya
supremasi mafioso. Aparat yang seharusnya pintar dan bernalar bening, akhirnya
menjadi elemen warga yang tiba-tiba jadi 'bodoh mendadak'.
Siapa pun yang sudah diberi amanat untuk menegakkan hukum atau
jadi pilar sakral negara di bidang penegakan hukum (law enforcement), harus
menunaikan tugas mulianya ini dengan teguh, jujur, dan objektif, dan bukan
menyerahkan diri untuk jadi 'zombi-zombi'.
Tanpa sikap demikian, dirinya tak pantas disebut sebagai pilar
negara, dan sebaliknya hanya pantas disebut sebagai pendestruksi keberlanjutan
hidup negara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar