Stop
Kabupatenisasi, Fokus ke Desa
M. Mas’ud Said, GURU
BESAR UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG; ASISTEN STAF KHUSUS PRESIDEN BIDANG
OTONOMI DAERAH DAN PEMBANGUNAN DAERAH
Sumber
: JAWA POS, 6
Februari 2012
DATA
Kementerian
Dalam Negeri, sampai pada akhir 2011, menyebutkan bahwa di negeri ini ada
69.432 desa di 6.243 kecamatan. Desa-desa kita tersebar di enam pulau besar
sampai kepulauan terluar seperti di Pulau Miangas di dekat Filipina. Di luar
itu, banyak desa terpencil di Pulau Rote dan ribuan desa di dataran tinggi
Pegunungan Papua atau desa-desa miskin di Kepulauan Natuna.
Sejak dulu basis perhitungan kebijakan pembangunan nasional lebih banyak ditekankan pada unit pemerintahan di tingkat kota dan kabupaten. Secara sektoral, pembangunan kita sering menyebut "bidang apa", tapi jarang menyebut "di mana letaknya".
Akibat pembangunan sektoral dan melupakan spasial, lahirlah ketimpangan Jawa v luar Jawa, Indonesia Timur v Indonesia Barat, kesenjangan wilayah kepulauan v daratan, ketimpangan desa dengan perkotaan. Banyak jalan desa yang masih becek dan buruk, sedangkan di kota jalan-jalan sudah lebih baik.
Sudah terlalu lama desa tidak menjadi fokus pembangunan. Walaupun desa-desa itu sudah ada dan hidup sebelum negeri ini merdeka, undang-undang mengenai desa baru disahkan pada 2012! Selain itu, ada anggapan bahwa kalau desa terlalu dimanja, kepala desa akan terlalu banyak menikmati kemajuan, terutama kalau desa diberi otoritas berlebih, termasuk pemindahan korupsi ke desa.
Pada akhir 2011, kelompok kepala desa dari berbagai kabupaten dan kota yang tergabung dalam Parade Desa Nusantara berkampanye dan road show kepada DPR dan presiden. Mereka ingin agar pada UU Desa dicantumkan pasal yang mewajibkan porsi dana APBN bagi pembangunan desa. Walaupun tuntutan mereka belum dapat dipenuhi, masukan mereka semestinya menjadi pertimbangan konkret pada proses akhir drafting UU Desa 2012.
Selama ini pendanaan diberikan kepada gubernur, wali kota, dan bupati. Terkandung asumsi bahwa dengan titik berat otonomi daerah di tingkat kota dan kabupaten, dengan sendirinya desa "dipikirkan" oleh kepala daerah setempat. Seperti ada keyakinan bahwa gubernur, bupati, wali kota, DPRD otomatis memberikan pendanaan yang cukup dan perhatian yang layak kepada rakyat di desa. Ternyata asumsi itu meleset.
Titik berat otonomi daerah kita memang berfokus pada kota dan kabupaten. Demikian juga dalam sistem penganggaran APBN. UU pemerintahan daerah terlalu kota dan kabupaten sentris. UU otonomi daerah miskin perhatian terhadap desa dan perdesaan. UU otonomi daerah kita terlalu hierarkis, lambang sentralistisme yang tidak fair.
Bagaimana solusinya? Dalam kaitan tersebut, perpres atau PP mestinya diarahkan pada akselerasi dan pembangunan desa. Dengan titik berat desa, slogan pembangunan "dari semua, oleh semua dan untuk semua" lebih mudah dicapai. Desa bisa dipandang sangat menentukan gagal dan berhasilnya pembangunan bangsa.
Biro pemerintahan desa di Kemendagri sebaiknya terus membuat terobosan dengan mengusulkan kepada Mendagri untuk revisi peraturan pemerintah dan memperbarui kerangka regulasi pembangunan desa. Bersamaan dengan hal itu diusulkan kepada presiden untuk mendorong kementerian dan lembaga yang terkait pembangunan desa. Dengan mengacu kepada kepala desa dan perangkatnya, diharapkan bisa lebih lancar dalam pemberdayaan masyarakat.
Dalam kurun waktu sebelas tahun terakhir, tensi politik di desa dan akselerasi pembangunan di desa sangat dinamis (highly accelerated). Itu juga diikuti banyaknya protes masyarakat desa yang tanahnya diserobot pengusaha dan, bahkan, oleh unsur negara, seperti kementerian industri, perdagangan, industri kehutanan dan eksplorasi di bidang kelautan dan perikanan. Saat beberapa urusan pusat diserahkan ke daerah, suara desa dan aspirasi tokoh-tokoh di desa seakan menemukan momentumnya untuk didengar.
Tidak terbayangkan, betapa bergairahnya pembangunan desa bila desa nanti dipakai sebagai lokus dan fokus pembangunan. Betapa besar pekerjaan yang harus dilakukan. Betapa banyak energi positif yang harus dicurahkan. Dapat digambarkan betapa dinamisnya pembangunan desa.
Pada saat yang sama, pengawasan pembangunan desa harus juga dilaksanakan secara tepat dan cermat, sehingga ada jaminan perlindungan kepentingan masyarakat di desa dan institusi adat di perdesaan. Dalam pada itu, tentu standardisasi capaian harus dilakukan dengan penerbitan peraturan pemerintah, sehingga esensi otonomi daerah yang kuat dan terarah bisa tercapai dengan basis desa.
Dengan berpikir sederhana ala orang desa, tulisan ini bisa merupakan otokritik bahwa strategi pembangunan kita sedang salah arah. Dengan kepemilikan data sosial dan ekonomi Indonesia, dapat dikatakan bahwa selama ini perencanaan pembangunan dan basis penganggaran terlalu sentralistis dan sektoral. Karena itu, strategi pembangunan mestinya dibalik. Perlu ada gerakan stop "kabupatenisasi" dan "kotanisasi" atau setidaknya desa dipakai sebagai basis analisis perencanaan dan evaluasi dan ancangan besaran pembiayaan pembangunan. Desa dan pedesaan sesungguhnya ialah jantung negara. ●
Sejak dulu basis perhitungan kebijakan pembangunan nasional lebih banyak ditekankan pada unit pemerintahan di tingkat kota dan kabupaten. Secara sektoral, pembangunan kita sering menyebut "bidang apa", tapi jarang menyebut "di mana letaknya".
Akibat pembangunan sektoral dan melupakan spasial, lahirlah ketimpangan Jawa v luar Jawa, Indonesia Timur v Indonesia Barat, kesenjangan wilayah kepulauan v daratan, ketimpangan desa dengan perkotaan. Banyak jalan desa yang masih becek dan buruk, sedangkan di kota jalan-jalan sudah lebih baik.
Sudah terlalu lama desa tidak menjadi fokus pembangunan. Walaupun desa-desa itu sudah ada dan hidup sebelum negeri ini merdeka, undang-undang mengenai desa baru disahkan pada 2012! Selain itu, ada anggapan bahwa kalau desa terlalu dimanja, kepala desa akan terlalu banyak menikmati kemajuan, terutama kalau desa diberi otoritas berlebih, termasuk pemindahan korupsi ke desa.
Pada akhir 2011, kelompok kepala desa dari berbagai kabupaten dan kota yang tergabung dalam Parade Desa Nusantara berkampanye dan road show kepada DPR dan presiden. Mereka ingin agar pada UU Desa dicantumkan pasal yang mewajibkan porsi dana APBN bagi pembangunan desa. Walaupun tuntutan mereka belum dapat dipenuhi, masukan mereka semestinya menjadi pertimbangan konkret pada proses akhir drafting UU Desa 2012.
Selama ini pendanaan diberikan kepada gubernur, wali kota, dan bupati. Terkandung asumsi bahwa dengan titik berat otonomi daerah di tingkat kota dan kabupaten, dengan sendirinya desa "dipikirkan" oleh kepala daerah setempat. Seperti ada keyakinan bahwa gubernur, bupati, wali kota, DPRD otomatis memberikan pendanaan yang cukup dan perhatian yang layak kepada rakyat di desa. Ternyata asumsi itu meleset.
Titik berat otonomi daerah kita memang berfokus pada kota dan kabupaten. Demikian juga dalam sistem penganggaran APBN. UU pemerintahan daerah terlalu kota dan kabupaten sentris. UU otonomi daerah miskin perhatian terhadap desa dan perdesaan. UU otonomi daerah kita terlalu hierarkis, lambang sentralistisme yang tidak fair.
Bagaimana solusinya? Dalam kaitan tersebut, perpres atau PP mestinya diarahkan pada akselerasi dan pembangunan desa. Dengan titik berat desa, slogan pembangunan "dari semua, oleh semua dan untuk semua" lebih mudah dicapai. Desa bisa dipandang sangat menentukan gagal dan berhasilnya pembangunan bangsa.
Biro pemerintahan desa di Kemendagri sebaiknya terus membuat terobosan dengan mengusulkan kepada Mendagri untuk revisi peraturan pemerintah dan memperbarui kerangka regulasi pembangunan desa. Bersamaan dengan hal itu diusulkan kepada presiden untuk mendorong kementerian dan lembaga yang terkait pembangunan desa. Dengan mengacu kepada kepala desa dan perangkatnya, diharapkan bisa lebih lancar dalam pemberdayaan masyarakat.
Dalam kurun waktu sebelas tahun terakhir, tensi politik di desa dan akselerasi pembangunan di desa sangat dinamis (highly accelerated). Itu juga diikuti banyaknya protes masyarakat desa yang tanahnya diserobot pengusaha dan, bahkan, oleh unsur negara, seperti kementerian industri, perdagangan, industri kehutanan dan eksplorasi di bidang kelautan dan perikanan. Saat beberapa urusan pusat diserahkan ke daerah, suara desa dan aspirasi tokoh-tokoh di desa seakan menemukan momentumnya untuk didengar.
Tidak terbayangkan, betapa bergairahnya pembangunan desa bila desa nanti dipakai sebagai lokus dan fokus pembangunan. Betapa besar pekerjaan yang harus dilakukan. Betapa banyak energi positif yang harus dicurahkan. Dapat digambarkan betapa dinamisnya pembangunan desa.
Pada saat yang sama, pengawasan pembangunan desa harus juga dilaksanakan secara tepat dan cermat, sehingga ada jaminan perlindungan kepentingan masyarakat di desa dan institusi adat di perdesaan. Dalam pada itu, tentu standardisasi capaian harus dilakukan dengan penerbitan peraturan pemerintah, sehingga esensi otonomi daerah yang kuat dan terarah bisa tercapai dengan basis desa.
Dengan berpikir sederhana ala orang desa, tulisan ini bisa merupakan otokritik bahwa strategi pembangunan kita sedang salah arah. Dengan kepemilikan data sosial dan ekonomi Indonesia, dapat dikatakan bahwa selama ini perencanaan pembangunan dan basis penganggaran terlalu sentralistis dan sektoral. Karena itu, strategi pembangunan mestinya dibalik. Perlu ada gerakan stop "kabupatenisasi" dan "kotanisasi" atau setidaknya desa dipakai sebagai basis analisis perencanaan dan evaluasi dan ancangan besaran pembiayaan pembangunan. Desa dan pedesaan sesungguhnya ialah jantung negara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar