Simpang
Siur RUU Keamanan Nasional
Muhamad Haripin, PENELITI DI PUSAT PENELITIAN POLITIK –
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
(LIPI)
Sumber
: SINDO, 21 Februari 2012
Simpang
siur RUU Keamanan Nasional bukan hanya berkutat pada aspek substantif, khususnya
definisi, poin-poin bentuk ancaman tak bersenjata,dan mekanisme koordinasi
antar aktor keamanan.
Perkembangan
terbaru, seperti diberitakan oleh beberapa harian nasional (10/2), menunjukkan
problem pada aspek perumusan kebijakan. Komisi I akan mengembalikan RUU Kamnas
kepada pemerintah agar segera diperbaiki. Setelah berkonsultasi dengan 12
pihak,diantaranya organisasi nonpemerintah berbasis isu HAM,Komisi I mengamini
kekhawatiran masyarakat sipil bahwa RUU Kamnas mengandung banyak persoalan.
Perkembangan lain yang terjadi adalah perubahan mekanisme pembahasan RUU Kamnas di DPR. Selama ini RUU Kamnas dibahas di Komisi I yang membawahi bidang pertahanan, intelijen, luar negeri, dan komunikasi-informatika. Selanjutnya Badan Musyawarah DPR memutuskan bahwa RUU akan dibahas oleh panitia khusus (pansus) lintas fraksi dari tiga komisi yaitu Komisi I,II, serta III.
Perubahan ini didasari oleh substansi Kamnas yang multisektoral, di dalamnya tidak hanya menyangkut sektor (pertahanan) keamanan nasional, tapi juga ruang lingkup pemerintahan dalam negeri (pusat dan daerah) serta penegakan hukum (kepolisian), yang notabene wilayah kerja Komisi II serta III.
Konsekuensi
Dua perkembangan tersebut memiliki dua konsekuensi.Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertahanan, mesti ‘menulis ulang’ RUU Kamnas.Penolakan dari parlemen dan organisasi nonpemerintah (ornop) merupakan sinyal kuat atas pertanyaan yang lebih mendasar tentang urgensi RUU Kamnas: apakah pemerintah dan aktor keamanan benar-benar membutuhkan keamanan nasional.
Bagaimanapun pemerintah pada dasarnya tengah ditantang agar berpikir lebih terbuka. Dalam satu kesempatan lokakarya tentang Kamnas yang pernah diikuti penulis, seorang petinggi Kemhan yang menjadi narasumber menyatakan bahwa semangat RUU Kamnas adalah pembentukan Dewan Keamanan Nasional (DKN).
Padahal jika dicermati, pemerintah justru telah melalaikan amanat UU 3/2002 (Pertahanan Negara) mengenai pembentukan Dewan Pertahanan Nasional. Dari sisi komposisi personel dan tugas, kedua lembaga tersebut tidak jauh berbeda.Kalaupun wewenang DPN dirasa kurang,pemerintah bisa menambahkannya melalui keputusan presiden.
Konsekuensi selanjutnya adalah parlemen mesti membahas RUU Kamnas sedari awal. Pertama, asumsinya, anggota pansus dari Komisi II serta III tidak terlalu mafhum. Kedua, sambil menunggu rancangan terbaru dari pemerintah, Komisi II dan III mengejar ketertinggalannya dari Komisi I dalam memahami isu penting yang dibahas RUU Kamnas.
Jika yang terjadi adalah kondisi pertama, pihak yang akan lebih dominan adalah anggota pansus dari Komisi I. Pansus akan didominasi pendapat atau kritik yang lebih menyoroti aspek pertahanan. Alhasil, polemik ‘dikebirinya kewenangan Polri’ serta konsolidasi ‘aktor keamanan daerah’ tidak akan terlalu banyak disoroti.
Namun jika anggota pansus dari Komnas II serta III bisa mengejar ketertinggalannya, situasi yang mungkin terjadi adalah pertarungan kepentingan di antara anggota pansus, yang berhubungan dengan ruang lingkup kerja mereka di level komisi.
Pertarungan
Bagaimanapun simpangsiur RUU Kamnas ini muncul karena ketidakmulusan proses perumusan kebijakan.Pada satu sisi hal tersebut merupakan konsekuensi demokratisasi yang sedang terjadi di Indonesia. Keamanan nasional tidak lagi menjadi urusan aktor keamanan negara per se, tapi masyarakat sipil pun menuntut kesempatan mengemukakan pandangan.
Usaha itu telah tampak sejak reformasi sektor keamanan pertama kali dilakukan misalnya dalam keterlibatan kelompok kerja Propatria dalam pembahasan RUU Pertahanan Negara pada era Menteri Pertahanan Mahfud MD. Namun pada sisi lain,demokratisasi pun tidak dapat menafikan pertarungan kekuasaan antar elite politik.Terlebih, pengelolaan sektor keamanan nasional (tentara, polisi, intelijen, dan aktor terkait) merupakan permainan besar dengan banyak pertaruhan kepentingan.
Problem yang dihadapi pemerintah adalah pencarian titik ekuilibrium yang menempatkan setiap aktor dalam posisi yang tepat serta proporsional. Dengan dilibatkannya Komisi II dan III,aktor yang terlibat bertambah dan semakin kompleks permainan yang akan berlangsung. Sebelum peluit pembahasan draf baru dimulai pun,gejala ketatnya persaingan telah terasa.
Seperti diungkapkan Wakil Ketua DPR Pramono Anung, pelibatan Komisi II dan III merupakan buah dari aspirasi Kapolri. Polemik ‘pemeretelan wewenang Polri’ mencuat karena Dewan Keamanan Nasional dinilai akan mengambil alih wewenang Polri dalam menilai situasi strategik keamanan dalam negeri (strategic assessment).
Menanggapi permintaan tersebut, anggota Komisi I menyarankan Kapolri untuk mengungkap kegelisahannya langsung kepada Presiden.Namun, dibanding menyarankan hal demikian, Komisi I semestinya mempertanyakan kenapa dalam forum di parlemen,Polri berani menyampaikan keinginan agar Komisi III terlibat dalam pembahasan RUU Kamnas.
Bagaimana sebetulnya proses perumusan RUU Kamnas di tubuh Kemhan, apakah telah mengikutsertakan para pemangku kepentingan di sektor keamanan atau sekadar ajang ‘perebutan kembali kendali teritori serta operasi’ yang dahulu didominasi Angkatan Darat? Pembentukan pansus RUU Kamnas—jika nanti berhasil— merupakan preseden penting dalam pengelolaan sektor keamanan Indonesia.
Publik, khususnya, dapat melihat konstelasi kepentingan yang eksis di sektor keamanan. Namun, hal yang patut digarisbawahi adalah publik membutuhkan diskusi keamanan nasional yang sehat.Dengan dikembalikannya RUU, pemerintah mesti berusaha lebih keras lagi menyaring berbagai aspirasi masyarakat.
Selain itu, parlemen pun memiliki banyak pekerjaan rumah untuk mengikuti dinamika opini yang berkembang di tengah masyarakat. Bagaimanapun tersendat-sendatnya pembahasan RUU Kamnas tak terlepas dari peran parlemen itu sendiri (Komisi I) yang sejauh ini hanya berhasil sebagai ‘wadah penampungan aspirasi,’ namun masih sangat lemah dalam hal ‘motor terciptanya solusi.’ ●
Perkembangan lain yang terjadi adalah perubahan mekanisme pembahasan RUU Kamnas di DPR. Selama ini RUU Kamnas dibahas di Komisi I yang membawahi bidang pertahanan, intelijen, luar negeri, dan komunikasi-informatika. Selanjutnya Badan Musyawarah DPR memutuskan bahwa RUU akan dibahas oleh panitia khusus (pansus) lintas fraksi dari tiga komisi yaitu Komisi I,II, serta III.
Perubahan ini didasari oleh substansi Kamnas yang multisektoral, di dalamnya tidak hanya menyangkut sektor (pertahanan) keamanan nasional, tapi juga ruang lingkup pemerintahan dalam negeri (pusat dan daerah) serta penegakan hukum (kepolisian), yang notabene wilayah kerja Komisi II serta III.
Konsekuensi
Dua perkembangan tersebut memiliki dua konsekuensi.Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertahanan, mesti ‘menulis ulang’ RUU Kamnas.Penolakan dari parlemen dan organisasi nonpemerintah (ornop) merupakan sinyal kuat atas pertanyaan yang lebih mendasar tentang urgensi RUU Kamnas: apakah pemerintah dan aktor keamanan benar-benar membutuhkan keamanan nasional.
Bagaimanapun pemerintah pada dasarnya tengah ditantang agar berpikir lebih terbuka. Dalam satu kesempatan lokakarya tentang Kamnas yang pernah diikuti penulis, seorang petinggi Kemhan yang menjadi narasumber menyatakan bahwa semangat RUU Kamnas adalah pembentukan Dewan Keamanan Nasional (DKN).
Padahal jika dicermati, pemerintah justru telah melalaikan amanat UU 3/2002 (Pertahanan Negara) mengenai pembentukan Dewan Pertahanan Nasional. Dari sisi komposisi personel dan tugas, kedua lembaga tersebut tidak jauh berbeda.Kalaupun wewenang DPN dirasa kurang,pemerintah bisa menambahkannya melalui keputusan presiden.
Konsekuensi selanjutnya adalah parlemen mesti membahas RUU Kamnas sedari awal. Pertama, asumsinya, anggota pansus dari Komisi II serta III tidak terlalu mafhum. Kedua, sambil menunggu rancangan terbaru dari pemerintah, Komisi II dan III mengejar ketertinggalannya dari Komisi I dalam memahami isu penting yang dibahas RUU Kamnas.
Jika yang terjadi adalah kondisi pertama, pihak yang akan lebih dominan adalah anggota pansus dari Komisi I. Pansus akan didominasi pendapat atau kritik yang lebih menyoroti aspek pertahanan. Alhasil, polemik ‘dikebirinya kewenangan Polri’ serta konsolidasi ‘aktor keamanan daerah’ tidak akan terlalu banyak disoroti.
Namun jika anggota pansus dari Komnas II serta III bisa mengejar ketertinggalannya, situasi yang mungkin terjadi adalah pertarungan kepentingan di antara anggota pansus, yang berhubungan dengan ruang lingkup kerja mereka di level komisi.
Pertarungan
Bagaimanapun simpangsiur RUU Kamnas ini muncul karena ketidakmulusan proses perumusan kebijakan.Pada satu sisi hal tersebut merupakan konsekuensi demokratisasi yang sedang terjadi di Indonesia. Keamanan nasional tidak lagi menjadi urusan aktor keamanan negara per se, tapi masyarakat sipil pun menuntut kesempatan mengemukakan pandangan.
Usaha itu telah tampak sejak reformasi sektor keamanan pertama kali dilakukan misalnya dalam keterlibatan kelompok kerja Propatria dalam pembahasan RUU Pertahanan Negara pada era Menteri Pertahanan Mahfud MD. Namun pada sisi lain,demokratisasi pun tidak dapat menafikan pertarungan kekuasaan antar elite politik.Terlebih, pengelolaan sektor keamanan nasional (tentara, polisi, intelijen, dan aktor terkait) merupakan permainan besar dengan banyak pertaruhan kepentingan.
Problem yang dihadapi pemerintah adalah pencarian titik ekuilibrium yang menempatkan setiap aktor dalam posisi yang tepat serta proporsional. Dengan dilibatkannya Komisi II dan III,aktor yang terlibat bertambah dan semakin kompleks permainan yang akan berlangsung. Sebelum peluit pembahasan draf baru dimulai pun,gejala ketatnya persaingan telah terasa.
Seperti diungkapkan Wakil Ketua DPR Pramono Anung, pelibatan Komisi II dan III merupakan buah dari aspirasi Kapolri. Polemik ‘pemeretelan wewenang Polri’ mencuat karena Dewan Keamanan Nasional dinilai akan mengambil alih wewenang Polri dalam menilai situasi strategik keamanan dalam negeri (strategic assessment).
Menanggapi permintaan tersebut, anggota Komisi I menyarankan Kapolri untuk mengungkap kegelisahannya langsung kepada Presiden.Namun, dibanding menyarankan hal demikian, Komisi I semestinya mempertanyakan kenapa dalam forum di parlemen,Polri berani menyampaikan keinginan agar Komisi III terlibat dalam pembahasan RUU Kamnas.
Bagaimana sebetulnya proses perumusan RUU Kamnas di tubuh Kemhan, apakah telah mengikutsertakan para pemangku kepentingan di sektor keamanan atau sekadar ajang ‘perebutan kembali kendali teritori serta operasi’ yang dahulu didominasi Angkatan Darat? Pembentukan pansus RUU Kamnas—jika nanti berhasil— merupakan preseden penting dalam pengelolaan sektor keamanan Indonesia.
Publik, khususnya, dapat melihat konstelasi kepentingan yang eksis di sektor keamanan. Namun, hal yang patut digarisbawahi adalah publik membutuhkan diskusi keamanan nasional yang sehat.Dengan dikembalikannya RUU, pemerintah mesti berusaha lebih keras lagi menyaring berbagai aspirasi masyarakat.
Selain itu, parlemen pun memiliki banyak pekerjaan rumah untuk mengikuti dinamika opini yang berkembang di tengah masyarakat. Bagaimanapun tersendat-sendatnya pembahasan RUU Kamnas tak terlepas dari peran parlemen itu sendiri (Komisi I) yang sejauh ini hanya berhasil sebagai ‘wadah penampungan aspirasi,’ namun masih sangat lemah dalam hal ‘motor terciptanya solusi.’ ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar