PPP
dan Masa Depan Politik Islam
Bahtiar Effendy, GURU BESAR ILMU POLITIK, DEKAN FISIP UIN
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Sumber
: SINDO, 21 Februari 2012
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
menyelenggarakan musyawarah kerja nasional pada 21– 23 Februari di Pesantren
Lirboyo, Hidayatul Mubtadi’in, Kediri, Jawa Timur, pimpinan KH Idris Marzuki.
Lazimnya kegiatan sebuah organisasi, pertemuan seperti ini sebenarnya merupakan hal yang biasa—kerja rutin tahunan. Karena itu, kegiatan seperti itu biasanya kurang menarik perhatian media massa atau pengamat.Apalagi, acara ini diselenggarakan di tengah bergolaknya berbagai persoalan yang bisa memengaruhi peta politik kekuasaan di Tanah Air seperti kasus Bank Century, masalah korupsi yang merepotkan Partai Demokrat, dan sebagainya.
Meski demikian,acara yang digelar PPP kali ini bisa bersifat lebih dari sekadar peristiwa biasa. Banyak yang berharap musyawarah nasional kali ini menjadi sesuatu yang melampaui rutinitas agenda tahunan partai. Harapan itu didorong oleh realitas tantangan yang dihadapi PPP, yang memerlukan perhatian ekstraserius dan segera.
Sekaranglah saatnya partai ini berbenah diri secara lebih bermakna, melakukan konsolidasi serius agar mampu menyongsong Pemilu 2014 dengan sedikit lebih percaya diri. Para pemimpin dan aktivis PPP hendaknya bisa lebih memahami dan bertanggung jawab atas jati diri dan identitas partai mereka beserta kenyataan sosial-politik yang melingkunginya.
Pertemuan nasional PPP kali ini menjadi lebih urgen ketika partai-partai politik dihadapkan pada kenyataan bahwa kepercayaan publik terhadap mereka menurun, popularitas melorot, dan secara keseluruhan kondisi politik memburuk. Dalam konteks ini, tidak mudah langkah yang harus diambil PPP. Untuk dapat bertahan, memperkuat,dan memperluas basis dukungan, para pengurusnya memerlukan kerja keras yang sungguhsungguh.
Dengan demikian, para pendukung dan masyarakat luas bakal (kembali) percaya bahwa memberikan dukungan kepada PPP merupakan langkah awal untuk mewujudkan agregasi dan artikulasi kepentingan sosial,ekonomi, dan politik mereka. Tantangan riil yang dihadapi PPP pada dasarnya bersifat klasik. Ini dalam artian bahwa tidak ada hal yang bisa dibilang baru yang menghalangi partai ini untuk memperoleh dukungan elektoral yang lebih luas.
Sejak partai ini didirikan pada Januari 1973, tantangan yang dihadapinya berkisar pada tiga hal utama: Islam sebagai asas partai; penerjemahan Islam dalam agenda dan program partai; dan kepemimpinan yang bersedia dan mampu membawa partai ke arus utama atau tengah politik Indonesia. Tiga tantangan pokok ini sampai kini belum terselesaikan dengan baik. Dalam perjalanannya yang hampir empat puluh tahun itu, PPP masih berkutat untuk menuntaskannya.
Representasi Islam
Bagaimanapun harus diakui bahwa Islam merupakan faktor yang teramat penting bagi PPP. Tanpa Islam,PPP tidak bakal ada. Berbeda dengan PKS, misalnya, yang juga menjadikan Islam sebagai asas gerakannya,PPP mewarisi Islam sebagai asas politik bukan hanya dalam konteks politik, melainkan juga dalam konteks sejarah panjang yang menyertai—atau bahkan menyebabkan—kelahirannya.
Secara historis, PPP merupakan representasi kekuatan politik Islam.Partai ini adalah gabungan dari kekuatankekuatan politik Islam Indonesia seperti Masyumi,NU, PSII, dan Perti. Inilah empat partai Islam yang di tahun-tahun pertama kemerdekaan Indonesia bersatu dalam Masyumi.
Partai-partai inilah yang menorehkan garis dan warna politik Islam sampai mereka dibatasi geraknya oleh penguasa Orde Baru, dan dalam banyak hal menyisakan pengaruh dan inspirasi pada baik partai Islam (PKS, PBB, PBR) maupun partai berbasis massa Muslim (PKB, PAN) pascareformasi 1998.
Dengan warisan kesejarahan yang panjang itu, PPP-lah yang senantiasa dipersepsikan sebagai partai Islam sehingga paling dituntut untuk menjelaskan arti penting Islam sebagai asas atau ideologi partai. Di tengah rasa waswas yang naik-turun pada sebagian komunitas politik Indonesia mengenai hubungan antara Islam dan politik, partai berlambang Kakbah inilah yang paling disorot untuk memberikan kepastian bahwa keislaman pemimpin dan anggotanya tidak bersifat diskordan terhadap mainstream politik Nusantara.
Meskipun ada saja kekuatankekuatan yang ingin membawa politik Indonesia ke kanan atau ke kiri,garis utama politik kita berada di tengah. Hal ini pernah terwacanakan dengan amat baik dalam frase “Indonesia bukan negara agama, melainkan juga bukan negara sekuler.” Dalam perspektif seperti ini, secara ideologis asas Islam dalam politik yang dianut PPP semestinya diletakkan dalam konteks keterkaitan antara agama dan politik sebagaimana diutarakan di atas.
Sudah sewajarnya jika asas Islam PPP diorientasikan dalam kerangka politik tengah yang menjadi arus utama dinamika politik Indonesia. Dengan kata lain, ideologi Islam PPP, menurut istilah Don Emmerson, “tidak diarahkan ke Mekkah.” Jika pandangan ideologis ini telah terselesaikan, tantangan kedua partai dengan sendirinya juga akan teratasi. Dengan pemahaman ideologis seperti itu, agenda keislaman partai pastinya tidak bersifat diskordan dan/atau partisan.
Benar bahwa sebagai partai Islam,PPP mempunyai kewajiban untuk mengagregasikan dan mengartikulasikan kepentingan pendukungnya yang semuanya beragama Islam.Akan tetapi, perwujudan dan artikulasi tersebut sudah semestinya bersifat inklusif.
Kepemimpinan
Tinggallah sekarang soal kepemimpinan.Dalam sejarah politik Indonesia,kepemimpinan (politik) Islam senantiasa beberapa langkah di belakang kepemimpinan non-Islam. Soekarno dan Hatta,dibanding Mohammad Natsir dan Wahid Hasyim, lebih berhasil memenangkan hati dan jiwa sebagian besar masyarakat Indonesia.
Kenyataan inilah yang antara lain menjelaskan mengapa kekuatan politik Islam pada Pemilu 1955 hanya mampu memperoleh dukungan 43,5%. Selebihnya, suara diberikan kepada kekuatan politik non- Islam. Pada masa Orde Baru,dapat dikatakan, tidak ada lagi pemimpin politik Islam. PPP sebagai satu-satu wakil politik Islam senantiasa mengalami intervensi dari pemerintah ketika menentukan siapa pemimpin yang akan mereka pilih.
Pasca 1998 kebebasan untuk menentukan pilihan tersedia. Akan tetapi, lagi-lagi, para pemimpin Islam tidak mampu berfungsi sebagai magnet kepemimpinan nasional. Ketika transisi demokrasi di Indonesia telah terkonsolidasikan, baik pada Pemilu Presiden 2004 maupun pada 2009,Susilo Bambang Yudhoyono-lah yang tampil sebagai magnet kepemimpinan nasional.
Bagaikan de javu, sejarah politik kepemimpinan Indonesia berulang lagi! Dalam konteks seperti ini, PPP membutuhkan kepemimpinan, baik pada tingkat pusat maupun daerah, yang mampu berfungsi sebagai magnet.Kepemimpinan yang ada hendaknya ditransformasikan sebagai institusi untuk mengisi kebutuhan yang diperlukan. Persoalannya, hal seperti ini tidak bisa diwujudkan seketika.
Berbeda dengan kekuatan politik lain yang tidak memiliki pengalaman ideologis dan politis sebanding, bagi PPP—atau PDI Perjuangan— outsourcing jelas bukan pilihan yang tepat untuk mewujudkan magnet kepemimpinan partai Islam. Jika soal magnet kepemimpinan politik Islam ini tidak bisa diwujudkan dalam waktu dekat, yang diperlukan adalah sebuah kepemimpinan yang bersifat tidak personal.
Dalam hal ini PPP dituntut untuk mengekspresikan kepemimpinan yang bersedia membawa partai pada garis politik yang menjadi arus utama atau tengah masyarakat. Intinya adalah kepemimpinan yang meletakkan Islam dalam konteks kebutuhan masyarakat Indonesia. Apakah tiga preskripsi di atas cukup untuk menjadikan PPP sebagai tenda besar bagi masyarakat (politik) Indonesia? Jawabannya barangkali tidak!
Akan tetapi, tiga hal di atas merupakan prasyarat yang diperlukan—meskipun tidak cukup. Faktor kecukupan hendaknya dicari dalam kerangka partai sebagai kekuatan politik. Dengan kata lain, ketiga persyaratan yang diperlukan di atas sewajarnya dilengkapi dengan langkah-langkah politik sesuai real politic yang dihadapi PPP.
Seringkali dunia politik memiliki logika tersendiri— yang sampai tingkat tertentu berbeda dengan nilainilai keagamaan yang dipahami PPP sendiri. Karena itu, kepemimpinan yang terampil menjadi sangat diperlukan.Terampil di dalam mengelola situasi politik yang dihadapi, tanpa harus mengganggu jati diri dan identitas partai sebagai kekuatan politik Islam. Dalam konteks inilah sebenarnya masa depan politik Islam diperlukan.
Mukernas kali ini tidak cukup hanya diselenggarakan dengan agenda yang biasa. Diberitakan, forum ini juga akan membicarakan soal yang berkaitan sirkulasi elite nasional 2014. Mukernas juga bakal menuntaskan masalah pembentukan kader partai yang jutaan jumlahnya. Saya tidak tahu apakah halhal di atas menjawab persoalan esensial yang dihadapi PPP— dan partai-partai lain.
Satu hal yang jelas adalah bahwa peneguhan kembali akan jati diri dan watak partai mulai menguat. Demikian juga keinginan untuk menarik kembali pendukung dan simpatisan partai yang sejak 1998 bernaung di tenda (politik) yang lain. Dengan memilih pesantren sebagai tempat penyelenggaraan mukernas, PPP ingin membawa kembali pendukung lama dan utamanya.
Ketua Umum PPP Suryadharma Ali sudah melakukan hal ini untuk beberapa lama. Kita tinggal menunggu apakah langkah-langkah ini dapat dipelihara dengan baik sehingga membuahkan dukungan yang nyata bagi PPP pada 2014. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar