Simbolisme
dalam Korupsi
Indra Tranggono, PEMERHATI KEBUDAYAAN
Sumber
: KOMPAS, 1
Februari 2012
"Ketua Besar” dan ”Bos Besar” sama- sama
menyukai ”apel malang” dan ”apel washington” segar. Sesaji itu harus disediakan
jika ingin urusan lancar.
Sesaji atau sajen hanya dikenal dalam
masyarakat yang memercayai mistikisme, saat makrokosmos ini dikuasai kekuatan
besar tak tampak, semacam danyang (makhluk penunggu) dan kaum demit lain.
Simbolisme tak hanya dikenal dalam seni,
tetapi juga korupsi. ”apel malang” dan ”apel washington” pada kalimat di atas
tidak hadir dalam makna denotatif, tetapi konotatif-simbolis, yakni uang suap
dalam bentuk rupiah dan dollar Amerika Serikat. Betapa ”cerdas” aktor-aktor
korupsi ini secara semiotik. Mereka mampu menghadirkan praktik korupsi dalam
realitas simbolis.
Simbol merupakan kata, tanda, dan isyarat
yang digunakan untuk mewakili sesuatu yang lain: arti, kualitas, abstraksi,
gagasan, dan obyek (Lorens Bagus, 1996). Simbolisme adalah pencapaian tertinggi
kebudayaan: sublim dalam makna, gaya, dan pesan.
Simbolisme dalam korupsi, tak ayal membuat
kita cemas. Pasalnya, para aktor korupsi telah mengadopsi khazanah budaya untuk
mempercanggih praktik korupsi. Bukankah kejahatan paling sempurna adalah
kejahatan yang mampu memanipulasi nilai dan makna yang selama ini merupakan
wilayah garapan kebudayaan?
Kejahatan
Sistemis
Ironis dan menakutkan jika nilai dan makna
dimonopoli aksi kejahatan. Kejahatan yang berlangsung sistemis (didukung
kekuasaan, aparatus, dan uang) memiliki potensi besar untuk menjungkirbalikkan
nilai dan makna. Dengan rasionalisasinya, kejahatan bisa mengubah cara pandang
terhadap nilai dan makna. Korupsi bisa dimaknai sebagai ”perbuatan wajar dan
biasa” ketika dunia nilai dan makna dikuasai para koruptor.
Kita jadi ingat sebuah adagium: peradaban
lemah akan dilibas oleh peradaban kuat. Kebenaran tak lagi bergantung pada
nilai yang dikandungnya, melainkan pada kekuasaan penopangnya. Logikanya, jika
”peradaban” para koruptor kuat, ”kebenaran” yang dikonstruksi mereka akan
mendominasi kehidupan. Korupsi pun dikonstruksi menjadi ”kebenaran” melalui
berbagai cara: penaklukan hukum, manipulasi nilai, makna, dan realitas. Para
koruptor pun jadi komunitas kuat yang memborong kebenaran. Mereka menghadirkan
diri menjadi ”manusia terhormat” melalui pembentukan citra.
Korupsi tak hanya berkaitan dengan perampokan
”apel malang” atau ”apel washington”. Korupsi merupakan kejahatan yang
melampaui etika, moral, kepantasan, kemanusiaan, dan peradaban (politik,
ekonomi, sosial, dan budaya). Sifat korupsi lebih dari sekadar bengis dalam
melakukan dehumanisasi.
Watak korupsi juga lebih dari sekadar brutal
dalam merusak negara-bangsa. Kata-kata bengis, rakus, brutal, dan jahat tak
lagi mampu menampung makna korupsi. Kata-kata itu kini terasa terlalu lunak dan
sopan untuk menyebut sifat korupsi. Karena itu, para ahli bahasa perlu
merumuskan makna dan kata baru atas kejahatan korupsi.
Tikus
Lebih Mulia
Begitu juga dengan simbol tikus untuk
koruptor. Binatang pengerat yang lincah itu terlalu remeh sebagai simbol
perampok uang negara. Perilaku tikus jauh lebih sederhana dibandingkan ulah
koruptor. Tikus hanya mencuri secuil kelapa, tetapi koruptor bisa merampok
kebun kelapa berjuta-juta hektar.
Tikus tidak doyan minum minyak tanah, bensin,
gas, timah, pasir besi, dan emas, sedangkan koruptor sangat doyan melahapnya,
bahkan dari tambangnya. Tikus juga tidak pernah mencuri uang negara karena
tikus memang tak punya negara dan tidak pernah mengenal uang. Tikus juga tidak
pernah menyengsarakan rakyatnya karena tikus tidak pernah jadi bagian dari
lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Tikus terlalu ”bermoral” untuk semua itu!
Jadi, tikus terlalu ”mulia” menjadi simbol koruptor. Karena itu, para ahli
makna, ahli semiotika, sudah saatnya mencari simbol baru untuk koruptor.
Di samping tindakan yuridis, hal penting dalam
pemberantasan korupsi adalah pencegahan melalui nilai-nilai yang menjadi
orientasi pikiran dan tindakan. Kita membutuhkan revolusi simbolis dan semantik
untuk melawan kaum koruptor yang mengangkangi negeri ini.
Revolusi juga dibutuhkan untuk menandingi
budaya simbolis yang kini diam-diam dibangun para koruptor. Revolusi simbolis
dan semantik itu bisa terkait dengan bahasa/kata/makna dan pencitraan. Mari
kita hukum koruptor secara simbolis dan semantik agar mereka tidak memonopoli
nilai, simbol, dan makna serta menjadikan kejahatan mereka ”kebenaran”.
Sangat berbahaya jika kebenaran bukan
ditentukan oleh etika, moral, nilai, norma, dan hukum, melainkan oleh kejahatan
yang sistematis. Kita tak hanya membutuhkan Komisi Pemberantasan Korupsi,
tetapi juga Komisi Penyelamatan Kebenaran Nilai (KPKN). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar