SBY
dan Perspektif Kebajikan
Jannus T.H. Siahaan, ANALIS SOSIAL KEMASYARAKATAN, TINGGAL DI PINGGIRAN BOGOR
Sumber
: KOMPAS, 1
Februari 2012
Dalam strata kepemimpinan nasional, Susilo
Bambang Yudhoyono berada di tingkat teratas. Ia presiden, kepala negara, dan
kepala pemerintahan sekaligus. Bahkan karena jabatan itu, beberapa jabatan
informal dan nonformal melekat kepadanya.
Jabatan-jabatan itu telah membuat Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) hadir hampir pada setiap momen dalam kehidupan rakyat.
Itu sebabnya, sosoknya gampang dikenal. Tentu dengan bentuk pengenalan yang
berbeda pada setiap orang. Bergantung pada beragamnya perspektif yang melekat
pada diri SBY, seberagam label yang ia bawa selama mengurus negeri ini.
Sebagai pemimpin, SBY harus pandai berbagi
empati dengan semua lapisan masyarakat tanpa kecuali. Ia juga harus sukarela menyelami
bagian terdalam samudra kehidupan rakyat karena di pundaknya diletakkan amanat
mulia sebagai representasi kehadiran misi Tuhan di tengah- tengah kehidupan
ini.
Karena tanggung jawabnya amatlah besar di
mata manusia dan di mata Tuhan, ia harus selalu berada dalam posisi siaga
memikul dan mengambil alih segenap tugas dan wewenang yang secara sadar telah
ia delegasikan kepada para pembantunya, termasuk kepada Polri dan TNI.
Beberapa waktu lalu, Presiden menunjukkan
betapa ia memang telah membuktikan hal itu. Empati yang tinggi ia berikan
kepada kepolisian ketika, menurut dia, kinerja aparat penegak hukum ini berada
di ujung tanduk sebab disorot secara kritis oleh masyarakat meskipun para
pemangku keamanan dan ketertiban umum ini telah melakukan pencapaian tertentu
dalam tugas.
Terhadap mereka, SBY menegaskan posisinya
yang senasib. ”Kekurangan Polri memang demikian kelazimannya. Saya berharap tak
perlu Saudara terlalu gundah. Saya pun mengalami,” kata SBY saat membuka Rapim
Polri di Mabes Polri.
Tak lama berselang, SBY kembali memberi
pengarahan pada acara rapat pemimpin TNI/Polri 2012 di Auditorium PTIK,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan: ”Biasanya untuk jajaran TNI dan Polri, kalau
ada kesalahan dan kekurangan, itu segera mencuat dan beritanya beredar ke
mana-mana. Tetapi, kalau ada prestasi dan capaian-capaian baik, suka nyaris tak
terdengar. Tetapi, sebagaimana yang saya sampaikan kemarin di Kemayoran, tak
perlu Saudara gundah.”
Beginilah kira-kira perspektif SBY tentang
kebajikan yang lahir dari kebaikan sebuah pranata atau lembaga tertentu. Negara
ini dibentuk dengan tujuan demi tercapainya kemaslahatan bersama. Untuk
kepentingan itu, secara nasional bangsa ini memiliki konsensus dalam menentukan
peta masa depan dan dalam memilih para pemimpin untuk diserahi amanat
melaksanakan konsensus dimaksud.
Konsensus itu bisa berupa garis-garis besar
haluan negara atau rencana pembangunan berjangka pendek, menengah, dan panjang.
Para aparatur negara harus berjalan di atas garis-garis yang sudah disepakati
bersama. Garis- garis itu juga berfungsi sebagai rambu agar penyelenggaraan
negara tak meleset.
Konsensus serupa biasa dibuat sekelompok
orang untuk tujuan tertentu dengan skala dan jangka waktu tertentu pula.
Anggota kelompok harus berkomitmen menegakkan misi bersama untuk tujuan
pembentukan kelompok itu.
”Summum
Bonum”
Jika ada anggota yang melaksanakan fungsinya
sebagaimana disepakati dan ditetapkan, memang begitulah yang seharusnya dia
lakukan. Pada titik itu, ia baru sebatas menegakkan eksistensi kelompok. Untuk
tujuan lahirnya summum bonum, masih diperlukan komitmen lain bagi terciptanya
kebajikan untuk bersama. Kebajikan dalam makna yang sangat luas, yang memiliki
daya jangkau dari langit tertinggi ke ceruk terbawah bumi.
Kalau aparat kepolisian mengayomi dan
melayani masyarakat tanpa pretensi apa pun sebagaimana telah digariskan, memang
begitulah yang seharusnya terjadi. Begitu pula jika mereka melakukan penyidikan
suatu kasus sesuai dengan hukum beracara, memberantas aksi premanisme, membabat
habis para penjahat, perang mati-matian menghadapi para koruptor, menjadi
tempat berlindung masyarakat dari berbagai ancaman, dan memberi rasa aman.
Itulah beberapa di antara garis-garis yang dibuat untuk terciptanya keamanan
umum yang diamanatkan oleh undang-undang kepada kepolisian.
Lalu, apakah yang berjalan sesuai dengan
ketetapan harus disebut prestasi? Prestasi adalah sebuah capaian yang berada di
atas rata-rata garis yang sudah dipancangkan. Seorang pelajar yang mampu naik
kelas akan di- anggap biasa, tetapi namanya akan disebut sebagai satu di antara
the best ten kalau ia mencapai nilai di atas rata-rata alias di atas garis yang
ditentukan. Prestasinya akan kian memunculkan kebajikan jika kepintarannya
menular kepada kawan-kawannya di sekolah dan menjadi sumber hikmah bagi
adik-adiknya di rumah untuk ikut berprestasi.
Jika seorang penganut agama tertentu
menjalankan perintah tertentu dalam agamanya, memang begitulah komitmennya
terhadap agama. Namun, agama bukan semata-mata pranata. Demikianlah,
pemerintahan sebagai roda penggerak negara juga bukan semata-mata pranata.
Di sinilah pentingnya kita membuat dan terus
mengembangkan sudut pandang atau perspektif tentang kebajikan hidup. Kalau
perspektifnya adalah berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan sesuai rencana
pembangunan berjangka pendek, menengah, dan panjang, memang demikianlah target
capaian yang telah dibuat presiden sebagai kepala pemerintahan. Jika dengan
modal tertentu seseorang melakukan kegiatan bisnis, lalu di ujung usaha modal
kembali sebagaimana jumlah asalnya, tentu ia belum dapat dikatakan beruntung.
Untung adalah kelebihan dari modal dan itulah yang kita sebut dengan kebajikan.
Balik
Modal
Namun, seseorang yang balik modal saja sudah
dianggap selamat jika kita menggunakan perspektif tertentu. Seperti perspektif
yang digunakan SBY saat menilai dan membesarkan hati anak buahnya di
kepolisian. SBY menyebut pelaksanaan SEA Games yang aman sebagai prestasi, yang
ia nilai kurang diapresiasi semestinya. Padahal, penyelenggaraan SEA Games yang
aman adalah sebuah keniscayaan dari tugas kepolisian.
Cukuplah disampaikan ”salut” karena tak
melakukan kesalahan dalam melaksanakan tugas pengamanan. Tak perlu dengan
pembelaan berlebihan sehingga membuka ruang melupakan kesalahan yang terjadi di
bagian lain dari banyak tugas yang melekat pada lembaga kepolisian.
Kasus pencurian sandal jepit di Sulawesi
Tengah, dua remaja yang mati tergantung di tahanan Polsek Sijunjung, aksi koboi
anggota Brimob yang menyebabkan tewasnya warga di Bima (NTB), kasus pencurian
tandan pisang, serangkaian aksi kekerasan di Papua dan Aceh, atau kasus
berkelas nasional, seperti dugaan adanya rekening gendut, hanyalah beberapa di
antara begitu banyak kasus yang menyebabkan kepolisian kita bukan semata-mata
balik modal, melainkan justru menghanguskan modal yang diberikan rakyat.
Kebajikan itu berada di atas modal. Bukan
karena ia meluap ke lingkungan sekitar sebab berlebih, tetapi ia
selalu siap dituangkan tanpa menunggu isi harus memenuhi gelas dan
cawan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar