Paradoks
Investment Grade
Arif Budimanta, ANGGOTA
DPR RI FPDI PERJUANGAN, KOMISI KEUANGAN DAN PERBANKAN; KOORDINATOR KAUKUS
EKONOMI KONSTITUSI
Sumber
: REPUBLIKA, 4
Februari 2012
“Peringkat
ini rawan de ngan krisis, sedikit saja terjadi persoalan ekonomi, dapat jatuh
ke kategori peringkat spekulatif.”
Investment
Grade atau peringkat investasi dalam konteks pengelolaan ke uangan negara adalah
suatu status atau kategori pemeringkatan yang di buat oleh suatu lembaga.
Status ini berguna untuk memberikan gambaran tentang keuntungan dan risiko
mengenai kondisi suratsurat berharga (surat-surat utang/ pengakuan utang/bond/obligasi)
yang dikeluarkan oleh suatu negara atas dasar perencanaan, pengelolaan, dan
sistem per ekonomian/keuangan negara itu.
Peringkat
investasi secara umum dikategorikan atas layak investasi (Investment Grade) dan
tidak layak (Non-Investment Grade). Kategori tersebut disimbolkan dengan huruf
A hingga C. Makin mendekati A, maka menandakan bahwa investasi tersebut makin
prima dan layak.
Paradigma
peringkat investasi adalah keuntungan. Investasi sendiri menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia diartikan sebagai pena naman uang atau modal di suatu
perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh keuntungan. Investasi menyangkut
investor (pemilik uang) sebagai pembeli dan pemilik proyek/perusahaan sebagai
penjual.
Pada
sisi pembeli, dia mempergunakan modalnya untuk mendapatkan keuntungan atau
imbal hasil dari penjual. Pada sisi penjual, dia mempergunakan/menjaminkan
asetnya untuk memperoleh modal kerja untuk memproduksi sesuatu yang
menghasilkan imbal hasil lebih tinggi dari yang diberikannya kepada
penjual/investor.
Semakin
produktif, stabil, dan dominan kekuatan keuangan sua tu negara, maka peringkat
inves tasinya akan semakin membaik. Karena—persoalan produktivitas, stabilitas,
dan kekuatan sistem ke uangan—memberikan jaminan dan kepercayaan kepada para pe
milik dana (investor) untuk membeli surat-surat berharga yang di terbitkan oleh
suatu negara. Atas dasar itu, biasanya investor membeli surat-surat berharga de
ngan harapan mendapatkan modalnya kembali plus imbal hasilnya.
Lembaga
pemeringkat yang ternama di dunia yaitu, (1) Fitch merupakan bagian dari Fitch
Grup yang didirikan oleh John Knowles Fitch pada 1913 dan berkantor pusat di
Paris. (2) Moodys merupakan bagian dari Moodys Corporation yang didirikan oleh
Jhon Moody pada 1909 dan berkantor pusat di New York. (3) Standars & Poors
merupakan anak perusahaan dari Mc Graw Hill Companies, berdiri pada 1941 dan
berkantor pusat di New York.
Anomali
Ketika
krisis ekonomi melanda, Indonesia harus merelakan kehilangan peringkat layak
investasi. Saat ini, lembaga pemeringkat yang sejatinya adalah korporasi,
seperti Moody's Investor Service, Fitch Ratings, serta Japan Credit Rating yang
mengembalikan peringkat layak investasi tersebut ke Indonesia.
Meningkatnya
peringkat menjadi Investment Grade atau peringkat layak investasi memberikan
sinyal bahwa risiko investasi di Indonesia semakin kecil. Sehingga, seyogianya
imbal hasil surat berharga negara akan semakin kecil dengan menurunnya default
risk premium. Permintaan terhadap obligasi negara pun akan mening kat. Hal ini
juga memberikan dampak positif terhadap kinerja pasar modal seiring dengan ber
gairahnya aliran modal yang masuk karena meningkatnya kepercayaan investor,
baik dari dalam negeri maupun asing.
Seiring
peningkatan peringkat utang tersebut, tentu saja diharapkan dapat memberikan
dampak positif terhadap sektor riil yang lebih bersinggungan dengan penciptaan
lapangan kerja dan pengu rangan tingkat kemiskinan di Indonesia. Apalagi, hal
ini mening katkan peluang Indonesia untuk memperoleh dana jangka panjang yang
murah sehingga dapat dimanfaatkan dalam pembangunan infrastruktur.
Peringkat
Indonesia menurut lembaga pemeringkat Fitch, walaupun layak investasi (BBB-),
tapi kelasnya tidaklah sama seperti peringkat yang diraih Singapura (triple A),
Malaysia (A-), ataupun Thailand (BBB). Peringkat yang diberikan perusahaan
Moody’s ke Indonesia Baa3 sebenarnya adalah peringkat paling bawah kategori
layak investasi.
Ciri
dari kategori ini adalah setiap obligasi atau surat utang yang diterbitkan
negara memiliki risiko moderat dan memiliki karakteristik spekulatif. Artinya,
menarik untuk investasi, tetapi memiliki risiko yang tinggi bagi investor yang
menanamkan modalnya. Peringkat ini rawan dengan krisis, sedikit saja terjadi
persoalan ekonomi, dapat jatuh ke kategori peringkat spekulatif.
Dalam
keterangannya ketika pemerintah mengumumkan bahwa Fitch telah menaikkan status
Indonesia ke beringkat BBB-, pemerintah menjelaskan bahwa salah satu yang
menyebabkan kenaikan peringkat ini adalah rasio utang yang rendah dengan tren
yang menurun. Pernyataan tersebut sebenarnya anomali karena beberapa negara
Eropa yang rasio utang dengan PDB-nya sangat tinggi dibanding Indonesia,
seperti Italia, Spanyol, bahkan Amerika sampai saat ini peringkatnya jauh lebih
baik dari Indonesia.
Yang
menarik adalah imbal hasil (bunga yang diberikan) terhadap obligasi yang
diterbitkan oleh negara-negara tersebut jauh lebih rendah dari kita. Harusnya,
kalau memang layak investasi dengan pertimbangan kebijakan ekonomi yang
hati-hati, stabil, dan berkelanjutan, kita lebih memiliki keberanian untuk
menurunkan imbal hasil dari surat utang negara yang diterbitkan.
Tetapi,
untuk menurunkan tingkat imbal hasil terhadap surat utang ini, pemerintah belum
percaya diri dan akan terus memakai patokan UU No 22 Tahun 2011 tentang APBN
2012. Aturan itu mengasumsikan suku bunga terhadap surat berharga negara untuk
jangka waktu tiga bulan berada pada kisaran enam persen.
Setidaknya,
ada dua hal yang menjadi dasar dari pemberian imbal hasil yang tinggi tersebut
karena pemerintah khawatir defisit APBN tidak tertutupi. Jika Surat Utang
Negara tidak dijual dengan imbal hasil atraktif, maka investor tidak akan
berminat. Selain itu, produktivitas dari Kebijakan Fiskal yang ditunjukkan
dengan perbaikan kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat sampai saat
ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Paradoks
Utang
Pemerintah Indonesia saat ini telah mencapai lebih dari Rp 1.800 triliun dengan
beban cicilan bunga utang sebesar Rp 122 triliun dari total APBN 2012 sebesar
Rp 1.435 triliun. Beban cicilan bunga utang ini meningkat dua kali lipat dalam
lima tahun terakhir.
Penerbitan
surat utang baru yang dilakukan pemerintah dilandasi oleh UU APBN. Dalam Pasal
23 UUD 1945 dikatakan bahwa APBN harus dilaksanakan secara terbuka dan
bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya, dalam
perspektif konstitusi, harusnya kita dapat memaknai dan merasakan bahwa
seharusnya capaian Investment Grade itu diikuti dengan perbaikan kemakmuran
rakyat. Tetapi, kenyataannya, beberapa indikator global menunjukkan peringkat
Indonesia yang malah merosot pada 2012, seperti Doing Business Indonesia turun
tiga peringkat dari 126 pada 2011 menjadi 129 pada 2012.
Secara
umum, penyebab masih rendahnya peringkat doing business di Indonesia masih
disebabkan oleh hal yang sama, yaitu masalah birokrasi dan infrastruktur. Salah
satunya ditandai dengan menurunnya peringkat untuk mendapat sambungan listrik
dari yang sebelumnya 158 pada 2011 menjadi 161 pada 2012. Peringkat global
dalam mendapatkan aliran listrik di Indonesia jauh lebih buruk dari Kamboja yang
mendapat peringkat 138 di tingkat global, padahal peringkat investasi kamboja
ada di bawah kita.
Itulah paradoks Investment Grade yang saat
ini kita hadapi. Kita harus cepat melakukan evaluasi dan merestrukturisasi
kebijakan ekonomi kita. Sehingga, kekhawatiran yang terjadi saat ini tentang
menguatnya fenomena decoupling, yakni semakin terjadi pemisahan antara arus
finansial dan arus barang, dapat kita hindari. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar