Sabtu, 04 Februari 2012

Membumikan Misi dan Elan Profetik Nabi


Membumikan Misi dan Elan Profetik Nabi
Maksun, DOSEN FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO, SEMARANG
Sumber : KORAN TEMPO, 4 Februari 2012


Bila kita tengok perilaku keagamaan kita beberapa waktu ter akhir dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia, semangat penyejukan dan perdamaian yang dibawa agama tampak begitu kering. Hampir pasti, semangat tersebut meleleh karena perilaku sosial-politik sejak merdeka telah meracuni agama itu sendiri. Agama dikerangkeng dalam aturan-aturan yang monolitik, monoton, dan berdampak tidak sehat.

Aneh bin ajaib, perilaku orang beragama justru buas terhadap sesamanya. Norma kesopanan telah pudar dalam sanubari bangsa ini. Seolah-olah kita telah kehilangan jati diri sebagai orang beragama, sebagai bangsa beragama, dan sebagai makhluk beriman. Karakter keimanan sebagai suatu substansi yang harus diraih gagal kita bangun. Keimanan bukan untuk menyayangi makhluk lainnya, tapi justru untuk menyerang dan bahkan membunuh dengan segala macam cara.

Tidaklah salah jika dikatakan bahwa agama kini seolah mengalami semacam krisis relevansi doktrinal. Artinya, agama kurang mampu berperan secara aktif dan diskursif dalam merespons realitas-realitas problematik, tapi hanya menjadi atribut kesalehan individual dan tidak lagi menjadi suatu kekuatan yang mendorong perubahan serta peningkatan kualitas empiris obyektif umat manusia. Lebih dari itu, agama juga acap kali menjadi trompet terselubung bagi kebijakan penguasa dan alat legitimasi bagi kepentingan politik sesaat.

Nah, Islam yang diajarkan Muhammad SAW bukan sebuah gugusan dogma yang bersifat abstrak, normatif, dan skolastik, yang berbicara tentang sistem kepercayaan (iman-tauhid) serta sistem nilai saja. Misi dan elan profetik Nabi mencakup humanisasi (apresiasi kemanusiaan) dan transendensi (apresiasi ketuhanan). Humanisasi dipahami sebagai upaya pembeba-san dari kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, kekerasan, ketidakadilan, dan determinisme teknologi. Adapun transendensi dimengerti sebagai upaya memberi arah pada peradaban dan spirituali-tas kehidupan, serta membimbing manusia dalam menemukan fitrahnya.

Persoalannya, langkah-langkah apa yang mesti dilakukan agar misi dan elan profetik Nabi itu benar-benar terbumikan, sehingga agama (Islam) bisa menjadi part of solution bagi beragam problem kemanusiaan dewasa ini.

Rekonstruksi Tauhid

Menarik dicermati konsep tauhid yang diintrodusir Hasan Hanafi bahwa tauhid adalah suatu pandangan dunia (jaringan relasional Islam), asal-muasal seluruh pengetahuan, dan nilai inti dari seluruh implikasi doktrinal Islam. Karena itu, menerjemahkan tauhid semata-mata sebagai “keesaan Tuhan“, demikian kata Hasan Hanafi, bukan hanya perspektif yang parsial-atomistik, tapi juga salah, dan itu sebabnya harus direkonstruksi.

Menurut Hasan Hanafi, tauhid hendaklah dipahami sebagai: (1) keesaan Tuhan, yang mengajarkan bahwa yang patut dan wajib disembah hanyalah Allah semata; (2) keesaan manusia, yang mengajarkan egalitarianisme doktrin dengan menempatkan manusia dalam kesamaan dan menolak segala bentuk diskriminasi berdasarkan ras, gender, warna kulit, kelas, garis keturunan, kekayaan, serta kekuasaan; dan (3) keesaan kehidupan, yang mengajarkan bahwa tidak ada pemisahan antara aspek keagamaan dan keduniawian, spiritual dan material, serta sosial dan individual.

Dengan demikian, meskipun tauhid merupakan konsep teosentrik, juga bersifat humanistik, dalam arti memiliki keterarahan dan arus balik kepada manusia.
Pandangan dunia tauhid inilah yang sejatinya menjadi landasan teologis dan historis bagi gerakan para nabi dalam mendo rong perubahan sosial, terlebih dalam dimensi keyakinan serta moralitas. Ibrahim AS adalah cermin revolusi tauhid melawan berhala-berhala. Musa AS merefleksikan transformasi umat dari belenggu otoritarianisme. Isa AS merupakan cermin revolusi spiritual atas dominasi sekularisme dan materialisme. Muhammad SAW adalah teladan bagi kaum papa, hamba sahaya, dan komunitas tertindas.

Bahan refleksi yang dapat dipetik dari sejarah ini adalah tidak dikenalnya distingsi antara humanisasi dan transendensi dalam keberagamaan. Pemisahan salah satu di antara keduanya bukan hanya bersifat parsial dan ad hoc, tapi juga deviatif. Artinya, humanisasi tanpa transendensi bagaikan fatamorgana (QS 24: 39). Demikian pula transendensi tanpa humanisasi adalah absurd dalam pandangan Tuhan (QS 107: 7).

Part of Solution

Untuk menjadikan agama (Islam) sebagai part of solution, membumikan misi dan elan profetik Nabi dari posisi idealis-skolastik ke realitas konkret serta praksis menjadi hal niscaya. Dalam konteks ini, paling tidak ada tiga langkah yang harus dilakukan.

Pertama, membersihkan agama dari struktur dan tekanan vested interest. Artinya, kehadiran agama, yang pada awalnya jelas untuk kesejahteraan manusia (com mon goods), serta membebaskan manusia dari segala macam bentuk pembudakan, penindasan, pemiskinan, dan seterusnya, harus dijauhkan dari kepentingan politikkekuasaan. Sebab, jika agama diracuni oleh kepentingan-kepentingan kelompok, apalagi direduksi menjadi alat legitimasi politik, agama kemudian hanya akan menciptakan bad prejudice, kebencian-kebencian sektarian, dan pasti agama akan kehilangan rohnya sebagai pembawa rahmat serta penyebar damai (rahmatan lil’alamin).

Kedua, keharusan membaca dan mereinterpretasikan ajaran-ajaran agama terkait dengan persoalan kemanusiaan oleh para pemeluknya secara arif serta jujur. Dalam konteks ini, Hans Kung pernah mengatakan bahwa agama yang benar tentu tak akan bertentangan dengan kemanusiaan. Agama selalu menghormati dan mempertahankan kemanusiaan. Marcela A. Boisard juga mengatakan bahwa agama mengajarkan nilai-nilai kesabaran (ketahanan), kegigihan bekerja, dan kebesaran jiwa. Bukan hanya Islam, agama-agama Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu pun lahir untuk memanusiawikan manusia (to humanize human being).

Ketiga, membentuk kesadaran tentang pentingnya transformasi nilai ajaran agama dalam kerangka kehidupan sosialpraksis. Dalam konteks ini, pemahaman agama yang selama ini lebih terkesan institusional dan berhenti pada tataran belief, ritual, atau sekadar intellectual, harus diganti dengan pemahaman agama yang fungsional dan substantif. Dari sinilah kemudian diharapkan agama menjadi pengalaman hidup pribadi, yang kemudian berdampak sosial yang dalam dan luas dalam berbagai dimensi kehidupan serta berdampak pada integritas kepribadian, bukan kepribadian yang terpecah.

Walhasil, kini saatnya bagi kita, umat beragama, melakukan perubahan paradigma: dari sikap beragama yang in-humane kepada yang humane. Paradigma humanis ini adalah paradigma nilai, sikap, norma, dan praktek keberagamaan (religiosity) yang mendukung kehidupan tanpa kekerasan serta terorisme, meningkatkan keadilan masyarakat, menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia, serta memajukan harmoni antarbudaya. Hanya dengan cara inilah agama akan benar-benar mampu menjadi bagian dari solusi bagi pemecahan masalah politik, sosial, ekonomi, hukum, lingkungan, dan sebagainya. Inilah wajah Islam yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan harus kita teladani bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar