Investment
Grade bagi Si Miskin
Falik Rusdayanto, DIREKTUR THE GOLDEN INSTITUTE JAKARTA,
ALUMNUS CHULALONGKORN UNIVERSITY THAILAND
ALUMNUS CHULALONGKORN UNIVERSITY THAILAND
Sumber
: SUARA KARYA, 21 Februari 2012
Raihan Indonesia sebagai negara layak investasi (investment grade)
oleh lembaga peringkat internasional Fitch Ratings membuat pemerintah yakin
bahwa prospek ekonomi Indonesia akan cerah. Menko Perekonomian Hatta Rajasa pun
menandaskan pentingnya mendorong perusahaan swasta maupun BUMN untuk segera
menggelar penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO).
Menurutnya, investment grade harus dianggap opportunity untuk menarik arus
modal asing.
Dengan raihan peringkat itu, diyakini ekonomi RI akan semakin
"seksi" bagi para investor. Bahkan, proyeksi analis bahwa pada
kuartal I dan II 2012 merupakan momen yang kurang cocok untuk go public
mengingat krisis Eropa yang belum jelas pemulihannya, akan bisa dipecahkan.
Di tengah euphoria perolehan investment grade, ada kelompok
masyarakat miskin yang bisa jadi terbengong-bengong. Mereka tidak paham apa
arti investment grade, apakah sebagai tawaran kesejahteraan buat si miskin?
Bisa jadi betul bahwa investment grade memungkinkan membajirnya
modal. Namun, belum tentu modal itu akan mengalir ke sektor riil yang
menawarkan peningkatan kesejahteraan bagi si miskin. Modal yang masuk bisa jadi
hanya berputar-putar lagi di investasi jangka pendek. Kalau ini yang terjadi,
kenaikan peringkat itu tidak akan banyak manfaatnya bagi perekonomian
Indonesia. Akhirnya euphoria investment grade hanya akan dinikmati segelintir
para pemburu rente jangka pendek, dan tidak memberi apa pun buat si miskin.
Penurunan penduduk miskin dari tahun ke tahun, tidak terlalu
signifikan. Tahun 2004, jumlah penduduk miskin turun 16,7%, tahun 2005 (16,0%),
tahun 2006 (17,8%), tahun 2007 (16,6%), tahun 2008 (15,4%), tahun 2009 (14,2%),
tahun 2009 (14,2%), tahun 2010 (13,3%), tahun 2011 (12,5%).
Angka ini hanya menghitung mereka yang masuk kategori miskin
absolut diukur dari pendapatan, itu pun pada standar yang paling minim. Angka
ini belum mengungkap wajah kemiskinan Indonesia yang sebenarnya, dari berbagai
dimensi. Angka tersebut juga belum memasukkan mereka yang tergolong tidak
miskin, tetapi sangat rentan terhadap kemiskinan, yang angkanya bahkan jauh
lebih besar dari kemiskinan absolut.
Sulitnya mengurangi angka kemiskinan, ketimpangan, dan
ketertinggalan sangat terkait dengan politik anggaran yang tak memihak
masyarakat miskin atau tidak kompatibel dengan tujuan kesejahteraan. Sebagian
besar APBN terkuras untuk belanja rutin alias membiayai birokrasi yang ternyata
tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik, sehingga justru lebih banyak
jadi penghambat pertumbuhan ekonomi dan penyejahteraan rakyat. Anggaran rutin
menyedot 40% lebih APBN.
Anggaran untuk belanja pegawai, tunjangan, fasilitas, dan biaya
perjalanan serta membayar utang terus meningkat, sementara pada saat yang sama
anggaran untuk subsidi dan belanja sosial justru turun. Untuk belanja pegawai
dan membayar cicilan utang saja tidak kurang Rp 162,6 triliun dan Rp 153,6
triliun. Sementara, anggaran untuk pengurangan kemiskinan hanya Rp 80 triliun.
Anggaran untuk belanja kesehatan hanya sekitar 2,2% dari total APBN dan kurang
dari 1% dari PDB. Data Bappenas, dalam enam tahun terakhir pemerintahan SBY,
belanja modal nyaris stagnan, bahkan tumbuh negatif.
Artinya, untuk membangun atau menyejahterakan rakyat, kita harus
puas hanya dengan remah-remah yang tersisa. Persoalannya tidak sekedar anggaran
habis untuk belanja rutin alias membiayai birokrasi dan membayar utang, namun
juga banyak yang dikorupsi atau bocor. Celakanya, bahkan remah-remah itu pun
belum tentu seluruhnya menetes ke kelompok miskin yang dituju. Tidak sedikit
dari dana tersebut justru tersedot untuk seminar, perjalanan dinas, dan
lain-lain. Subsidi untuk rakyat miskin juga tidak sepenuhnya dinikmati orang
miskin. Contohnya, subsidi BBM yang lebih banyak dinikmati orang kaya.
Selama ini upaya penanggulangan kemiskinan semata dipahami sebagai
program pemberantasan kemiskinan, bukan 'strategi dan kebijakan' penanggulangan
kemiskinan. Akibatnya, upaya mengatasi kemiskinan cenderung dijawab hanya
dengan 'program untuk orang miskin' yang dibiayai dengan APBN dan/atau
dana-dana swasta. Demikian pula, kebijakan pro-poor budget juga secara sempit
dimaknai sekadar sebagai budget for the poor. Akibat pemahaman yang kurang
tepat ini, kinerja pemberantasan kemiskinan lebih banyak diukur dari besaran
dana APBN yang dialokasikan untuk program penanggulangan kemiskinan. Tetapi,
sudahkah dana tersebut dikelola secara efisien dan tidak dikorupsi? Dan,
seberapa jauh upaya tersebut berhasil mengangkat orang miskin, tidak sekadar
keluar dari kubangan kemiskinan, namun juga menciptakan kelas menengah baru dan
tumbuhnya pengusaha-pengusaha baru dari kelompok miskin di berbagai sektor?
Kita perlu belajar dari China yang berhasil mengurangi kemiskinan
setelah menggunakan resep-resep yang logis, yaitu membangun pedesaan, tempat
orang miskin terbanyak berada. China memerangi kemiskinan di basis kemiskinan.
China, yang berada di level korupsi sama dengan Indonesia tahun 1995, mampu
melakukan terobosan tersebut untuk mengurangi angka kemiskinan. Angka
kemiskinan absolut 1 dolar AS per hari di China tahun 1990 lebih parah dari
Indonesia, yakni 31,5% di China dan 26% di Indonesia. Sekarang, kemiskinan
absolut kedua negara tidak lagi jauh berbeda, yakni di China kini 6,1% dan
Indonesia (5,9%).
China fokus membangun industri manufaktur yang sekitar 50%-nya
didedikasikan untuk rakyat. Sementara di Indonesia, kondisinya terbalik. Kunci
keberhasilan China adalah pembangunan yang dimulai dari desa dan pertanian.
Sementara kita, lebih bias ke kota. Jadi, investment grade belum akan memberi
kesejahteraan buat si miskin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar