Selasa, 21 Februari 2012

Investment Grade bagi Si Miskin


Investment Grade bagi Si Miskin
Falik Rusdayanto, DIREKTUR THE GOLDEN INSTITUTE JAKARTA,
ALUMNUS CHULALONGKORN UNIVERSITY THAILAND
Sumber : SUARA KARYA, 21 Februari 2012



Raihan Indonesia sebagai negara layak investasi (investment grade) oleh lembaga peringkat internasional Fitch Ratings membuat pemerintah yakin bahwa prospek ekonomi Indonesia akan cerah. Menko Perekonomian Hatta Rajasa pun menandaskan pentingnya mendorong perusahaan swasta maupun BUMN untuk segera menggelar penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO). Menurutnya, investment grade harus dianggap opportunity untuk menarik arus modal asing.

Dengan raihan peringkat itu, diyakini ekonomi RI akan semakin "seksi" bagi para investor. Bahkan, proyeksi analis bahwa pada kuartal I dan II 2012 merupakan momen yang kurang cocok untuk go public mengingat krisis Eropa yang belum jelas pemulihannya, akan bisa dipecahkan.

Di tengah euphoria perolehan investment grade, ada kelompok masyarakat miskin yang bisa jadi terbengong-bengong. Mereka tidak paham apa arti investment grade, apakah sebagai tawaran kesejahteraan buat si miskin?

Bisa jadi betul bahwa investment grade memungkinkan membajirnya modal. Namun, belum tentu modal itu akan mengalir ke sektor riil yang menawarkan peningkatan kesejahteraan bagi si miskin. Modal yang masuk bisa jadi hanya berputar-putar lagi di investasi jangka pendek. Kalau ini yang terjadi, kenaikan peringkat itu tidak akan banyak manfaatnya bagi perekonomian Indonesia. Akhirnya euphoria investment grade hanya akan dinikmati segelintir para pemburu rente jangka pendek, dan tidak memberi apa pun buat si miskin.

Penurunan penduduk miskin dari tahun ke tahun, tidak terlalu signifikan. Tahun 2004, jumlah penduduk miskin turun 16,7%, tahun 2005 (16,0%), tahun 2006 (17,8%), tahun 2007 (16,6%), tahun 2008 (15,4%), tahun 2009 (14,2%), tahun 2009 (14,2%), tahun 2010 (13,3%), tahun 2011 (12,5%).

Angka ini hanya menghitung mereka yang masuk kategori miskin absolut diukur dari pendapatan, itu pun pada standar yang paling minim. Angka ini belum mengungkap wajah kemiskinan Indonesia yang sebenarnya, dari berbagai dimensi. Angka tersebut juga belum memasukkan mereka yang tergolong tidak miskin, tetapi sangat rentan terhadap kemiskinan, yang angkanya bahkan jauh lebih besar dari kemiskinan absolut.

Sulitnya mengurangi angka kemiskinan, ketimpangan, dan ketertinggalan sangat terkait dengan politik anggaran yang tak memihak masyarakat miskin atau tidak kompatibel dengan tujuan kesejahteraan. Sebagian besar APBN terkuras untuk belanja rutin alias membiayai birokrasi yang ternyata tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik, sehingga justru lebih banyak jadi penghambat pertumbuhan ekonomi dan penyejahteraan rakyat. Anggaran rutin menyedot 40% lebih APBN.

Anggaran untuk belanja pegawai, tunjangan, fasilitas, dan biaya perjalanan serta membayar utang terus meningkat, sementara pada saat yang sama anggaran untuk subsidi dan belanja sosial justru turun. Untuk belanja pegawai dan membayar cicilan utang saja tidak kurang Rp 162,6 triliun dan Rp 153,6 triliun. Sementara, anggaran untuk pengurangan kemiskinan hanya Rp 80 triliun. Anggaran untuk belanja kesehatan hanya sekitar 2,2% dari total APBN dan kurang dari 1% dari PDB. Data Bappenas, dalam enam tahun terakhir pemerintahan SBY, belanja modal nyaris stagnan, bahkan tumbuh negatif.

Artinya, untuk membangun atau menyejahterakan rakyat, kita harus puas hanya dengan remah-remah yang tersisa. Persoalannya tidak sekedar anggaran habis untuk belanja rutin alias membiayai birokrasi dan membayar utang, namun juga banyak yang dikorupsi atau bocor. Celakanya, bahkan remah-remah itu pun belum tentu seluruhnya menetes ke kelompok miskin yang dituju. Tidak sedikit dari dana tersebut justru tersedot untuk seminar, perjalanan dinas, dan lain-lain. Subsidi untuk rakyat miskin juga tidak sepenuhnya dinikmati orang miskin. Contohnya, subsidi BBM yang lebih banyak dinikmati orang kaya.

Selama ini upaya penanggulangan kemiskinan semata dipahami sebagai program pemberantasan kemiskinan, bukan 'strategi dan kebijakan' penanggulangan kemiskinan. Akibatnya, upaya mengatasi kemiskinan cenderung dijawab hanya dengan 'program untuk orang miskin' yang dibiayai dengan APBN dan/atau dana-dana swasta. Demikian pula, kebijakan pro-poor budget juga secara sempit dimaknai sekadar sebagai budget for the poor. Akibat pemahaman yang kurang tepat ini, kinerja pemberantasan kemiskinan lebih banyak diukur dari besaran dana APBN yang dialokasikan untuk program penanggulangan kemiskinan. Tetapi, sudahkah dana tersebut dikelola secara efisien dan tidak dikorupsi? Dan, seberapa jauh upaya tersebut berhasil mengangkat orang miskin, tidak sekadar keluar dari kubangan kemiskinan, namun juga menciptakan kelas menengah baru dan tumbuhnya pengusaha-pengusaha baru dari kelompok miskin di berbagai sektor?

Kita perlu belajar dari China yang berhasil mengurangi kemiskinan setelah menggunakan resep-resep yang logis, yaitu membangun pedesaan, tempat orang miskin terbanyak berada. China memerangi kemiskinan di basis kemiskinan. China, yang berada di level korupsi sama dengan Indonesia tahun 1995, mampu melakukan terobosan tersebut untuk mengurangi angka kemiskinan. Angka kemiskinan absolut 1 dolar AS per hari di China tahun 1990 lebih parah dari Indonesia, yakni 31,5% di China dan 26% di Indonesia. Sekarang, kemiskinan absolut kedua negara tidak lagi jauh berbeda, yakni di China kini 6,1% dan Indonesia (5,9%).

China fokus membangun industri manufaktur yang sekitar 50%-nya didedikasikan untuk rakyat. Sementara di Indonesia, kondisinya terbalik. Kunci keberhasilan China adalah pembangunan yang dimulai dari desa dan pertanian. Sementara kita, lebih bias ke kota. Jadi, investment grade belum akan memberi kesejahteraan buat si miskin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar