Dampak
Krisis Hormuz
Irsyad Dhahri S Suhaeb, DOSEN HUKUM
INTERNASIONAL UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR Sumber : REPUBLIKA, 2
Februari 2012
Akhir-akhir
ini, kehadiran USS Abraham Lin coln, kapal induk Amerika yang telah mengambil langkah memasuki Selat
Hormuz, masih hangat diberitakan. Dengan alasan operasi rutin, inspeksi
tersebut dilakukan di tengah meningkatnya kekhawatiran internasional atas
krisis Selat Hormuz. Seperti diketahui, dalam beberapa minggu terkahir ini, AS
telah mengkritik Iran atas isu program nuklir Iran yang diduga dipergunakan
untuk membangun persenjataan nuklirnya.
Krisis
ini sebenarnya terpicu sejak AS mengkritik Teheran atas tekanannya pada Gerakan
Hijau dan dukungannya pada Hamas dan Hizbullah. Selain itu, keluarnya laporan
terbaru inspektur senjata PBB pada November 2011 lalu yang mengindikasikan
bukti kredibel bahwa Iran melakukan kegiatan yang relevan dengan pengembangan
perangkat nuklir juga menjadi pemicu krisis.
Berdasarkan
laporan PBB tersebut, Amerika beserta beberapa negara Barat lainnya
mengisyaratkan memberi sanksi pada Iran, serta perusahaan dan negara yang
terlibat dalam industri nuklir Iran. Sanksi tersebut berupa pemotongan sistem
keuangan internasional pada transaksi bank sentral dan komersial. Reaksi
Teheran atas imbauan sanksi ini dibalas dengan ancaman pemblokiran Selat
Hormuz, jalur 35 persen perdagangan minyak dunia. Bila Ancaman Iran untuk
memblokir Selat Hormuz benar dilaksanakan dan ancaman Amerika untuk melakukan
tindakan balasan atas pemblokiran ini dilakukan, setidaknya ada beberapa
perspektif dalam melihat situasi ini.
Aspek Hukum Laut
Meskipun
Iran telah menandatangani Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut (UNCLOS) dan
komitmen pengakuan pada konvensi hukum laut ini, namun ia tidak meratifikasinya
sehingga tidak terikat pada rezim yang berlaku di dalamnya. Ini berarti, Iran
bisa saja berkesimpulan bahwa innocent passage atau transit passage hak kapal
asing termasuk kapal perang untuk melewati per airan suatu negara selama dalam
tujuan damai, tidak dapat digunakan di Selat Hormuz. Dan, unjuk kekuatan kapal
induk Amerika yang melewati Selat Hormuz dapat dianggap sebagai ancaman
terhadap Iran.
Meskipun
dalam hukum laut internasional Iran sebagai negara pantai memang berhak mengon
trol jalur kapal asing, termasuk kapal perang yang akan lewat di Selat Hormuz,
konvensi hukum laut ini tidak mengatur dengan de tail mengenai kapal perang.
Oleh sebab itu, argument Iran yang mengatakan bahwa ia ber hak menutup Selat Hormuz
dengan alasan keamanan dan Konvensi Jenewa 1958, agak lemah, sebab dengan
customary law hukum laut internasional saat ini lebih banyak mengacu pada
Konvensi PBB 1982 serta telah dikenalnya hak lintas-damai, termasuk di Selat
Hormuz.
Oleh
sebab itu, Amerika, yang meskipun juga tidak meratifikasi UNCLOS, menentang
pendapat Iran ini seperti yang tertera pada Nota Diplomatiknya pada 1987. Di
samping itu, ancaman Iran untuk menutup Selat Hormuz sebagai otoritas negara
pantai pemilik wilayah kurang tepat. Sebab, dengan rezim 12 mil laut teritorial
yang dianut dalam hukum laut internasional, pada keyataannya terdapat
pulau-pulau kecil di selat Hormuz, di luar wilayah Iran yang juga memiliki
klaim kepemilikan selat. Sehingga, ancaman Iran ha rus disetujui oleh mereka.
Itu berarti Iran masih harus menjalani langkah lain bila tetap pada keinginannya.
Peningkatan
suhu di Selat Hormuz tidak terlepas dari pengaruh politik internal kedua
negara. Di Amerika pada Desember 2011, Pre siden Obama, yang menanda tangani
sanksi ekspor minyak Iran, dianggap melakukan aksi ini hanya untuk memperbaiki
citra nya sebagaimana janjinya pada pelantikan presiden untuk tidak menoleransi
upaya program nuklir dunia.
Hal
ini dilakukan sebab selain masalah politik luar negeri dan ke manan nasional,
dukungan pa da Israel, serta antisipasi perkembangan di Cina, Obama berusaha
menampik kritikan pihak Republik yang mengatakan bahwa ia terlalu lemah pada
Iran atas perkembangan industri nuklirnya. Sementara itu, di Iran, Farideh
Farhi, seorang ahli pemerintahan Iran menyatakan bahwa dalam beberapa bulan
terakhir, politik dalam negeri Iran telah didominasi oleh perselisihan tajam
antara kubu konservatif Presiden Ahmadinejad dan lembaga republik Islam, yang
menempatkan posisi Ahmadinejad menjadi kurang simpati. Hal ini ditambah dengan
skandal keuangan pejabat dalam pemerintahannya.
Dalam
upaya mempertahankan kekuatan partai konservatifnya yang akan menghadapi pemilu
pada Maret 2012, Ahmadinejad terus berupaya mencari dukungan, termasuk
mempertahankan status sebagai negara yang berani melawan tekanan dan dominasi
Amerika dengan ancaman penutupan Selat Hormuz. Namun demikian, ia masih harus
menghadapi tekanan dari dalam negeri. Tekanan ini adalah apabila Amerika
menerapkan sanksi untuk menutup transaksi bank sentral, Iran akan menghadapai
krisis keuangan dalam negeri dan memperpanjang krisis masyarakat yang dialami
sejak pascaperang dengan Irak.
Selain
itu, Presiden Ahmadinejad mau tak mau harus meminta restu pimpinan tertinggi
Ayatollah Khamenei, terutama untuk menghadapi krisis dan apakah harus
meneruskan industri nuklirnya atau tunduk pada keinginan PBB untuk melakukan
restrukturisasi pada program nuklir tersebut. Imbauan perlawanan Iran pada
Amerika diharapkan mengundang simpati negara-nagara Arab lainnya meskipun sulit
tercapai. Meminta bantuan pada Suriah pun juga dianggap tidak signifikan sebab
Suriah juga tengah mengalami krisis pemerintahan.
Posisi Indonesia
Banyak
ahli yang memprediksi beberapa kemungkinan bila benar Iran menutup Selat Hormuz
dan Amerika melakukan sanki embargo minyak atau melakukan serangan militer pada
instalasi nuklir dan minyak Iran. Prediksi aksi militer kemungkinan akan
dilancarkan oleh Amerika dibantu oleh Israel. Dan, peperangan yang tidak
seimbang akan terlihat antara kedua negara tersebut. Karena, potensi militer
Iran, khususnya angkatan udara, sangat minim. Kekuatan angkatan laut militer
Iran memang cukup memadai, namun tidak berarti banyak, mengingat potensi Iran
banyak terkuras sejak perang tahunannya dengan Irak pada 1980-1988.
Komando
militer di Iran yang berada di bawah komando langsung dianggap memberikan bentuk
positif perlawanan. Sebab, dengan ini Iran dapat mengoordinasi seluruh potensi
angkatan perang dengan relatif lebih cepat. Selain itu, sentimen perlawanan
yang ditiupkan oleh Iran sebagai negara Arab yang berani menantang imperialisme
Amerika dapat menjadikan Iran secara moral terdukung.
Namun
demikian, yang dikehendaki oleh masyarakat Amerika adalah agar potensi konflik
ber senjata hendaknya dihindari. Aksi militer Amerika pada krisis Selat Hormuz
agaknya masih jauh dari kenyataan. Ini didukung oleh ke nyatan bahwa bagi
Amerika, Iran bukan ancaman yang besar, dan program nuklir untuk persenjataan
Iran yang dijadikan alasan aksi militer belum jelas ditemukan. Selain itu,
posisi industri nuklir Iran saat ini tidak benar-benar da lam keadaan siap
memproduksi senjata nuklir, setidaknya dalam waktu yang dekat.
Kemungkinan
lain bila krisis ini berlanjut pada aksi militer adalah dampak ekonomi, dimana
harga minyak dunia akan melambung tinggi, dan negara-negara pengekspor minyak
lain harus me naikkan produksi meskipun nantinya bertentangan dengan pembatasan
kuota OPEC. Yang tidak kalah penting untuk dipertimbangkan oleh Iran sendiri
adalah krisis ekonomi akan terus berlanjut di Iran dan akan berdampak pada
rakyat Iran.
Bagi
Indonesia, krisis Selat Hormuz secara langsung tidak akan berdampak yang
berarti sebab kebutuhan minyak Indonesia tidak banyak bergantung dengan
produksi Iran, seperti Cina, Jepang, India, atau Korea Selatan. Namun demikian,
potensi dam pak berupa sentimen solidaritas akan terlihat mengingat masyarakat,
termasuk penganut Syiah Indonesia, diketahui mempunyai tingkat solidaritas
keagamaan yang begitu kuat dengan negara Timur Tengah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar