Jumat, 11 November 2011

Waspadai Pangan 2012


Waspadai Pangan 2012
Dwi Andreas Santosa, KETUA PROGRAM S-2 BIOTEKNOLOGI TANAH DAN LINGKUNGAN, IPB
Sumber : KOMPAS, 11 November 2011



Kompas (2/11/2011) mengeluarkan berita yang cukup mengkhawatirkan tentang status produksi pangan kita. Produksi bahan pangan utama: beras, jagung, dan kedelai, tahun 2011 turun 1,63 persen, 5,99 persen, dan 4,08 persen dibandingkan dengan 2010. Impor pangan juga meningkat tajam.

Periode 2010-2011 impor beras 2,2 juta ton. Bahkan, hingga Oktober 2011, impor beras sudah 1,4 juta ton, sedangkan impor gandum, jagung, dan kedelai 6,7 juta ton, 1,5 juta ton, dan 4,7 juta ton (USDA, 12/10/2011). Ketergantungan ini sungguh mengkhawatirkan karena produksi pangan dunia juga melambat naik.

Krisis pangan dunia 2008 dimungkinkan berulang 2012 sehingga stok pangan yang bisa diperdagangkan menipis. Tanda-tanda mulai tampak ketika indeks harga pangan mencapai rekor tertinggi 40 tahun meski kemudian menurun beberapa bulan terakhir (FAO, 3/11/2011). Yang merisaukan, indeks harga pangan tinggi justru terjadi ketika dunia dilanda krisis.

Bagi Indonesia, situasi 2012 akan jauh berbeda dari 2008. Pada tahun 2008 dan berlanjut tahun 2009 iklim sungguh berpihak ke Indonesia. Saat itu fenomena La Nina membawa butiran-butiran air yang membasahi sepanjang tahun sehingga produksi bisa dipacu.

Tahun 2011 iklim tergolong normal sehingga tak ada alasan untuk menyalahkan iklim terkait penurunan produksi pangan. Kita harus waspada karena Indonesia akan mengalami fenomena El Nino yang bermakna iklim kering berkepanjangan tahun 2012. Musim kering di Sumatera, Kalimantan, dan sentra produksi padi di Jawa akan mulai sekitar Februari 2012 (IRI, prediksi Oktober 2011).

Kedaulatan pangan

Tidak ada solusi instan untuk meningkatkan produksi pangan nasional. Salah satu kunci utama adalah pengelolaan air. Konsep sederhana tetapi diabaikan dalam 30 tahun terakhir ini adalah jangan biarkan ”air mengalir sampai jauh”. Namun, hanya 10 persen air irigasi yang bisa dikendalikan, jauh dari nilai ideal sebesar 50 persen. Sebanyak 50 persen dari 798.372 hektar jaringan irigasi strategis nasional di Pulau Jawa rusak hingga rusak parah dan sekitar 27 persen dari seluruh jaringan irigasi nasional perlu direhabilitasi (Dirjen SDA Kementerian Pekerjaan Umum, makalah 5/6/2008).

Selain masalah air, akhir-akhir ini tanaman transgenik menjadi isu seksi bagi para birokrat, ilmuwan, dan ekonom. Tanaman tersebut diharapkan menjadi suatu ”loncatan teknologi” sebagaimana teknologi benih unggul, pupuk, dan pestisida pada tahun 1960-an yang membawa umat manusia keluar dari ”jebakan Malthus”.

Kenyataannya hingga saat ini tidak ada tanaman padi dan gandum transgenik. Kalaupun ada, hanya sebatas dalam skala penelitian karena bisa jadi konsumen, baik di negara maju maupun berkembang, enggan mengonsumsi.

Persepsi lain adalah tanaman transgenik potensial untuk meningkatkan produksi pangan. Hal tersebut juga tak benar karena puluhan gen yang bertanggung jawab terhadap produksi tidak mungkin dimodifikasi seluruhnya. Maka upaya peningkatan produksi hingga saat ini tetap harus mengandalkan metode pemuliaan tanaman konvensional.

Sejak pertama kali dikomersialisasikan hingga 15 tahun kemudian, yang ditanam dalam skala besar hanya empat tanaman transgenik, yaitu kapas, kanola, jagung, dan kedelai. Itu pun hanya dua sifat yang dimodifikasi, yaitu tahan hama dan tahan herbisida. Konstruksi keempat tanaman tersebut tidak dalam kerangka tujuan mulia feed the world, tetapi murni kepentingan bisnis.

Meskipun krisis pangan di Indonesia tahun 2012 tampaknya sulit dihindarkan, rakyat akan sangat berterima kasih jika pemerintah bisa meletakkan dasar-dasar pembangunan pertanian berkelanjutan. Paradigma ketahanan pangan yang selama ini dianut perlu ditinjau ulang. Kenyataan menunjukkan, ketahanan pangan nasional dalam kerangka perdagangan internasional telah membalikkan posisi negara berkembang dari eksportir menjadi importir pangan.

Reformasi agraria

Maka mengubah paradigma ketahanan pangan ke kedaulatan pangan dan petani perlu menjadi gerakan bersama. Menurunnya luasan sawah dari 7,9 juta hektar tahun 2004 menjadi 7,3 juta hektar saat ini merupakan lampu merah yang harus segera diatasi. Di sisi ini program reformasi agraria menjadi solusinya.

Pembentukan badan usaha milik petani untuk memanfaatkan tanah-tanah telantar adalah jawabannya, bukan menyerahkan kepada korporasi.

Reformasi agraria melalui okupasi lahan telantar di dua desa di Wonosobo telah mengubah kesejahteraan petani. Setelah program berjalan enam tahun, produksi padi meningkat 376 persen, jagung 229 persen, dan ubi kayu 333 persen (Ngabidin dan Lusiana, Federasi Serikat Petani Indonesia, 2007).

Mengembangkan kedaulatan petani atas teknologi adalah hal lain yang perlu dilakukan. Petani dari Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu bersama Yayasan Field berhasil mengembangkan varietas padi dengan potensi produksi 9-12 ton per hektar. Peningkatan produksi signifikan juga banyak dilaporkan akibat penggunaan pupuk organik dan pupuk hayati. Kesalahan fatal terjadi ketika pupuk organik dijadikan ”proyek nasional” dan diserahkan produksinya kepada perusahaan-perusahaan besar.

Pestisida hayati juga mulai dikembangkan oleh banyak kelompok tani di Indonesia dan memerlukan dukungan, baik dari pemerintah maupun ilmuwan. Hal tersebut terkait meledaknya populasi wereng yang salah satunya akibat ”program padi hibrida” yang tidak tahan wereng.

Terakhir, gerakan penanaman tanaman pangan dan hortikultura perlu digalakkan di kota-kota. Program urban and peri-urban agriculture sukses dilaksanakan di Kuba, Bolivia, Kolombia, Kongo, dan Tanzania. Pertanian kota yang dikelola baik memiliki produktivitas 2-3 kali lipat pertanian konvensional.

Optimisme tetap harus dibangun menghadapi situasi pangan pada masa depan. Semoga berbagai upaya itu mampu menyelamatkan produksi pangan kita.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar