Kapitalisme Semu Penyiaran
R. Kristiawan, MANAJER PROGRAM MEDIA DAN INFORMASI YAYASAN TIFA, JAKARTA
Sumber
: KORAN TEMPO, 26 November 2011
Salah satu pemikiran penting tentang
Orde Baru di Indonesia datang dari Yoshihara Kunio. Pemikir Jepang ini menulis
The Rise of Ersatz Capitalism in South East Asia (1988). Ersatz capitalism
(kapitalisme semu) adalah perkembangan kapitalisme yang bertali-temali dengan
kekuasaan politik. Di Indonesia, kita lebih mengenal perkembangan ini dengan
istilah kapitalisme kroni, dengan penguasa politik dan militer yang terlibat
dalam berbagai konglomerasi usaha. Kapitalisme, yang pada awalnya mendorong
kompetisi murni di antara pelaku usaha, di Asia Tenggara justru tampil dalam
persekongkolan ekonomi politik yang oligarkis. Kelahiran televisi swasta di
Indonesia pada 1989 juga lahir dalam latar ekonomi politik kronial semacam itu,
dengan keluarga Soeharto yang memulai bisnis televisi swasta.
Prinsip
Demokrasi
Sekarang, tema irisan kepemilikan
media dengan penguasa politik layak dikemukakan
lagi. Hal ini berkaitan dengan dua
kecenderungan aktual, yaitu kecenderungan pemusatan kepemilikan media penyiaran
dan munculnya pemain politik sekaligus
pemilik media. Berita terakhir adalah
bergabungnya Hary Tanoesoedibjo, pemilik MNC Group, dengan Partai Nasional Demokrat
sebagai Ketua Dewan Pakar. Partai NasDem sendiri juga diketuai oleh pemilik
Metro TV, Surya Paloh.
Kepemilikan merupakan tema sentral dalam
berbagai regulasi penyiaran di dunia. Prinsip utamanya adalah perlu pembatasan kepemilikan
media. Ada beberapa alasan perlunya pembatasan kepemilikan media. Pertama,
bisnis penyiaran memakai public domain, yaitu frekuensi. Sebagai public domain,
frekuensi dikuasai oleh negara, dengan pihak swasta yang diberi izin mengelola.
Kedua, aspek pervasiveness. Media penyiaran yang memakai frekuensi terestrial
bisa masuk ke ruang-ruang kehidupan masyarakat tanpa bisa dikontrol sepenuhnya.
Ini berhubungan dengan potensi kekuatan penyiaran dalam membentuk opini publik.
Ketiga, aspek kelangkaan (scarcity), yaitu bahwa frekuensi merupakan sumber
daya alam yang terbatas sehingga penggunaannya harus diatur dengan hati-hati.
Yang dijadikan kiblat utama dalam pembentukan
regulasi penyiaran adalah demokrasi. Interpretasi prinsip demokrasi dalam
regulasi penyiaran, selain pembatasan kepemilikan media penyiaran swasta,
adalah penyeimbang jenis media penyiaran swasta, penyiaran publik, penyiaran
komunitas, dan penyiaran berlangganan. Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002
lahir dengan semangat baru yang mengakomodasi prinsip-prinsip demokrasi tersebut.
Dengan kata lain, Indonesia jelas-jelas menganut prinsip penyiaran demokratis.
Tapi demokrasi penyiaran itu sedang terancam.
Ancamannya tidak datang sekadar dari penguasa otoriter yang mengontrol media
dalam prinsip hegemoni ideologis semacam Orde Baru, tapi dari industri
penyiaran itu sendiri, yang ironisnya didukung oleh birokrasi regulator. Dari
aspek kepemilikan media, demokrasi kita sedang menghadapi masalah dimilikinya lebih
dari satu lembaga penyiaran dalam satu provinsi yang dilarang UU Penyiaran. MNC
memiliki RCTI, Global TV, dan MNC TV. Selain itu, Aburizal Bakrie memiliki ANTV
dan TV One. SCTV dan Indosiar juga sudah bersatu dalam satu grup usaha Emtek.
Semuanya ada di satu wilayah, yaitu Provinsi DKI Jakarta.
Pada wilayah ini pun, pelanggaran
terhadap prinsip demokrasi sudah terjadi. Prinsip yang dipegang di berbagai
negara demokratis adalah bahwa keberagaman kepemilikan akan mendorong
keberagaman isi siaran. Dalam konteks demokratis seperti ini, aspirasi yang
beragam dalam masyarakat akan menemukan saluran yang beragam pula. Pembatasan
kepemilikan adalah regulasi positif untuk menjamin keragaman saluran aspirasi.
Ini sangat relevan bagi Indonesia dengan variasi multikultural yang tinggi,
wilayah yang sangat luas, dan keragaman aspirasi politik lokal. Dalam konteks
ini pula, argumen Veven Sp.Wardhana (Tempo, 24 November 2011) bahwa monopoli kepemilikan
bisa diterima dengan kompromi segmentasi acara terasa naif dan menyederhanakan masalah.
Lebih bahaya lagi, kecenderungan
pemusatan kepemilikan itu tidak hanya ada dalam konteks monopoli usaha, tapi
juga berdimensi politis. Hal ini terlihat dari fakta bahwa pemilik media juga
merupakan pemain politik, seperti Surya Paloh, Hary Tanoe, dan Aburizal Bakrie.
Dengan demikian, opini publik yang tercipta tidak lagi sekadar menjadi dampak
dari pemusatan kepemilikan, tapi opini publik itu sendiri telah menjadi target
motivasi politik. Bentuk simbiosis seperti inilah yang paling membahayakan
dalam ruang publik karena opini publik tidak lagi berdimensi ekonomi, tapi
politik!
Jika dilihat secara historis, tentu
ini bukan merupakan gejala yang positif. Liberalisasi
sejak Reformasi yang diamanatkan untuk
menjamin hak dan aspirasi warga negara telah ditelikung dengan diam-diam oleh kekuatan
korporasi, termasuk korporasi media. Sesudah kekuatan negara dilucuti, kekuatan
korporasi itu terus membesar dan berubah menjadi gurita baru. Telikungan pertama
yang dilakukan industri penyiaran kita adalah ketidakmauan mereka diatur oleh
regulator independen pasca-UU Penyiaran 2002.
Dengan birokrasi yang rentan kolusi,
kekuatan korporasi media itu terus membesar tanpa peringatan berarti dari
lembaga publik. Pada akhirnya, sesudah lolos dari mulut Orde Baru, publik sekarang
masuk korporasi media yang disokong oleh penguasa partai politik. Bentuk
dominasi ruang publik ala Orde Baru telah bersalin rupa menjadi bentuk baru
yang lebih kompleks dengan dimensi yang lebih beragam.
Kita sekarang sedang menghadapi jenis kapitalisme
semu baru dalam industri penyiaran, yaitu bentuk kapitalisme yang berjejaring
dengan oligarki politik. Berbeda
dengan kapitalisme semu Orde Baru, kapitalisme
jenis ini melibatkan birokrasi sebagai pelaku, tapi sebagai aktor yang membiarkan
pelanggaran-pelanggaran tersebut terjadi. Pelaku utamanya adalah penguasa
partai dan penguasa bisnis penyiaran yang memakai frekuensi milik publik.
Sebuah anomali kapitalisme sedang terjadi. Semangat kapitalisme, yang pada
awalnya memberi kesempatan yang sama kepada seluruh pelaku usaha, justru memunculkan
sekelompok oligarki ekonomi politik dalam industri penyiaran kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar