Kamis, 24 November 2011

Paradoks


Paradoks

Mudji Sutrisno SJ, BUDAYAWAN
Sumber : SINDO, 24 November 2011



Paradoks merupakan sebuah kontradiksi dalam tingkat logika atau cara pikir; namun pula kontraskontras tajam antara yang dicita-citakan dan kenyataan.

Paradoks juga untuk menamai gejala “retak” antara kata dan tindakan; pula untuk menunjuk “jurang menganga dalam realitas sosial” manakala tampilan seakan ilmiah sebuah penelitian menyebut indeks kemiskinan menurun, namun pada saat yang sama indeks prestasi kemampuan sumber daya manusia Indonesia jeblok. Ketika paradoks masuk ke kesadaran akal sehat yang normal, orang akan digugat untuk bertanya mengapa ini terjadi? Atau paling sedikit,orang akan bertanya kritis dalam akal budinya untuk mencari tahu mengapanya.

Karena sesuatu yang paradoksal merasuk ke kesadaran manusia melalui media terutama tulis, surat kabar yang dibaca orang,di sana membaca secara kritis berarti mengambil makna dan memberi arti pada yang dibacanya. Karena itu, pers atau media cetak dalam dekade ini dalam bingkai pencerdasan dan penyadaran merupakan “instansi”keempat untuk proses menjaga nurani dan menjaga proses logis akal sehat untuk sikap-sikap kritis. Syaratnya, ia tidak disumbat oleh modal atau kapital.

Pula media digital dan visual televisi menentukan sekali proses tetap terawatnya akal sehat dan nurani publik manakala terus berani menyajikan kebenaran fakta dan bukan opini yang sudah dimanipulasi oleh pemodal demi kelangsungan kekuasaannya. Karena itu,ketika menjalankan fungsi kritisnya, media cetak dan visual digital akan menempati diri sebagai“guru-guru bangsanya” ketika prinsip mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi pilihan pewarta kebenaran bagi pembacanya.

Paradoks muncul dalam gejala kontras antara mereka yang mencari sesuap nasi saja harus rajin menghitung dari seribu ke seribu penuh dengan bahasa keringat kadang berdarah- darah. Sementara mereka yang sudah dipilih rakyat dalam pemilu untuk menyuarakan kesejahteraan malahan pamer kendaraan mewah dan pamer hedonisme seperti kritikan dalam sebuah pidato kebudayaan di TIM akhir-akhir ini.

Paradoks ini menyakitkan lantaran di satu pihak orang kebanyakan amat sulit dan harus berhemat agar bisa hidup layak manusiawi, sementara yang lain dengan enak dan tanpa hati tampil mewah kaya di tengah kemelaratan kumuh. Bukannya rasionalisasi yang dibutuhkan untuk m e n a t a p paradoks ini dengan debat bahwa mobil bermerek ini atau itu tidak mewah, tetapi pertanyaan telak nurani yang dalam hening batin yang harus dijawab.

Yaitu, siapakah sesamaku manusia yang nyatanyata di depanku untuk mau makan sesuap nasi untuk besok pagi saja susah, sementara limpahan kemewahan yang kupunyai yang mungkin saja diyakini sebagai berkah kupamerkan tanpa hati peduli? Bukankah Anda sudah memanggul tanggung jawab ketika sudah dipilih dengan tulus oleh rakyat untuk memperjuangkan hidup layak dan bermartabat manusiawi rakyat banyak ini?

Pada tahun-tahun ketika paradoks dua cara menghayati hidup ini menajam, di sebuah tembok di salah satu kota besar ditulis dengan grafiti besarbesar yang berbunyi:”Untalen sakabehe sakmatine” (Telanlah segalanya makanlah semuanya sampai matimu), menunjuk cerminan tidak peduli,apalagi tidak ada hati untuk sesamanya.

Paradoks logika muncul dalam gejala sebagai berikut. Ketika Bandara Soekarno- Hatta sudah amat penuh semrawut lalu ditulis media pewarta fakta dengan menyebutnya sudah sama dengan terminal bus antarkota, lalu yang ditampilkan sebagai “solusi” adalah promosi maket rencana perluasan bandara dengan gambar cantik dan terencana yang diungkapkan pasti akan memecahkan soal kemacetan. Tetapi justru di sini paradoks logika termuat.

Mengapa? Solusinya bukan tindakan dan aksi nyata, tetapi publik dimanipulasi dengan “janji maket perencanaan”yang seolaholah menyelesaikan, tetapi “masih dalam perencanaan lima tahun ke depan”. Tolong Anda cek secara kritis dan dengan cara pikir analogi yang sama,bagaimana lihainya kita menjawab soal-soal riil nyata, mau menyelesaikannya namun dalam wujud nina bobok janji yang masih dalam rencana.

Paradoks serupa muncul di saat bencana banjir, bencana tenggelamnya kapal, maupun kecelakaan lalu lintas. Jawabannya pasti mantap diurai tampaknya logis, tetapi paradoksal sebagai solusi tindakan sebab bukan tindakan yang dilakukan, tetapi wacana rencana dan rencana.

Dalam wacana sehari-hari muncullah kebenaran secara diskursif omong-omong parodi dan sinis sebuah paradoks yang memprihatinkan kita semua.Di sini, di Indonesia ini, orang terutama pejabat dengan mudah menyelesaikan masalah besar dan berat dengan “menyederhanakannya; menggampangkannya” sementara masalahmasalah yang sebenarnya kecil dan ringan diselesaikan secara besar.

Orang bilang: “Kalau bisa dipersulit, lha mengapa harus dipermudah....” Dalam pemikiran teori konstruksionis, di mana manusia sebagai individu ditentukan oleh struktur maupun konstruksi kultural dan sosial, relasi vertikal “patron-client” menomorsatukan si tuan dan bukan si jelata.Dalam konstruksi orientasi ke atas di mana yang tua berumur dan yang senior dituakan, di sana keteladanan yang sedang dituakan dan yang di atas menentukan orientasi perilaku.

Kebijaksanaan ini sudah dibatinkan dan diuji dalam tes hidup terungkap dalam pepatah kebijaksanaan hidup: “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, “Raja adil disembah, raja lalim disanggah”. Maka ketika Anda sedang memegang amanat dalam kedudukan sosial Anda, di sana perilaku dan keteladanan jauh lebih berbicara daripada jutaan pidato dan kata-kata.

Akhirnya, bingkai media cetak dalam mewarta kebenaran dan tugas mengkritisi sadar pula kalau situasi masyarakat kita yang paradoksal ini memberi awan mendung “saling tidak percaya” atau “distrust”. Dan ketika Indonesia terlalu gaduh riuh di jalan politik yang rebutan kuasa dan kursi,orang bijaksana mewantiwanti dalam nasihat: “Dalam situasi karut-marut silang selisih retak, prinsip unitas (rukun peduli untuk bersatu) harus dipegang kalau tidak mau hancur.

Dalam situasi paradoksal logis, kacau nilai dan rancu wacana serta kebingungan, pepatah pokok yang dipegang adalah veritas (kebenaranlah yang mesti menjadi acuan). Namun,di atas segalanya,orang diajak memegang prinsip caritas (kasih) untuk dihayati meski tidak gampang. Unitas, veritas, dan caritas: persatuan, kebenaran, dan cinta kasih, prinsip-prinsip ini pepatah lama bahasa latin yang sudah teruji dalam krisis-krisis zaman dan bolehlah menjadi renung hening praktik menghidupinya di kala kita alami paradoks-paradoks hidup di Tanah Air tercinta ini. Semoga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar