Senin, 28 November 2011

Menggenjot Produksi Pangan

Menggenjot Produksi Pangan

Khudori, ANGGOTA POKJA AHLI DEWAN KETAHANAN PANGAN PUSAT (2010–2014)
Sumber : SINDO, 28 November 2011



Pemerintah telah mematok target-target yang ambisius dalam produksi pangan. Swasembada gula,kedelai, dan daging (sapi) ditargetkan tercapai pada 2014.

Tahun ini, produksi beras ditargetkan naik 5%. Bahkan, dalam lima tahun ke depan ditargetkan surplus beras minimal 10 juta ton.Target-target ini dibuat untuk menghindari komplikasi perekonomian akibat gejolak harga pangan yang tak terkendali. Sayangnya, pemerintah sepertinya hanya pintar membuat target, tetapi miskin implementasi dan pencapaian. Contohnya, belum setahun target swasembada gula ditentukan, pemerintah sudah angkat tangan.

Karena perluasan lahan tak tercapai, pemerintah tak yakin swasembada tercapai. Awal November lalu,Badan Pusat Statistik memublikasikan bahwa produksi padi tahun 2011 diperkirakan 65,4 juta ton gabah kering giling (GKG), turun 1,63% dibandingkan produksi tahun 2010 (66,4 juta ton). Produksi jagung turun 6% menjadi 17,2 juta ton sehingga pelaku ekonomi pakan ternak masih harus mengimpor jagung mendekati 2 juta ton.

Produksi kedelai turun 4% menjadi 870.000 ton, jauh untuk memenuhi konsumsi kedelai 2,5 juta ton.Penurunan itu menggelisahkan pemerintah. Namun, bagi masyarakat awam, penurunan produksi pangan jadi masuk akal, sesuai dengan logika akal sehat. Masyarakat sempat dibuat bingung karena pemerintah selalu melaporkan produksi pangan meningkat, bahkan surplus beras 5 juta ton. Tapi pada saat yang sama,Bulog kesulitan mendapatkan beras.

Sulitnya mendapatkan beras selaras dengan terus naiknya harga beras. Pertanyaannya, mungkinkah menggenjot produksi pangan tanpa perluasan lahan? Mungkin.Caranya,menaikkan produktivitas. Dengan luas lahan yang tetap, peningkatan produktivitas akan memungkinkan hasil yang lebih besar. Masalahnya, tidak mudah menaikkan tingkat produksi. Contohnya padi. Dilihat dari sudut pandang teknologi produksi, apa yang dihasilkan petani saat ini di beberapa sentra padi bisa dikatakan sudah mendekati batas frontier yang bisa dicapai di lapangan.

Kajian Mahbub Hossain dan Narciso dari International Rice Research Institute (2002) menunjukkan, rata-rata produktivitas usaha tani padi di lahan irigasi di Indonesia sudah mencapai 6,4 ton/hektare, kedua tertinggi di Asia Timur dan Asia Tenggara setelah China (7,6 ton/hektare). Potensi peningkatan produktivitas hanya sekitar 0,5–1,0 ton/hektare dengan inputyang kian mahal. Implikasinya, mustahil terus menjaga kontinuitas peningkatan produksi pangan tanpa perluasan lahan.

Datadata BPS jelas menunjukkan hal itu. Menurut BPS, penurunan produksi padi 1,63% pada 2011 terjadi karena penurunan luas panen seluas 29,07 ribu hektare (0,22%) dan produktivitas 0,71 kuintal/ hektare (1,42%). Penurunan jagung sebesar 5,99% terjadi karena penurunan luas panen 261,82 ribu hektare (6,34%), sedangkan produktivitas diperkirakan naik 0,16 kuintal/ hektare (0,36%). Penurunan produksi kedelai sebesar 4,08% terjadi karena turunnya luas panen seluas 29,40 ribu hektare (4,45%), sedangkan produktivitas naik sebesar 0,05 kuintal/hektare (0,36%).

Data-data itu menunjukkan, meskipun produktivitas jagung dan kedelai naik, karena luas panen menurun,produksi tetap menurun.Dalam rentang waktu yang lama, ada pola yang khas: ketika luas panen padi naik,hal itu diikuti penurunan luas panen kedelai dan jagung.Kita tidak menyadari pola semacam ini sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir.Artinya,ketiga komoditas tersebut (padi, jagung,kedelai) berkompetisi di lahan yang sama.Tidak hanya itu, ketiga komoditas juga berkompetisi dengan tebu.

Dinamika produksi yang ditunjukkan luas panen yang naik atau turun amat ditentukan oleh besar-kecilnya insentif ekonomi yang diterima petani.Terus menurunnya produksi kedelai misalnya terjadi karena tidak ada insentif ekonomi yang memadai bagi petani. Liberalisasi kebablasan membuat petani kedelai domestik tanpa proteksi.Mereka harus berkompetisi dengan kedelai impor yang penuh subsidi terselubung dan dumping.

Keniscayaan

Untuk bisa menjaga kontinuitas peningkatan produksi pangan, tidak bisa tidak, perluasan lahan merupakan keniscayaan. Peluang untuk peluasan lahan masih terbuka, bahkan melimpah. Dari total luasan daratan Indonesia 191 juta hektare, sebagian besar (66,15%) merupakan kawasan hutan, sedangkan untuk pertanian dengan berbagai kondisi agroekologi sebesar 36,35 juta hektare (18,72%).

Menurut Puslitbangtanak (2001), potensi luas lahan basah mencapai 24,5 juta hektare atau lebih dari tiga kali lipat dari luas sawah kita saat ini.Potensi pengembangan tanaman pangan semusim di lahan kering masih seluas 25,3 juta hektare, sedangkan untuk tanaman perkebunan seluas 50,9 juta hektare.Potensi-potensi ini sesuai data BPN (2001): berdasarkan indeks rata-rata nasional penggunaan kawasan budi daya masih tersisa 57,74% kawasan budi daya berupa hutan. Selain perluasan lahan,konversi lahan pertanian, terutama yang subur, ke penggunaan nonpertanian harus dihentikan.

Tanpa menghentikan konversi lahan, perluasan lahan baru nyaris tidak banyak gunanya.Itulah yang terjadi selama ini. Rentang 1992–2002, laju tahunan konversi lahan baru 110.000 hektare dan pada periode 2002–2006 melonjak jadi 145.000 hektare per tahun. Rentang 2007–2010, di Jawa saja laju konversi rata-rata 200.000 hektare per tahun. Pada saat yang sama, harus ada terobosan dalam paradigma berproduksi,katakan semacam ”revolusi hijau kedua”.

Berkat revolusi hijau, hanya dalam tempo 14 tahun,produksi padi bisa dipompa dari 1,8 ton/hektare jadi 3,01 ton/hektare (1970–1984).Padahal, pengalaman Jepang untuk meningkatkan produksi padi dari 2 ton/hektare jadi 3,28 ton/ hektare memerlukan waktu 68 tahun (1880–1948).Untuk menaikkan produksi dari 1,35 ton/hektare jadi 3,1 ton/hektar,Taiwan butuh waktu 57 tahun (1913–1970). Dengan riset intensif yang didukung pendanaan memadai, pemerintah dan sta-keholders harus bekerja keras untuk menemukan “revolusi hijau kedua” itu.

Investasi di bidang infrastruktur, seperti irigasi dan waduk, tidak bisa ditawartawar. Terakhir,harus ada adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim, terutama membekali petani dengan ilmu iklim untuk merencanakan pola tanam dan merekayasa varietas baru yang tahan iklim ekstrem. Hanya dengan langkah simultan itu kontinuitas peningkatan produksi pangan bisa dijaga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar