Kepahlawanan dan Kebangsaan
Mochtar Pabottingi, PROFESOR RISET LIPI
Sumber : KOMPAS, 10 November 2011
Pahlawan, sama halnya dengan pejuang, banyak merupakan fungsi kolektivitas politik egaliter-otosentris bernama bangsa. Di sini, hanya karena ada bangsa, maka ada pejuang atau pahlawan. Semakin kuat semangat kebangsaan atau rasa cinta bangsa berperan dalam suatu masyarakat, semakin kuat pula di situ panggilan bagi laku kepahlawanan, dan sebaliknya.
Sudah merupakan gejala universal bahwa meluasnya laku kepahlawanan berbanding lurus dengan perjuangan untuk melahirkan, membela, atau membangun suatu bangsa. Begitulah, maka avalansa sosok pahlawan di Tanah Air—mungkin dalam jumlah puluhan ribu—berlangsung sepanjang kurun perjuangan kemerdekaan bagi bangsa kita.
Potensi avalansa yang sama akan tersedia manakala mayoritas anak bangsa menyadari merajalelanya pengkhianatan di dalam dan/atau di sekitar negara. Juga jika dalam berhadapan dengan bangsa lain, eksistensi atau kehormatan bangsa terasa terancam atau dipertaruhkan.
Semangat kebangsaan kita mulai meluntur lantaran peralihan-peralihan politik mendasar, mikro maupun makro, di Tanah Air sejak penyerahan kedaulatan hingga kini. Demokrasi Parlementer (1950-1958) ditandai oleh meningkatnya aspirasi kedaerahan dan kecenderungan separatisme. Demokrasi Terpimpin (1959-1965) sarat dengan panggilan politik makroambisius Soekarno yang dengan nyaris seperti trance memasuki pusaran politik kiri global dan dengan itu membuat komponen-komponen bangsa kita berhadapan fatal satu sama lain.
Orde Baru (1966-1998) larut ke dalam miopia pembangunan ekonomi Soeharto yang tegak di atas format politik darurat-militeristik di mana rakyat sengaja dipandirkan secara politik dan di mana rantai yang melilit negara menjulur panjang ke dikte negara-negara kapitalis.
Terakhir dan terberat, upaya reformasi bertengger rapuh di atas kumulasi blunder-blunder besar dan buruknya eksit Orde Baru. Di sini, kombinasi tiga hal akhirnya menjerumuskan bangsa kita ke dalam krisis multidimensi: perpetuasi laku korupsi masif rezim Soeharto; runtuhnya tatanan hukum lantaran praktik impunitas negara di bawah para ”bablasan” Orde Baru; dan retardasi wawasan politik rakyat lantaran pembodohan sistemik selama 32 tahun. Bisa dikatakan bahwa di awal reformasi, status wawasan politik mayoritas bangsa kita bahkan sudah mundur ke masa prabangsa.
Maka, semakin kemari, semakin memudar pulalah sosok bangsa kita. Kebijakan dan laku negara kian menyimpang dari prinsip kesetaraan warga negara, sedangkan prinsip otosentrisitas yang senantiasa menjunjung dan mementingkan diri kolektivitas politik kita kian raib entah ke mana. Era upaya Reformasi berlangsung di tengah-tengah puncak ketidakpedulian pada bangsa. Begitulah, maka di horizon yang tanpa bangsa, pahlawan pun kehilangan raison d’etre-nya.
Pengkhianat Menjamur
Lantaran kehidupan pantang vakum dan evolusi politik banyak berlangsung dalam hukum zero-sum, lacunae pahlawan dengan sendirinya diisi oleh penjamuran pengkhianat. Celakanya, karena para pelaku pengkhianatan adalah rata-rata mereka yang mengangkangi kekuasaan dalam negara, sudah jadi kebijakan mereka pula untuk menutup-nutupi pengkhianatan.
Bahkan mereka sedapat mungkin meredam kemungkinan bangkitnya wacana tentang pengkhianatan itu. Maka, kian merajalela pengkhianatan di kalangan pejabat/penguasa di negara kita, kian tersingkir pulalah kesadaran maupun diskursus tentang pengkhianatan tadi.
Alih-alih memaknai perpetuasi korupsi masif di ketiga cabang pemerintahan sebagai keadaan darurat, para pejabat/penguasa itu justru serempak memperlakukan tindak korupsi masif dan/atau laku pengkhianatan nista sebagai business as usual. Mereka juga seperti sepakat untuk senantiasa menebar senyum di media dengan tampang suci atau dengan berbusana muslim—ada yang bahkan berkomat-kamit dengan tasbih di tangan—tiap kali menjadi tersangka. Meskipun demikian, keadaan malaise multidimensional ini tidaklah dengan sendirinya meniadakan harapan. Tidaklah benar sinyalemen bahwa kita sudah menapak saat-saat terakhir dari kebangsaan kita.
Selain kenyataan bahwa kehidupan pantang vakum dan evolusi politik kerap ditandai oleh dinamik zero-sum, paling tidak masih ada tiga pertimbangan lain yang perlu diperhitungkan untuk membaca gerak atau tanda-tanda zaman.
Pertama adalah kenyataan bahwa peradaban banyak berlangsung dalam siklus-spiral pada kutub-kutub binomial. Kedua, manusia tak pernah lepas dari dua hajat: hajat nilai dan hajat materiil. Ketiga, erat kaitannya dengan kedua pertimbangan terdahulu, setiap bangsa sejati memiliki dan terus memelihara ”api abadi” berupa rangkaian ideal luhur serta deretan kenangan historisnya. Kedua bentuk api itu selamanya sanggup memotivasi gairah di saat gundah dan/atau kebangkitan kembali di tengah rubungan realitas yang serba kelabu. Dalam dada tiap bangsa selalu bersemi percintaan luhur dengan ideal- ideal dan warisan-warisan luhurnya.
Pembalikan Malaise Multidimensi
Berdasarkan kelima pertimbangan di atas, tidaklah mustahil bahwa bangsa kita sedang berada di awal pembalikan malaise multidimensionalnya. Bagi masyarakat luas bangsa kita, harkat dari mayoritas mereka yang belasan tahun ini menjalankan roda-roda negara sudah tak perlu lebih rendah lagi untuk ditolak. Mereka benar-benar sudah sampai pada titik jenuh. Begitu di kalangan bangsa kita yang masih menjunjung ”hajat nilai” terbangun persepsi bahwa bangsa kita benar-benar sedang mengalami kerusakan besar yang tak lagi bisa dibiarkan, akan berdenyut pulalah di situ impuls-impuls kepahlawanan. Indonesia adalah bangsa yang lahir dari tradisi kepahlawanan dan/atau kejuangan yang kental.
Di negeri kita tanda-tanda zaman sudah terpampang sangat jelas. Presiden yang hendak berkunjung ke kampus sudah beberapa kali dihadang. Beliau pun, jika tak salah, diparodi sebagai sapi. Parlemen sudah berkali-kali dipermalukan di depan publik sebagai biang rampok negara. Atau dengan kata-kata lantang seorang tokoh oposisi: ”Lebih baik DPR dibubarkan daripada KPK”. Dan masyarakat luas sudah lama memandang laku para awak dari lembaga-lembaga peradilan kita dengan penuh rasa muak.
Masyarakat luas bangsa kita memang masih tegak limbung di atas kondisi status quo. Di satu sisi bangsa kita berdiri di atas kemuakan merata terhadap kiprah sebagian besar dari ketiga cabang pemerintahan di pusat maupun di daerah-daerah. Di sisi lain, mereka dihadapkan pada ketiadaan, kelangkaan, atau kelumpuhan jalan konstitusional untuk mengoreksinya. Di balik status quo itu, atas dasar pertimbangan-pertimbangan yang telah kita utarakan, barisan pahlawan prospektif sesungguhnya sudah lama siap untuk tampil berkiprah begitu pembalikan terjadi.
Pada masa status quo ini tetap perlu diingat bahwa sesungguhnya ada segelintir kalangan di tengah-tengah bangsa kita yang tiada hentinya bekerja sebagai pahlawan, sebagai pejuang. Kenyataan ini juga berlaku pada segelintir lembaga dan/atau penyelenggara negara, termasuk aparat negara di tingkat bawah. Di masa-masa yang kita rasakan ternista sekalipun dalam pengalaman mutakhir bangsa kita, segelintir pahlawan itu tetap konsisten bekerja mengupayakan kebajikan dalam batas-batas wewenang dan jangkauannya. Dalam sejarah bangsa kita hingga kini, tak pernah ada satu masa yang sepenuh-penuhnya vakum pahlawan.
Maka, di tengah-tengah tingginya rasa muak pada berjamurnya pengkhianat atau bersimaharajalelanya laku khianat di sekitar kita—termasuk di sela-sela lingkungan masyarakat, khususnya di kalangan pengusaha kakap sekongkolan penguasa—kita harus senantiasa mencamkan dua peringatan esensial.
Pertama adalah perlunya secara tegas menghindari dan/atau mencegah nafsu angkara yang memukul rata dan/atau yang melampaui batas. Akal budi tetap harus kita jadikan pandu sikap dan laku. Kedua adalah senantiasa menyadari, ”iblis” tidak hanya bersarang di luar sana, melainkan senantiasa bekerja sembunyi-sembunyi juga di dalam diri kita sendiri. Jika nanti momen pembalikan benar tiba, hanya dengan kewaspadaan dan kesiagaan demikian kita dapat mempertahankan bangsa kita tetap terhormat, ideal-ideal kemerdekaan kita tetap berharkat, dan segenap pahlawan kita tetap pahlawan. ●
Bung Mochtar mengatakan bahwa semangat kebangsaan kita mulai meluntur lantaran peralihan-peralihan politik mendasar di Tanah Air, sejak penyerahan kedaulatan hingga kini. Kalau yang dimaksudkan semangat kebangsaan adalah bersatu padunya kita dalam membela bangsa, sebagaimana ketika kita menghadapi pemerintah kolonial Belanda dulu, tentu memang benar semangat kebangsaan kita pasca kemerdekaan tidak pernah lebih baik dari semangat kebangsaan kita sebelum kemerdekaan, terutama pada era perang kemerdekaan 1945-1949. Kalau kita mau sedikit berendah hati, sebenarnya pada masing-masing peralihan politik tersebut sebenarnya kita bisa menemukan semangat kebangsaan yang pada masing-masing pemerintahan mempunyai ciri-ciri yang berbeda. Siapa yang menyangkal semangat kebangsaan kita ketika di era Soekarno kita berjuang untuk menegakkan kedaulatan kita dan sekaligus berperan secara aktif dalam percaturan politik antar bangsa? Lalu, apakah kita akan mengatakan semangat kebangsaan kita mati ketika di era Orde Baru prioritas kegiatan politik digantikan dengan prioritas pembangunan ekonomi? Apakah semangat kebangsaan itu, termasuk kepahlawanan, harus dibatasi pada ranah politik dan sama sekali tidak boleh menyentuh ranah ekonomi, hukum, dan ranah non-politik lainnya? Di era reformasi sekarang ini, tantangan kebangsaan kita menjadi lebih kompleks dari era-era sebelumnya. Tantangan kebangsaan pada saat kita telah berhasil memiliki negara dan pemerintahan sendiri memang jauh lebih kompleks dari tantangan kebangsaan di era pra-kemerdekaan. Saya juga percaya bahwa momen pembalikan malaise multidimensi tersebut suatu saat akan tiba. Saya cuma berharap, semoga pembalikan atau perubahan politik-ekonomi tersebut tidak sekadar berayun ke kiri dan ke kanan, tanpa sama sekali menghasilkan kemajuan.
BalasHapus