Guru Politik!
M. Fauzi Sukri, PENULIS, BERGIAT DI BALE SASTRA KECAPI SOLO
Sumber
: KORAN TEMPO, 25 November 2011
Di Indonesia, partai dan tokoh politik pernah mengangankan tak
menjadi mesin pengeruk kekuasaan, tapi lebih sebagai organisasi pendidikan politik
dan guru politik.
Saat itu, pada 1932, Mohammad Hatta menulis dengan sedikit
geram,“ Pendidikan! Bukan atau belum lagi partai. Bukan karena chilaf atau
tjuriga diambil nama ‘Pendidikan’, melainkan dengan sengadja.”
Saat itu banyak yang mempertanyakan nama Pendidikan Nasional
Indonesia, kenapa tidak menggunakan kata “partai”.Tulisan pendek berjudul
“Pendidikan” itu semacam respons pendek Hatta tapi menentukan, penting, dan
mendesak.“Baik, kita tidak akan berketjil hati atau marah. Memang kita mau
‘bersekolah’ dahulu, bersekolah membentuk budi dan pekerti, bersekolah dalam memperkuat
iman.Ternjata dalam riwayat jang berlalu, bahwa budi, pekerti dan iman itu jang
paling perlu bagi pergerakan kita,”jawab Hatta dalam Daulat Rakyat Nomor
37, tanggal 20 September 1932.
Hatta harus menulis kata “pendidikan”dengan tanda seru karena ada
kesan bahwa Pendidikan Nasional Indonesia, terkait dengan pembubaran Partai
Nasional Indonesia
oleh pengurusnya sendiri, akan bergerak dalam dunia pendidikan,
bukan politik. Hatta sadar, tampaknya ada yang hilang saat itu dari roh
pergerakan kemerdekaan: pendidikan (politik). Hatta benar bahwa pada akhirnya,
dalam alam demokrasi, pendidikan politik menjadi sesuatu yang penting, tapi
selalu saja (sengaja!) diabaikan, terutama oleh para pemimpinnya sendiri.
“Sebab itu Pendidikan Nasional Indonesia mendidik rakjat, supaja insaf
akan kedaulatan dirinja dan paham kepada makna dan maksud dasar kedaulatan
rakjat. Djalan jang diturut bukan memaksa atau menipu, melainkan mejakinkan
rakjat. Sebab itu Pendidikan Nasional Indonesia bersifat pendidikan, sekalipun ia
akan menjadi partai dan susunannya bersifat seperti partai,”kata Hatta (1953:
80).
Kata-kata Hatta itu mungkin saat ini semacam lelucon bagi para
politikus. Kita lebih banyak disodori kehidupan politik hedonistis yang
mencederai rasa keadilan sosial, hilangnya etika publik sebagai laku
berpolitik, hancurnya akhlak politik sebagai perwakilan rakyat, dan beralihnya
karakter kepemimpinan serta gagasan politik pada citra dan simulakra politik
yang dijejalkan kepada rakyat.
Guru Politik
Hatta banyak memberikan kursus politik. Dalam tahanan politik di
Banda Neira, Hatta mengajari temantemannya politik dan ekonomi, bahkan
menyelenggarakan semacam kuliah filsafat untuk mempertajam pikiran serta
meningkatkan kecerdasan.Tan Malaka merintis perguruan bagi “rakyat murba”di
Semarang. Bagi Tan Malaka, tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh
kemauan, dan memperhalus perasaan. Dengan itu, belenggu kekolotan, kebodohan, kegelapan,
sekaligus “hawa nafsu jahat”permainan judi bisa dihilangkan.“Kemerdekaan rakyat
hanya bisa diperoleh dengan pendidikan kerakyatan,”kata Tan Malaka.
Yang paling menonjol tentu saja salah satu dari tiga pendiri
National Indische Partij, Soewardi Soerjoningrat, yang kemudian berganti nama
menjadi Ki Hajar Dewantara. Dia sadar bahwa sejak banyak tokoh membaca surat-surat
Kartini yang menggugah roh pendidikan dan pengajaran, berdirinya Budi Utomo,
Sarekat Islam, National Indische Partij, Partai Nasional Indonesia, dan
seterusnya, pendidikan dan pengajaran menjadi roh kesadaran kultural serta
kebangkitan politik.
Pada 3 Juli 1922, Ki Hajar Dewantara mendirikan perguruan kebangsaan
Taman Siswa. Asas pendidikan dan pengajarannya menggunakan Among System. Among System
menggarisbawahi dua hal. Pertama, kemerdekaan dan zelfbeschikkingsrecht
(hak menentukan nasib sendiri) sebagai syarat menghidupkan dan menggerakkan
kekuatan lahir-batin menuju hidup yang merdeka. Kedua, kodrat alam,
sebagai syarat mencapai kemajuan dan sekaligus penghormatan kepada kodrat
manusia.
Maka tugas para pemimpin yang dipancarkan dari Taman Siswa adalah
terlibat secara intensif dengan rakyat, menceburkan diri ke dalam hidup dan
penghidupan rakyat, serta menggerakkan rakyat ke arah kemajuan bukan sebagai
penuntun yang memaksa menarik dari depan, tapi sebagai pendorong yang berdiri
di belakang. Dan kita bisa menyebutkan juga nama H O.S. Tjokroaminoto yang
menjadi guru politik bagi Alimin, Musso,Sukarno, dan Kartosoerjo, serta Agus
Salim, RA Kartini, Dewi Sartika, dan seterusnya.
Riwayat bangsa ini adalah riwayat pendidikan dan pengajaran bagi
rakyat. Para perintis bangsa ini sebagian besar guru yang bergerak dalam
pendidikan dan pengajaran, bahkan sebelum tokoh politik. Sebagian besar tokoh
politik juga bergerak dalam dunia pendidikan, menjadi guru-pendidik, dan
memposisikan dirinya sebagai guru-negarawan yang bisa diteladani rakyat. Mereka
tetap mempertahankan diri sebagai guru dalam kehidupan politik bagi diri mereka, lawan
politik mereka, dan terutama rakyat mereka.
Guru Chiron
Tapi yang tampak mengemuka dewasa ini adalah politikus yang sudah
berhasil berguru kepada Chiron, makhluk setengah hewan dan setengah manusia. Dalam
bukunya yang masyhur, Il Principe, pemikir renaisans Niccolo Machiavelli
menganjurkan agar para calon penguasa mengingat kisah Achilles dan banyak
penguasa zaman kuno yang berguru kepada Chiron. “Arti alegori ini ialah, dengan
menjadikan guru itu setengah manusia dan setengah binatang, seorang raja harus mengetahui
bagaimana bertindak menurut sifat baik manusia maupun binatang, dan ia tak akan
hidup tanpa keduanya,”
tulis Machiavelli (1987: 71-72). Seorang penguasa,“ Harus meniru
rubah dan singa, karena singa tidak dapat membela diri sendiri terhadap perangkap,
dan rubah tidak dapat membela diri terhadap serigala. Karena itu, orang harus
bersikap seperti rubah untuk mengetahui adanya perangkap, dan seperti singa
untuk menakuti serigala.”
Dalam bentuknya yang mutakhir, kita menyaksikan bagaimana ritus
politik citra dipropagandakan, janji dikumandangkan tapi dikhianati, slogan
politik bombastis-
fantastis digemakan tapi nihil substansi, retorika dipertontonkan tapi
miskin kekayaan gagasan, serta kekuatan dibangun tapi rakyat ditakut-takuti,
dilemahkan, dan diperbodoh. Ada sinisme moralitas, pembangunan mengabaikan
kemanusiaan dan peradaban. Machiavellibarangkali benar sepanjang untuk berkuasa
dan mempertahankan kekuasaan.
Tapi, sejarah membuktikan, kita tak mengenang penguasa selama
mereka berkuasa, apalagi jika dengan kekerasan, tapi mengutuknya.“Apakah
kenang-kenangan yang kita cantumkan kepada guru-guru kebangunan ini?”tanya
Soekarno (1964: 616) dalam esai yang masih ditulis tangan,“Menjadi Guru di
Zaman Kebangunan”. Dari masa renaisans Eropa, kita lebih banyak mengenang mereka
yang mengukir sejarah dalam dunia keilmuan dan peradaban-kemanusiaan. Begitu
juga di belahan dunia lain, termasuk di Indonesia.
Sejarah sudah membuktikan, bangsa atau komunitas yang besar, dihormati,
dan disegani adalah mereka yang peduli, membangun, membesarkan, serta
menjunjung
tinggi pendidikan dan pengajaran. Dan itu diinspirasi dan dibangun
oleh guru (politik) yang bervisi pendidikan. Tapi tampaknya saat ini tidak akan
ada lagi tokoh politik yang akan berteriak: “Pendidikan! Bukan dan belum lagi
partai!” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar