Papua: “Desperado”
Antie Solaiman, PENULIS
DI PUSAT STUDI PAPUA UKI JAKARTA
Sumber
: SINAR HARAPAN, 25 November 2011
Tiba-tiba
pesan singkat masuk dari kawan di Lembah Wissel (Paniai), mengabarkan Brimob
menembak lagi delapan warga di Kampung Degeuwo. Nama-nama mereka disebut jelas.
Warga
di sekitar pendulangan emas sekarang meninggalkan lokasi, mengungsi. Degeuwo
adalah kampung tambang emas. Ada dua hal yang sangat mendukakan hati, yakni dua
kata ini: menembak dan lagi.
Logika
mengarahkan kita pada kesimpulan: pertama, itu bukan kecelakaan (menembak!) dan
kedua, itu adalah peristiwa yang ke sekian (lagi!). Penulis mengontak pejabat
keamanan dan UP4B.
Ternyata
mereka belum tahu peristiwa sadis pada Minggu itu. Di wilayah yang tenang itu,
orang mengungsi bukan karena gempa, banjir, atau bom, tapi karena ada darah
mengalir di kampung!
Kekerasan
Tak Kunjung Usai
Dalam
huruf China, “konflik” berarti bahaya dan kesempatan. Konflik
memiliki dua sisi; negatif (bahaya) dan positif (kesempatan). Konflik adalah
realitas yang kita hadapi dalam korelasi ekonomi, politik, dan budaya, dan
berpeluang penuh untuk bertabrakan dalam perbedaan kepentingan.
Dari
sisi positif, konflik adalah kesempatan: ia merupakan pintu menuju hadirnya
kesadaran baru. Ada fase kehidupan baru yang masuk ke pertumbuhan kepribadian
yang lebih sehat dan sejahtera.
Dalam
perubahan sosial, politik, dan ekonomi, konflik berpotensial hadir. Jika
konflik dikelola dengan bijak, sekalipun konflik itu bermuatan negatif, ia bisa
diubah menjadi positif, yakni lahirnya sejumlah kesempatan.
Di
Indonesia, konflik kebanyakan dimaknai negatif, sehingga dihindari berbagai
pihak, baik individu maupun kelompok, bahkan aparat sendiri. Para analis
membagi konflik dalam dua kelompok, vertikal dan horizontal.
Vertikal
terjadi akibat ketidakpuasan masyarakat terhadap cara-cara pemerintah menangani
kesejahteraan, keamanan, dan lain-lain. Contoh konflik antara aparat keamanan
atau pemerintah dengan massa dan mahasiswa yang masuk dalam kategori konflik
vertikal adalah gerakan separatis, yakni kehendak memisahkan diri dari negara.
Konflik
ini sebenarnya bermula dari tindak kekerasan (wakil) negara terhadap masyarakat
di wilayah itu. Kemudian konflik makin mengakar sehingga berwujud menjadi
separatisme.
Aceh
dan Papua menjadi contoh, termasuk konflik antara negara dan masyarakat yang
mengungkapkan protes dan ketidakpuasan terhadap institusi negara tanpa motif
separatisme. Misalnya tragedi Wamena, Wasior, dan Paniai kemarin.
Konflik
kekerasan juga dapat bersifat horizontal; antarsesama anggota masyarakat karena
berbagai faktor; ekonomi, sosial budaya, politik, dan SARA. Konflik ini tidak
bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah yang tak adil. Sering ini disebut
sebagai kekerasan komunal; kekerasan sosial antara dua atau lebih kelompok
komunitas.
Di
Papua kita melihat terlibatnya kekerasan terstruktur yang dilakukan pemerintah
atau aparat negara terhadap warga. Konflik kekerasan terus berlanjut tanpa
upaya penyelesaian secara damai.
Ini
menyebabkan beberapa daerah konflik tetap menjadi daerah rawan konflik, seperti
yang sekarang kita saksikan di Pegunungan Tengah (Puncak Jaya, Ilaga, Paniai)
dan daerah perbatasan (Keerom, Arso).
Kekerasan
aparat terhadap warga Papua selama puluhan tahun yang begitu masif dan tak
pernah dipertanggungjawabkan telah menorehkan luka kolektif pada warga Papua.
Semua
rentetan pembunuhan yang terjadi sejak Mei 2011 tak ada penjelasan. Bahkan
Komnas HAM seperti takut-takut mengatakan apa yang sebenarnya ditemuinya
(Konferensi Pers awal November). Nyata jelas bahwa ada pengerasan konflik; tak
sekadar berlarut-larut, tapi seperti sudah membudaya.
Dalam
pertemuan Agustus, Forum Akademisi untuk Papua mencatat rendahnya komitmen dan
konsistensi pemerintah dalam hal otsus, regulasi-regulasi, dan penerapannya.
Ini menyebabkan masyarakat makin rendah kepeduliannya. Mereka tiba pada
apatisme. Dulu di Ambon ada yang dikenal sebagai the politics of neglect,
rupanya ini juga sudah kita temui di Papua.
Persoalan
Papua sudah berlapis: politik, ekonomi, matinya hukum, dan lain-lain. Ada
banyak masalah yang menggerogoti tubuh Papua, seperti korupsi, penyelewengan
wewenang, kepemimpinan yang lemah, dan tidak adanya kesatuan. Bahkan kemiskinan
dan keterbelakangan menjadi faktor pemicu.
Tapi
sebaliknya, kemiskinan dan marginalisasi bisa menjadi akibat. Selain itu,
pembangunan di Papua telah gagal dilakukan pemerintah. Pendidikan, kesehatan,
dan ekonomi orang Papua sangat rendah.
Padahal
inilah dasar-dasar yang diperlukan untuk membuat manusia hidup tenang dan
damai. Kebutuhan-kebutuhan dasar itu bersifat unnegotiable. Siapa pun
yang memerintah Papua, ini harus dicatat menjadi nomor satu.
“Desperado”
Sampai
saat ini, kekerasan (dan pembunuhan) terus berlangsung; aksi penggerebekan
asrama mahasiswa Papua di Jakarta, Denpasar, dan Makassar oleh aparat keamanan
(9 November), penembakan terhadap delapan warga di Paniai (13 November),
penembakan mobil kontainer Freeport (16 November), dan entah apa lagi.
Banyak
pihak mengecam, seperti Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Kontras, serta sejumlah
LSM Peduli Papua seperti KNPB, Foker LSM Papua, KAMPAK, dan juga gereja (PGI
dan KWI).
Kenyataan
di atas membawa orang Papua pada keadaan desperado. Mereka putus asa.
Seperti yang diteriakkan mereka dalam berbagai pertemuan, “Kami diam, dikejar
dan dibunuh, lalu kami mati. Lebih baik kami melawan sekarang, meski harus mati.”
Semua upaya yang mereka lakukan terasa buntu. Musuh sangat besar, yakni aparat
keamanan atau “siluman” bersenjata.
Sementara
ini keadaan di Papua sangat memprihatinkan. Warga ketakutan, tidak tahu siapa
kawan dan siapa lawan. Takut ke luar rumah sendirian, takut “hilang” dan
keluarga tidak tahu ke mana mencari. Polisi bukan lagi dirasa sebagai kawan.
Sesungguhnya
kebebasan manusia adalah hal yang serba rumit. Karena kita dapat
membeda-bedakan berbagai faktor dalam kebebasan, dan individu bergantung pada
pengaruh dan kondisi, maka kebebasan sekaligus menjadi nilai yang paling lemah.
Ia senantiasa terancam.
Artinya,
dalam praktik selalu terjadi bahwa salah satu arti atau bentuk kebebasan
diceraikan dari keseluruhannya, atau terlalu ditekankan, bahkan dimutlakkan.
Orang dapat menekankan kebebasan satu aspek sedemikian berat sebelah, sehingga
keharmonisan yang semestinya ada dirusak.
Dalam
hal ini Papua terlalu banyak diberi “pengetatan” politik, sehingga negara
menempuh kebijakan untuk tidak atau semakin mengurangi penyerahan kebebasan
kepada warga. Sedikit ada “gerakan” direspons dengan pemeriksaan dan sweeping.
Ini membuat warga hidup dalam ketakutan.
Memang
dirasakan tidak adanya pemimpin yang tampil membela, yang berani pasang badan
untuk warga. Tidak ada pemimpin yang bisa dipercaya untuk mengintegrasikan
semua aspirasi warga. Sangat tragis, karena ketika ketakutan dan ketegangan itu
muncul, Papua disiram dengan uang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar