Nafsu Berkuasa
Jakob Sumardjo, BUDAYAWAN
Sumber
: KOMPAS, 26 November 2011
Manusia
adalah pikiran, kata Descartes pada abad ke-17. ”Aku berpikir, maka aku ada.”
Para penyair Romantik abad ke-18 membantahnya dengan ucapan, ”Manusia adalah
hatinya.” Awal abad ke-21 (Indonesia) membantahnya dengan teriakan, ”Libido
ergo sum, aku punya nafsu, maka aku ada” (sajak Peter Meinke).
Itulah
yang terjadi sejak Reformasi bahwa libido menyingkirkan pikiran dan hati
nurani. Libido merajalela di jalan-jalan, di kantor pemerintahan, di layar
televisi, bahkan di tempat ibadah, dan ruang pendidikan. Gairah nafsu jadi
kaya, ternama, dan berkuasa di mana-mana.
Pelukis
Meri Dono dengan tepat melukis di kanvas-kanvasnya yang terkenal di dunia bahwa
Indonesia dipenuhi sosok brutal saling berhadapan dengan penis yang senantiasa
siap tegang dan kaku. Dalam wayang kulit Jawa, tokoh semacam itu simbol para
raksasa hedonis dengan tubuh mereka yang besar, mulut terbuka dengan gigi
tajam, mata besar melotot penuh nafsu yang tak pernah terpuaskan.
Apa
yang telah terjadi pada bangsa ini sehingga negara kecil di sekitar kita
tersenyum penuh arti menyaksikan tingkah laku Indonesia? Bangsa yang paradoks,
penuh kontradiksi dalam dirinya. Sebuah negeri kepulauan, banyak kapal
tenggelam. Pantainya paling panjang sedunia, tetapi mengimpor garam.
Bangsa
religius, teror bom terus terjadi. Rakyat dicatut namanya demi kepentingan
golongan sendiri. Negara paru-paru dunia membiarkan hutan digunduli. Litani
paradoks ini masih panjang kalau dituturkan.
Semua
ini akibat mentalitas paradoks kita. Membangun bangsa tanpa mengenal bangsa
sendiri. Menjiplak bangsa lain terbatas pada hasil akhir, bukan proses awalnya.
Bangsa yang mudah kagum terhadap kesuksesan bangsa lain, sembari memandang
rendah budaya sendiri. Punya mata tak melihat, punya telinga tak mendengar.
Punya pikiran tak berpikir, cuma menghafal pikiran bangsa lain. Punya hati
nurani menumpulkan perasaan. Nafsu besar, pikiran kurang, tenaga kurang.
Libido
konsumtivisme, hedonisme, serba materi dan duniawi, menguasai kehidupan.
Televisi mengajarkan setiap hari bagaimana menikmati hidup modern ini, entah
dari mana mendapatkan uangnya. Pembangunan mal menyerbu pinggiran kota,
bersenang-senang, seolah-olah telah mencapai kesuksesan seperti China, Jepang,
dan Singapura.
Ajakan
nenek moyang, yang kita anggap bodoh dan ketinggalan zaman itu, menekankan
pentingnya proses daripada hasil. Kalau prosesnya benar, tak penting lagi
hasilnya memuaskan atau tidak. Hidup ini ibadah sepenuhnya. Kewajiban Anda
melakukan apa yang harus dilakukan, sedang kita sekarang memetik buah tanpa
menanam. Nafsu memetik tanpa peduli kerja.
Sebagai
bangsa yang religius, sejak dulu kita diajari menahan hawa nafsu egoisme kita.
Semua agama, mengikuti Arnold Toynbee, bertujuan sama: menekan egoisme manusia.
Bahkan, beberapa agama menganjurkan memperkecil atau menghilangkan nafsu
egoisme. Aku bernafsu, maka aku ada. Libido ergo sum.
Ilmu Kosong
Itu
sebabnya, dahulu dikenal ilmu kosong. Berkuasa tak berlaku seperti penguasa.
Menang tak berlaku seperti pemenang. Kaya tak berlaku seperti orang kaya.
Pandai tak mengaku pandai. Jangan seperti sekarang, tak kaya mengaku kaya, tak
punya kuasa mengaku berkuasa, tak pandai mengaku dirinya pandai. Itu bukan
Indonesia.
Kalau
Anda kaya dengan proses mengumpulkan kekayaan secara benar, kantong Anda harus
bolong. Sebanyak kekayaan Anda terima, sebanyak itu pula Anda harus beramal
bagi orang yang butuh. Jangan anut ilmu kantong buntet yang dikancing
rapat-rapat begitu uang masuk.
Kekayaan
itu bukan soal kepemilikan, tetapi soal penggunaan. Orang yang sungguh-sungguh
kaya adalah yang banyak berbuat baik dengan kekayaan itu. Orang yang
sungguh-sungguh berkuasa adalah yang banyak berbuat baik dengan kekuasaannya
itu. Orang yang sungguh-sungguh pandai adalah yang banyak berbuat baik dengan
kepandaiannya itu.
Kekayaan,
kekuasaan, kepandaian adalah kekuatan yang dapat melayani nafsu baik atau nafsu
jahat. Semua itu dapat menjerumuskan Anda ke nama busuk atau mengangkat ke nama
harum. Semua itu tak Anda bawa setelah masuk kubur. Semua itu benda dunia dan
hanya berlaku di dunia yang kian kecil ini.
Tentu
ini cuma berlaku bagi yang mengaku religius. Bagi mereka yang sekuler dan
profan, kekayaan, kekuasaan, dan kepandaian juga beban. Takut bangkrut dan
jatuh miskin, sedih dicopot dari jabatan, Anda membenci yang melawan kecerdasan
Anda.
Bangsa
ini harus merenungkan kembali libidonya yang sekarang diumbar. Belajar kembali
dari filsuf Descartes dan kearifan para penyair serta empu-empu tua Indonesia
bahwa pengetahuan rasa itu penting. Pikiran adalah jembatan libido dan
perbuatan. Hasil perbuatan adalah pengalaman nilai rasa tentang pantas
tidaknya, benar tak benarnya, dan tak baik. Libido tanpa kendali akan
merobohkan bangsa ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar