Menunggu Godot Regulasi Pengendalian Tembakau
Tulus Abadi, ANGGOTA PENGURUS HARIAN YAYASAN LEMBAGA KONSUMEN INDONESIA
Sumber
: KORAN TEMPO, 28 November 2011
Waiting for Godot! Itulah novel tersohor
karya Samuel Beckett, penerima Hadiah Nobel di bidang kesusastraan asal Dublin,
Irlandia (1953). Pesan moral novel tersebut sungguh tepat untuk menggambarkan nasib
regulasi pengendalian tembakau di Indonesia; khususnya yang diusung oleh
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Produk Tembakau Sebagai
Zat Adiktif.
Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, seharusnya RPP dimaksud telah disahkan pada
November 2010. Kendati telah molor satu tahun, hingga kini (November 2011)
nasib RPP tersebut tidak begitu jelas juntrungannya. Bukan hanya soal waktu
pengesahan, tapi juga substansinya.
Secara normatif, sesungguhnya ini pelanggaran
serius; karena pemerintah tak hanya bisa dikategorikan melakukan perbuatan
melawan hukum (onrechmatigdaad), tapi juga melakukan penyalahgunaan kekuasaan
(abuse of power). Karena itu, banyak hal yang patut dipertanyakan atas
ketidakjelasan (ketidakpastian) nasib RPP dimaksud.
Intervensi
Industri
Patut diduga molornya pembahasan dan
pengesahan RPP tentang Pengamanan Produk Tembakau tidak lepas dari kuatnya
intervensi industri rokok. Model semacam ini sudah menjadi kelaziman di seluruh
dunia, betapa kuatnya intervensi industri rokok ada suatu regulasi. Bahkan tak
jarang mereka “membeli”pejabat publik untuk tidak mengesahkan suatu aturan (delete
tactic) atau setidaknya menunda suatu aturan (delay tactic). Relevan dengan konteks
ini adalah fenomena hilangnya ayat 3 pada Pasal 113 Undang-Undang tentang
Kesehatan, saat disahkan pada sidang paripurna (Oktober 2009). Hilangnya ayat
ini jelas bukan karena faktor teknis, melainkan upaya gerilya yang amat
sistematis oleh industri rokok, yang berkongsi dengan (oknum) anggota Dewan
Perwakilan Rakyat.
Juga dengan keberadaan RPP Pengamanan Produk
Tembakau ini. Sejak awal, industri tembakau kelojotan bak cacing kepanasan.
Ratusan bahkan ribuan petani dari Temanggung, Jawa Tengah, pun dikerahkan untuk
menekan Kementerian Kesehatan agar membatalkan pembahasan RPP Pengamanan Produk
Tembakau. Padahal sangat ironis kalau kalangan petani tembakau ramai-ramai
menolak RPP; apa hubungannya RPP dengan petani tembakau? Praktis tidak ada,
baik secara tersurat (langsung) maupun tersirat (tidak langsung). Sayangnya,
para petani (dan asosiasi petani tembakau) begitu mudah dikendalikan oleh
industri rokok: bak kena hipnotis kelas tinggi!
Substansi
RPP
Jika mengacu pada standar
internasional, atau bahkan standar universal pengendalian tembakau, sebenarnya substansi
yang diatur RPP Pengamanan Produk Tembakau biasa-biasa saja, bahkan elementer.
Sebab, RPP tersebut hanya mengatur dua hal, yakni masalah kawasan tanpa rokok
(KTR). Pasal ini hanya mengatur agar orang tidak merokok sembarangan, khususnya
saat di tempat publik. Adalah hak asasi nonperokok
untuk mendapatkan udara yang sehat dan
bersih, tanpa diintervensi oleh asap rokok. Bahkan RPP ini masih mengakomodasi
adanya smoking room bagi perokok. Ketentuan semacam ini sejatinya tidak sesuai
dengan standar Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Selain mengatur masalah KTR, RPP ini
mengatur peringatan kesehatan bergambar (pictorial health warning); 50 persen
dari bungkus, di bagian depan dan belakang. Peringatan kesehatan bergambar
sangatlah penting, untuk memberikan informasi yang utuh tentang bahaya rokok
bagi konsumen. Namun justru pasal inilah yang ditolak oleh kalangan industri
rokok. Mereka meminta agar peringatan kesehatan tetap dengan tulisan tapi
diperbesar ukurannya atau peringatan kesehatan bergambar tapi hanya 30 persen.
Keberatan kalangan industri rokok secara empiris layak ditolak, karena selama
ini mereka telah mampu mengekspor produk
rokok ke luar negeri dengan menggunakan peringatan kesehatan bergambar. Jadi
apa yang memberatkan?
Apakah mereka lebih tunduk kepada regulasi
negara asing ketimbang regulasi di negerinya sendiri?
Segera
Sahkan!
Tunjukkan kepada rakyat Indonesia bahwa
pemerintah patuh hukum, bukan malah sebaliknya. Tunjukkan pula bahwa pemerintah
tidak tunduk kepada intervensi industri rokok. RPP Pengamanan Produk Tembakau
bukanlah palu godam yang mematikan bagi petani tembakau dan industri rokok.
Petani tembakau masih tetap punya kemerdekaan untuk menanam tembakau. Industri
rokok masih tetap leluasa berjualan
rokok, bahkan beriklan dan berpromosi.
Sangat tidak mungkin 65 juta perokok aktif di Indonesia berhenti merokok hanya
karena diterapkan kawasan tanpa rokok dan peringatan kesehatan bergambar.
Kalaupun cukai dan harga rokok dinaikkan setinggi langit, plus iklan dan
promosinya dilarang total, industri rokok akan tetap berjaya. Kurang apa lagi?
Maka tak secuil pun alasan bagi
pemerintah untuk terus mengulur pengesahan RPP tentang Pengamanan Rokok Sebagai
Zat Adiktif. Apalagi setelah Mahkamah Konstitusi menolak dengan tegas
permohonan uji materi Undang-Undang Kesehatan, yang diajukan oleh kubu industri
rokok (perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010 dan Nomor
34/PUU-VIII/2010). Putusan MK tersebut
seharusnya menjadi kekuatan moral bagi pemerintah untuk mempercepat pengesahan
RPP Pengamanan Produk Tembakau.
Indonesia adalah surga bagi industri rokok.
Serbuan industri rokok asing (multinasional) pun kian tak terbendung. Nihilnya
regulasi menjadi penyebab utama fenomena itu. Korbannya, lebih dari 420 ribu
orang meninggal oleh penyakit akibat konsumsi rokok.
Perokok anak-anak dan remaja tumbuh subur,
bahkan persentasenya tercepat di dunia. Lebih dari 20 juta masyarakat miskin
terperangkap dalam konsumsi rokok yang amat akut. Akankah negara ini menjadikan
mereka “tumbal abadi” demi memelihara nafsu serakah industri rokok?●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar