Mengelola Bank di Saat Krisis
Muhammad Chatib Basri, EKONOM, PENDIRI CRECO RESEARCH INSTITUTE
Sumber
: KOMPAS, 25 November 2011
Jika
ada satu benang merah dari krisis 1930-an sampai krisis Eropa, itu adalah pasar
keuangan. Dan ini dipicu oleh apa yang disebut Keynes sebagai animal spirits.
Hari-hari
ini kita lihat situasi di Eropa semakin tak pasti. Lebih dari itu, situasi
diperburuk dengan penjualan massal obligasi pemerintah dari sejumlah negara.
Sejak
beberapa bulan lalu kita melihat meningkatnya perilaku para investor
menghindari risiko dengan meninggalkan pasar keuangan di Asia. Ketidakpastian
di sektor keuangan akan mendorong animal spirits dan perilaku latah (herd
behaviour). Dalam situasi tak pasti, individu dalam sebuah kelompok akan
mencoba mengurangi risiko dengan bergerak mengikuti pola kelompoknya.
Contohnya: ketika sebuah produk keuangan mulai dilepas dan harga jatuh, orang
berduyun-duyun menjual produk itu, sering tanpa sepenuhnya punya informasi
lengkap soal produk itu.
Untuk
mengurangi risiko, sektor keuangan, termasuk perbankan, melakukan pengurangan
risiko dengan suntikan modal di Eropa. Apa implikasinya kepada Asia? Pasokan
kredit ke Asia turun signifikan. Tak dapat dimungkiri bahwa perbankan di Eropa
memiliki pinjaman cukup besar di beberapa negara Asia, khususnya yang bersifat
jangka pendek.
Perbankan
atau perusahaan yang meminjam dari Eropa akan terkena. Untungnya, pinjaman ini
sebagian dibiayai deposan lokal lewat cabang bank-bank Eropa di Asia sehingga
tak terlalu rentan. Namun, terjadinya pengurangan risiko dengan suntikan modal
akan membuat banyak negara di Asia mengalami credit crunch, berhentinya
penyaluran kredit. Pemicunya bisa berawal dari penarikan seluruh pembiayaan
dari sektor perbankan domestik dan pasar derivatif, atau secara langsung lewat
penurunan suplai kredit ke nonbank. Selain itu, kredit untuk perdagangan juga
amat rentan terhadap upaya korporasi untuk mengurangi utang (deleveraging) di
beberapa negara Asia.
Tetap Berdampak
Bagaimana
Indonesia? Bukankah kita tak memiliki keterkaitan yang besar terhadap perbankan
di Eropa? Benar! Namun, jangan lupa, efek tular akan terjadi melalui
negara-negara Asia yang punya keterkaitan besar terhadap Eropa. Ketika
negara-negara Asia itu terkena, Indonesia juga akan terkena dampaknya.
Contoh
paling nyata dan sudah dirasakan sekarang adalah pembiayaan dollar AS. Di
banyak negara, termasuk Indonesia, kita sudah mulai melihat ketatnya likuiditas
dollar. Di sini kita harus melihat situasi perbankan dengan hati-hati.
Mengapa
kita harus hati-hati terhadap sektor perbankan dalam situasi krisis? Ada
baiknya kita belajar dari krisis 2008. Saat itu hampir semua indikator
perbankan terlihat baik. Dampak krisis baru tecermin lewat likuiditas, padahal
indikator modal dan perbankan lain relatif baik.
Basri
dan Siregar (2009) menunjukkan, dalam krisis 2008 kepercayaan antarbank menurun
tajam akibat ketidakpastian di sektor keuangan. Hal ini terlihat dari anjloknya
pinjaman antarbank dari Rp 206 triliun menjadi Rp 83,8 triliun (turun 59,3
persen) dari periode Desember 2007 hingga Desember 2008.
Akibatnya
bank-bank kecil menaikkan tingkat bunga untuk meningkatkan basis pembiayaan
mereka. Terjadilah perang tingkat bunga. Pertanyaannya: kalau terjadi guncangan
di sektor keuangan lagi—dengan risiko terkenanya sektor perbankan—apakah pemerintah
dan Bank Indonesia (BI) berani mengambil langkah yang diperlukan untuk
menenangkan sektor keuangan?
Dalam
kondisi seperti ini, penting sekali kita memiliki sektor perbankan yang amat
kuat. Namun, langkah ini harus dilakukan dengan hati-hati. Saya menduga dampak
krisis utang Eropa baru mulai terasa di Indonesia pada triwulan pertama 2012.
Sebelum
itu datang, saya ingin mengingatkan bahwa ada beberapa kebijakan perbankan
berisiko membahayakan sektor perbankan jika diimplementasikan dalam situasi
ketidakpastian global.
”Anjuran”
dan ”keinginan” BI mendorong kredit perbankan tentu hal yang baik. Namun,
jangan dilupakan bahwa ekspansi kredit secara teknis akan membuat rasio
kecukupan modal (CAR) menurun. Jika CAR turun, pemilik bank harus menyuntik
modal. Ada implikasi yang tak kecil kepada perbankan skala menengah dan kecil.
Kebutuhan modal jadi amat penting dalam kondisi ketika perbankan rentan
terhadap tekanan likuiditas dan gejolak keuangan global. Jika menginginkan
perbankan yang kuat, naikkan saja persyaratan modal secara bertahap.
Implikasinya Indonesia hanya akan memiliki beberapa bank yang kuat. Dengan
lanskap seperti ini, perbankan Indonesia akan lebih siap menghadapi krisis. Ini
tentu sangat rasional.
Pertanyaannya: mau diapakan perbankan yang kecil? Apakah
BI berani menutupnya?
Ironisnya,
di tengah keinginan BI melakukan ekspansi kredit—yang memiliki implikasi
kebutuhan modal—BI keluar dengan wacana pembatasan kepemilikan dan juga upaya
untuk pengurangan net interest margin (NIM) agar tingkat bunga pinjaman
menurun. Pertanyaan sederhana yang muncul: insentif apa yang dimiliki perbankan
jika di satu sisi ia diharuskan menambah modal, tetapi di sisi lain NIM dan
kepemilikannya dibatasi. Siapa orang yang berminat diminta ekspansi atau tambah
modal dengan kepemilikan yang semakin berkurang dan keuntungan yang juga
semakin kecil? Kita tahu bahwa dalam struktur perbankan kita, kompetisi terjadi
pada sisi pembiayaan, tetapi bukan sisi pinjaman. Ini disebabkan oleh informasi
yang tak simetris dan struktur pasar perbankan yang tersegmentasi.
Harus Sangat Hati-hati
Saya
mengerti dan mendukung sepenuhnya kehati-hatian BI soal kemungkinan
penyalahgunaan kredit perbankan untuk kepentingan pemilik dengan memberikan
kredit berlebihan kepada kelompok usaha pemilik atau persoalan penipuan di
sektor perbankan. Jika isunya tata kelola yang baik, minta sektor perbankan
melepas ke publik 40 persen sahamnya. Dengan demikian, bank jadi lebih
transparan dan patuh kepada aturan tata kelola. Untuk governance, BI juga dapat
mengendalikan langsung melalui uji kelayakan dan kepatutan. Gunakan instrumen
ini secara efektif dan bukan dengan cara melakukan berbagai regulasi perbankan
melalui NIM atau kepemilikan.
Kekhawatiran
utama saya yang utama: gejolak pasar keuangan global masih akan terus terjadi
dan sektor yang paling rentan di seluruh dunia, termasuk Indonesia, adalah
perbankan. Kita baru akan memasuki masa guncangan sektor keuangan. Dalam
situasi seperti ini, BI harus sangat hati-hati dengan aturan-aturan yang dapat
menimbulkan gejolak dalam sektor perbankan karena perekonomian Indonesia secara
keseluruhan ada dalam taruhan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar