Modus Baru Pencucian Popularitas
Jannus TH Siahaan, KANDIDAT
DOKTOR SOSIOLOGI DI FISIP UNIVERSITAS PADJAJARAN
Sumber
: SINAR HARAPAN, 23 November 2011
Jika
asas berimbang (cover both story) ditujukan untuk semata-mata
kepentingan publik, kepentingan apakah yang diperoleh pemirsa dari wawancara
pelaku bom di televisi? Ini pertanyaan serius yang pertama.
Pertanyaan
serius yang kedua adalah berpihak ke masyarakat manakah televisi, yang memberi
ruang bagi terpidana atau mantan napi korupsi untuk menceritakan kisahnya?
Akankah kelak korupsi menjadi laku wajar, yang derajat kejahatannya sama
dengan maling jemuran?
Ada
dua sebab asas berimbang di televisi diberlakukan harus secara diskriminatif.
Pertama, jurnalisme televisi tidak melulu soal fakta an sich, tapi juga
persepsi. Persepsi pemirsa dipengaruhi pilihan gambar, suara, pilihan kata,
serta drama yang menyertainya.
Faktor
ini sangkil dan mangkus mengubah profil pelaku bom menjadi
"pahlawan". Saya menyebutnya degradasi persepsi. Sekadar contoh,
Amrozi dkk pastilah bukan pahlawan, dan mewawancarainya dari balik penjara
tidak pertama-tama dimaksudkan untuk memenuhi asas berimbang, melainkan untuk
kepentingan rating saja.
Degradasi
persepsi juga terjadi pada wawancara dengan tersangka, terpidana, bahkan mantan
napi koruptor yang marak di berbagai produk jurnalistik televisi saat ini.
Alih-alih
memberi hukuman efek jera bagi koruptor, televisi justru terjebak memberi ruang
seluas-luasnya untuk tidak hanya menceritakan versinya, tapi juga menuding
bahkan tidak jarang menyebut dirinya korban dari pihak lain. Terjadi popularity
laundering. Fakta atas kebenaran dilotere berdasarkan siapa yang lebih
keras bersuara dan mendapatkan durasi tayang yang lebih panjang.
Atribut
persepsi yang keliru seperti ini membawa kita pada analisis Robert K Merton
ihwal self-fulfilling propechy. Penggiringan pandangan bahwa kejahatan
korupsi sebagai extraordinary crime pada akhirnya akan dianggap sekadar
kejahatan biasa oleh pemirsa.
Ini
memberi ruang kepada teroris dan koruptor, bahkan sering-sering menjadikannya
sebagai narasumber penting akan menimbulkan bias pada pemirsa ihwal kejahatan
kemanusiaan tersebut.
Ini
karena, menurut Merton, ingatan komunal masyarakat dipengaruhi bagaimana
masyarakat itu memahami dirinya. Artinya, efek terorisme atau pemiskinan sosial
tidak lagi disumbang korupsi, tapi karena nasib buruk. Bahkan teroris atau
koruptor yang tertangkap tangan dianggap kesialan saja.
Kondisi
ini diperburuk dengan kenyataan berita televisi tidak sungguh-sungguh bercerita
tentang apa yang sesungguhnya terjadi, melainkan apa yang mereka (produser)
sangka ingin didengar pemirsa. Fakta mungkin saja ada di televisi, tapi
kebenaran ada di luar sana, dan kebenaran yang sesungguhnya adalah rating.
Efek
buruk bias persepsi ini coba diluruskan saluran televisi BBC. Wajah
pelaku bom tidak pernah ditampilkan, apalagi diundang ke studio. Bila melakukan
wawancara, gambar pelaku bom hanya tampak dari belakang. Tak ada asas
berimbang, karena BBC berpihak kepada korban, yaitu publik.
Televisi
di China pun tak memberi ruang kepada tersangka korupsi. Wajah tersangka
korupsi ditampilkan dengan tujuan supaya pemirsa mengenali wajah si pembuat
malu keluarga itu. Sementara untuk pengacaranya berlaku diktum: pertarungan
hukum harusnya terjadi di pengadilan, bukan di ruang keluarga pemirsa.
Kepentingan
Publik
Alasan
kedua, payung etik untuk diskriminatif terhadap asas berimbang telah tersedia
justru lewat standar etika profesi jurnalis televisi itu sendiri. Bab 1 Pasal 1
Ayat 12 Pedoman Perilaku Penyiran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyebutkan
program siaran jurnalistik adalah program yang berisi berita dan/atau informasi
yang ditujukan untuk kepentingan publik berdasarkan Pedoman Perilaku Penyiaran
dan Standar Program Siaran (P3SPS) dan Kode Etik Jurnalistik.
Kata
kunci dari pasal ini adalah kepentingan publik. Asas berimbang boleh dianulir
jika berita dan/atau informasi tidak ditujukan untuk kepentingan publik.
Sampai
di sini bolehlah kita bertanya kepentingan publik yang manakah yang sedang dilayani
televisi yang mengundang pelaku bom ke studio, mewawancarai secara langsung,
memberinya ruang menjelaskan “keyakinannya” atas tragedi kemanusian itu,
kemudian mengantarkannya pulang?
Sementara
pada kasus bentrokan antar-ormas pemuda di Ciputat, Jakarta, misalnya, televisi
sering berusaha menyamarkan nama kedua ormas kepemudaan tersebut, meskipun
beritanya tidak bersinggungan dengan SARA. Di sini televisi mampu logis bahwa
menyebutkan secara gamblang nama organisasi kepemudaan yang terlibat bentrok itu
tak memperbaiki keadaan.
Benar,
diskriminasi terhadap asas berimbang pada jurnalisme televisi tak lantas
mencederai kebebasan pers itu sendiri. Namun keberpihakan pada korban dan
publik pembayar pajak adalah sesuatu yang tidak boleh dikompromikan.
Memberi
jam tayang kepada pelaku teror adalah teror itu sendiri. Ihwal tersangka
korupsi, biarlah pengadilan menjadi ruangnya. Televisi bukan tempat yang pas
untuk membela diri, membantah, dan sembari membenarkan diri sendiri.
Merujuk
pada analisis Baudrillard, fakta di televisi adalah sumber virtual pengetahuan
mengenai dunia dan pembentuk pandangan hidup, melebihi tanah kelahiran atau
ruang nyata kehidupan, yang seluruhnya artifisial. Pemirsa harus dilindungi
dari kebenaran artifisial, yang sering hanya memenuhi selera purba.
Meminjam
analisis Bill Kovach dalam bukunya Blur, saatnya kini televisi membantu
masyarakat memilih dan memilah informasi yang tersedia sebagai akibat dari
tsunami informasi. Hanya dengan cara inilah ingatan komunal yang autentik,
murni, dan jujur dari masyarakat, seperti yang diidealkan Merton, dapat terus
disegarkan.
Kita
butuh institusi masyarakat yang jujur. Syarat memadai untuk mencapai hal itu
hanya dengan mewujudkan komunikasi sosial yang jujur, sebagaimana yang pernah
disebutkan Gus Dur sebagai hal penting yang sangat diimpikannya bisa terwujud
di negeri ini. Langkah itu sangat diperlukan untuk memulihkan Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar