Memikat Generasi Cerdas dan Kreatif Menjadi Guru
Yohanes Nugroho Widiyanto, DOSEN UNIKA WIDYA MANDALA, SURABAYA
Sumber
: KOMPAS, 26 November 2011
Usaha
pemerintah dan DPR untuk meningkatkan kualitas pendidikan lewat peningkatan
harkat dan martabat guru pantas dihargai. Kini para guru yang bersertifikasi
mulai bisa tersenyum dengan membaiknya pendapatan mereka.
Kebijakan
terhadap guru yang sedang bertugas ini (in-service teachers) harus diiringi
langkah yang konkret terhadap para calon guru (pre-service teachers). Puluhan
tahun profesi guru jadi profesi yang tidak menarik para generasi cerdas dan
berbakat karena tak adanya jaminan kesejahteraan bagi mereka. Tantangan memikat
siswa SMA/K terbaik sebagai calon guru semakin berat apabila kita tidak paham
ciri khas mereka yang diidentifikasi sebagai generasi Y dan Z.
Wacana
tentang perbedaan generasi (baby boomers, X, Y, dan Z) memang menunjuk pada
situasi di Amerika Serikat sehingga tidak sungguh-sungguh menggambarkan kondisi
di Indonesia. Akan tetapi, pengaruh globalisasi yang sangat kuat membuat wacana
ini juga menampakkan wajahnya dalam diri para generasi muda kita walaupun
mungkin terjadinya ”terlambat” satu dekade sesudahnya. Di negara asalnya,
generasi Z adalah generasi yang lahir pasca-1996, sedangkan generasi Y lahir
pada 1981-1995.
Kenneth
Young (2009) menyarikan ciri khas generasi Y dan Z dibandingkan generasi
sebelumnya sebagai berikut. Generasi ini sangat dipengaruhi keberadaan
internet. Bahkan, generasi Z digambarkan sebagai digital native, di mana mereka
sudah akrab dengan dunia digital sejak masih usia dini. Sudah jamak terjadi,
sejak belum mengenal baca tulis (literasi) sekalipun mereka sudah memainkan
gadget-gadget digital dalam bentuk video game saat mereka menunggu naik pesawat
atau dalam perjalanan di mobil.
Salah
satu ciri khas mereka adalah kemampuan melakukan berbagai pekerjaan dalam waktu
bersamaan. Misalnya, saat mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah, mereka
mencari informasi lewat internet sambil mendengarkan musik lewat iPod dan
sesekali memperbarui status mereka di Facebook atau Twitter atau memberikan
komentar pada status teman mereka. Tidak heran apabila saat berselancar di dunia
maya mereka membuka begitu banyak laman dalam waktu bersamaan.
Dalam
soal kerja, generasi ini sangat menyukai tantangan. Mereka ulet dan sangat
menghargai kepemimpinan yang kolaboratif. Kalau Anda ingin membuat mereka
termotivasi dalam kerja, pesan yang mereka inginkan adalah: ”Anda akan bekerja
bersama dengan rekan lain yang cerdas dan kreatif seperti Anda”.
Perlu Tantangan
Dengan
karakteristik seperti ini, sejauh mana profesi guru bisa memikat mereka?
Seiring
dengan perbaikan kesejahteraan guru, ada potensi untuk memikat bagian terbaik
dari generasi Y dan Z ini jadi calon guru. Akan tetapi, tanpa usaha sejumlah
pihak, jangan salahkan kalau generasi guru mendatang hanya akan diperebutkan
oleh calon guru kelas dua atau mereka yang sekadar mencari aman sehingga tak
memiliki usaha maksimal untuk mengembangkan diri dan profesinya.
Pihak
yang paling dekat dalam memikat para calon guru ini adalah para guru itu
sendiri. Menjadi pertanyaan besar: apakah para guru juga beradaptasi dengan
karakteristik siswa yang mereka ajar ataukah masih bersikeras memakai cara dan
alat dari ”zaman batu” dalam menyampaikan pengajaran di kelas? Apakah para guru
masih fobia akan teknologi dengan hanya menggunakan papan tulis dan kapur dan
tidak memperkaya dalam menggunakan alat peraga semacam powerpoint atau smart
board?
Juga,
apakah para guru hanya menggunakan buku pegangan dalam mengajar dan memberi
pekerjaan rumah, ataukah meminta siswa menggunakan internet sebagai sumber
informasi yang kaya? Apakah para guru juga berkomunikasi dengan siswa dan
orangtua siswa lewat blogging atau microblogging sehingga siswa merasa jadi
bagian dari komunitas yang dibangun para guru tersebut di luar batas-batas
tembok ruang kelas? Keterampilan guru dalam memanfaatkan fasilitas digital
dalam proses belajar-mengajar sehari-hari akan membuat para digital native ini
merasa tertantang untuk menekuni profesi ini, yang memberi keleluasaan kepada
mereka untuk tumbuh dan berkembang.
Pihak
kedua yang paling bertanggung jawab: lembaga pendidikan tenaga kependidikan,
negeri maupun swasta, yang menyiapkan calon guru. Para pengelola harus
menampilkan wajah percaya diri bahwa lembaganya menampung putra-putri terbaik.
Pembedaan jalur kependidikan dan non-kependidikan pada seleksi masuk PTN harus
dihapus karena tanpa sadar menomorduakan para calon guru.
Pengelola
di PTS juga harus berani menerima mahasiswa baru dalam jumlah kecil tetapi
berkualitas daripada asal menerima siapa pun demi mendapat uang dari mahasiswa.
Semakin mudah proses untuk menjadi calon guru, semakin tidak menarik profesi
ini bagi generasi ini.
Pihak
ketiga adalah pemerintah dan DPR yang menyiapkan peraturan dan anggaran untuk
sektor pendidikan. Sudah saatnya profesi ini ditantang untuk bersaing dengan
sehat. Kesempatan untuk studi lanjut, penambahan fasilitas sekolah, bahkan
bonus atau hadiah harus diperebutkan dan tidak sekadar diobral. Para generasi Y
dan Z harus diyakinkan bahwa impian mereka pelesir ke luar negeri atau membeli
gadget iPod terbaru bisa diwujudkan lewat profesi guru asal ulet dalam meraihnya.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar