Konglomerasi dan Kompromi Media
Veven Sp.Wardhana,
PENGHAYAT BUDAYA MASSA
Sumber : KORAN TEMPO, 24 November 2011
Manakah yang lebih berbahaya, korporasi antarmedia dengan
kemungkinan kompromi lintas-sektor antarinstitusi media massa atau dengan institusi
lain nonmedia? Selama ini sudah cukup dipersoalkan perihal bergabungnya dua
media massa, terutama televisi, ke dalam satu panji holding company. Yang
terakhir adalah berkorporasinya Surya Citra Televisi (SCTV) dengan Indosiar,
setelah sebelumnya tergabung pula Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan
Global TV dengan Media Nusantara Citra (MNC) TV, yang sebelumnya
bernama Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), selain TransTV bersama TV7
yang kemudian bergantinama menjadi Trans7.
Selebihnya, Antv juga menyatu dengan Lativi, yang
bermimikri menjadi TV One. Dengan demikian, jika misalnya ada 10 nama stasiun
televisi, tak berarti sepuluh-sepuluhnya itu yang bersaing memperebutkan perhatian
pemirsa, yang muaranya
adalah perebutan penghitungan peringkatdan penanggukan biaya
pemasangan iklan,
yang dijadikan titik utama perburuan penyiaran. Jabarannya, TV
One tak hanya berkurang satu pesaing bernama Antv, tapi juga tak
lagi berhadapan dengan trio
RCTI-MNC TV-Global TV karena
ketiganyabisa dibilang sudah menjadi satu sebagaimanamenghadapi duo TransTV-Trans7
sebagaisatu nada satu irama dalam korporasiPT Trans Corporation.
Memang akhirnya terkesan terjadi monopoli penyiaran atau
kepemilikan alokasi frekuensi kepada lembaga yang itu-itu belaka. Namun,
setidaknya bagi saya, terjadinya
pelbagai korporasi itu justru melahirkan minimalnya dua hal.
Pertama, “mempermudah”
pemirsa untuk menentukan sikap dalam memilih menu tayangan
sekaligus memilih stasiun televisi tertentu. Jika mau mencari tayangan komedi-dagelanslapstik,
sekadar misal, pemirsa bisa langsung menuju TransTV dan/atau Trans7;
sebagaimana pemirsa juga langsung pula memilih saluran SCTV dan/atau Indosiar
jika—sekali lagi: sekadar misal—doyan sinema televisi, baik yang berpola
sinetron serial berpanjang-panjang maupun sinetronlepas laiknya FTV alias film
di televisi.
Hal kedua, korporasi sesama media televisi menjadikan pola
penyiaran kian terkerucut
laiknya siaran televisi di Amerika Serikat yang siaran nasionalnya
hanya diisi oleh tiga stasiun televisi, yakni American Broadcasting Company
(ABC), National Broadcasting Company (NBC), dan Columbia Broadcasting
System (CBS)—ditambah jaringan Fox.
Yang sesungguhnya perlu lebih dicermati adalah jika terjadi
“korporasi”atau yang semacamnya (lebih tepatnya mungkin: konglomerasi) para
pengusaha media televisi
dengan institusi bisnis dan/atau partai politik. Bergabungnya Hary
Tanoesoedibjo ke
Partai NasDem memang bukan fenomena baru, namun langkahnya
memperlengkap
adanya kepemilikan media sekaligus kepemilikan institusi lain yang
nonmedia—yang
dalam banyak hal masing-masing sama-sama memiliki kekuatan.
Dalam beberapa hal, langkah Hary Tanoe ini memperkomplet
langkah-langkah yang sebelumnya lebih konkret ditempuh Surya Paloh, sang
“pemilik”Partai NasDem alias Nasional Demokrat itu—dan karenanya saya katakan
lebih konkret. Bersejajar dengan kepemilikan lintas sektor ini adalah yang
dilakukan Aburizal Bakrie, pengampu TV One dan ANTV yang
sekaligus Ketua Umum Partai Golkar.
Jangan kata kepemilikan lintas sektor macam ini, kepemilikan
silang sesama media —televisi dan media cetak, misalnya—pun terindikasi adanya
kemungkinan bias.Ketika tabloid Nova, salah satu suku usaha Kelompok
Kompas-Gramedia, bekerja sama dengan sebuah stasiun televisi, tabloid bersangkutan
tak bakal melakukan kritik terhadap mata tayangan televisi yang menjalin kerja
sama. Bersejajar dengan harian
Kompas, yang relatif paham bahwa KompasTV,
yang mendaku sebagai content provider atau penyedia program tayangan, pastilah
bakal semata mempertebal posisi
KompasTV sebagai content provider itu
sekalipun laku operasional KompasTV lebih
mendekati sebagai lembaga penyiaran—dan hal terakhir ini yang sama
sekali tak disinggung harian Kompas, mengingat lembaga regulator
Kementerian Komunikasi
dan Informatika serta rekomendasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
belum meluluskan izin frekuensi untuk KompasTV.
Sama dan sebangun dengan Media Indonesia, surat kabar ini
dengan gamblang
mengalokasikan sebagian halamannya menjadi semacam katalogus mata acara
MetroTV, sehingga langka kemungkinan media cetak ini bersikap kritis
terhadap media televisi yang berada dalam satu payung kepemilikan ini.
Jika analogi ketidakkritisan lintas media dalam satu payung ini
direpresentasikan ke lingkup kepemilikan lintas sektor, yang besar kemungkinan
terjadi bukan saja sikap kritis yang tidak muncul, bahkanmedia televisi bakal
dijadikan corong untuk menghumaskan partai politik. Laku ala TVRI, yang
memberi ruang sangat longgar dan panjang kepada Menteri Harmoko pada era Orde
Baru, ditambah tayangan Laporan Khusus di TVRI sesudah jam-jam Dunia
dalam Berita, yang hanya boleh diisi oleh pseudo-dialog dengan Presiden Soeharto,
gelagatnya sudah dilakukan MetroTV yang memberi tempat sedemikian terhormat
kepada orasi Surya Paloh dalam kunjungannya sebagai petinggi tertinggi Partai
NasDem ke pelbagai daerah, itu pun masih ditambah kutipan pernyataanyang
tersampaikan dalam tayangan ala laporan jurnalistik. Bisa dipastikan, kian
mendekati ajang perpolitikan tahun 2014 itu tak sebatas MetroTV yang
memberi ruang lapang kepada Surya Paloh dan Partai NasDem, tapi juga kelompok
usaha media PT Media Nusantara Citra, yang membawahkan RCTI, MNC TV, SindoTV,
surat kabar Seputar Indonesia, juga jaringan SindoRadio yang tersebar di
18 kota di Indonesia.
Menghumasi partai politik melalui media massa sesungguhnya hanya
salah satu dari konsekuensi kepemilikan lintas sektor itu, yang merupakan
kelanjutan dari penghumasan atas bisnis institusi niaga nonmedia para pemilik
media. Saya kira, bakal
susah kita temukan pemberitaan perihal sisi-sisi negatif lubernya
lumpur panas yang membentuk kuala baru di Sidoarjo, Jawa Timur, mengingat
peluberan itu dimusababkan
—langsung atau tak langsung —oleh PT Lapindo, yang dimiliki
pemilik TV One dan kawan-kawan. Dalam perspektif lain, jika kemudian
stasiun televisi atau media massa lainnya cenderung getol memberitakan
kenegatifan seputar PT Lapindo, masih perlu dipertanyakan: itu murni sebagai
laporan jurnalistik yang memang mensakralkan fakta dan data ataukah itu
dilakukan oleh lawan politik dan/atau lawan bisnis nonmedia yang dikumandangkan
melalui kemasan media massa?
Saya tak tahu apakah kepemilikan lintas sektor ini menjadi dilema
bagi media bersangkutan, setidaknya bagi pekerjanya. Jika pilihan sikap media
yang menjadi corong tak memunculkan konflik batin dalam diri para pekerjanya,
itu menjadi hak yang bersangkutan, selain hal itu mempertegas kredibilitas
media bersangkutan bagi benak khalayaknya. Atau jika para pekerjanya bersikap “profesional”
dengan terjemahan “berberita boleh menjadi humas, toh rahasia di balik ruang
coblosan tetap urusan individu”, tetap saja yang tampak di hadapan khalayak
atau publik adalah peran dan pemeranan humas itu. Setidaknya pada masa-masa
belakangan ini saya tak menemukan sikap sebagaimana pernah dilakukan para
jurnalis Seputar Indonesia
yang pada bulan-bulan sesudah Juli-Agustus 1999, pasca-pemilihan
umum 1999, terhadap Pemimpin Redaksi RCTI Chrys Kelana, yakni memprotes output
atau keluaran dalam pemberitaan yang berbeda dibanding outcome (hasil)
peliputan yang mereka dapatkan di lapangan. Titik pijak protes itu adalah hasil
pemantauan yang
saya lakukan bersama kawan-kawan di Institut Studi Arus Informasi
(ISAI) bersama
Article XIX.
Protes para pekerja di Departemen Pemberitaan RCTI ini bisa
dikatakan sebagai langkah lanjut atau jalan keluar atau pilihan akibat
munculnya dilema itu. Kini, setidaknya subyektif pemahaman saya, belum termunculkan
indikasi adanya dilema
itu.Yang sesungguhnya dihadapkan pada dilema adalah publik atau
khalayak konsumen media. Pasalnya, tak semua pemirsa tahu benar sisik-melik dan
anatomi lembaga bisnis dan partai politik apa saja yang satu afiliasi dengan
media massa komplet dengan deretan tayangan-tayangannya.
Jika khalayak terpahamkan anatomi dan sisik-melik kepemilikan
lintas sektor itu, ada dua hal dapat dilakukan. Pertama, matikan atau pindahkan
saluran televisi jika layar memampangkan sosok-sosok para petinggi itu. Hal
kedua, tak perlu mematikan saluran siaran, namun baca secara terbalik segenap
hal yang dinyatakan dalam pemberitaan atau yang sejenisnya. Jika diwartakan terjadi
kisah sukses, maka nilailah secara sebaliknya: yang diberitakan adalah perihal
kegagalan.
Setidaknya, macam itulah yang pernah dilakukan semasa TVRI bersinergi
dengan penguasa—komplet dengan berderet anasirnya: Golkar, tentara aparat
penguasa (bukan aparat rakyat), birokrat, dan seterusnya.●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar