Koalisi Soekarno-Soeharto versus Sarwo Edhie
Christianto Wibisono, PENULIS
BUKU WAWANCARA IMAJINER DENGAN BUNG
KARNO 1977
Sumber
: KORAN TEMPO, 30 November 2011
Pada
Kamis, 13 Oktober, saya mengikuti seminar bertema “Krisis Keuangan dan Pangan,
Peluang atau Ancaman?” Ketua Umum PDIP Megawati dalam pidato pembukaan langsung
menyindir Sofjan Wanandi. “Pak Sofjan ini dulu yang demo menjatuhkan bapak
saya, Bung Karno. Tapi sekarang ini dia justru curhat sama saya, mengadu, ‘Ini
krisis keuangan dan pangan dunia gawat, Bu. Kita harus melakukan sesuatu.’
Maka, FPDIP menggelar seminar ini untuk mencari masukan demi kepentingan
nasional. ”Disindir demikian, Sofjan Wanandi tidak kurang lincah.“Bu, dulu itu
saya demo tidak anti-Bung Karno, tapi anti-PKI yang memperalat Bung Karno dan komunisme
yang mengancam RI.”
Menyaksikan
debat berciri “In politics, there are no permanent friends or enemies, only
permanent interest”, karena itu saya langsung menimpali: “Wah, kita sedang menyaksikan
koalisi Sukarno-Soeharto melawan Sarwo Edhie.”Hadirin tertawa riuh menangkap
yang tersirat dari pernyataan saya. Sekarang ini Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
terus dibayangi oleh nama besar sang mertua, Sarwo Edhie Wibowo.
Karl
D. Jackson, Indonesianis yang pada tahun 1960-an bermukim di Indonesia, membela
sikap alon-alon asal kelakon SBY dengan pernyataan di pelbagai pertemuan
bahwa
SBY belajar dari riwayat mertuanya, yang disingkirkan oleh rekan pesaing sesama
jenderal sekitar Soeharto, karena dianggap terlalu ambisius dan berbahaya bagi
posisi lingkaran dalam Soeharto. Sarwo Edhie termasuk yang cepat disingkirkan ke
luar Jakarta dalam tempo 10 tahun sejak ia menjadi “gladiator penumpas PKI” di
Jawa Tengah dan Jawa Timur, tapi tersingkir oleh klik istana Alamsyah, Ali
Moertopo, dan kawan-kawan.
Meskipun
TNI/AD seolah kompak di bawah Panglima Soeharto, eselon I jenderal sekitar
Soeharto saling sikat dan sikut. Pada 1978, Dewan Mahasiswa seluruh Indonesia menuntut
agar MPR tidak memilih Soeharto lagi.Koran termasuk Kompas dibredel bersama
buku putih mahasiswa ITB dan buku saya, Wawancara Imajiner dengan Bung Karno. Sebab, dalam wawancara ini
Bung Karno memberi nasihat agar
Soeharto
meniru George Washington dalam membatasi masa jabatan presiden hanya
dua
periode.
Bersama
Fahmi Idris dan Abdul Latief, saya berada di Seoul menjajaki kepulangan Sarwo
Edhie karena Dharsono telah ditahan oleh Benny Moerdani. Tapi situasi Jakarta
tetap terkendali dan Soeharto bahkan akan tetap berkuasa 20 tahun ke depan, sedangkan
Sarwo tetap di pinggiran sampai akhir hayatnya sebagai mantan anggota DPR.
Sarwo mengundurkan diri dari DPR karena Soeharto tidak memilihnya menjadi Ketua
DPR, yang diberikan kepada Kharis Soehoed. Padahal Sarwo sudah meninggalkan
posisi Kepala BP7 yang memimpin penataran P4.
Karl
D. Jackson memakai teori behavioral politics sebagai pembelaan terhadap sikap
SBY yang dinilai kurang tegas. Sebetulnya memang ironis bahwa kritik para oposan
SBY sekarang ini membandingkannya dengan Soeharto. Kenapa SBY tidak berani seperti
Soeharto. Tentu saja tidak, karena sejak Reformasi, maka sistem presidensial
telah disandera oleh sistem parlementer. Karena partai presiden terpilih tidak
berhasil menjadi
mayoritas, maka partai berkuasa harus berkoalisi dengan mitra untuk mempertahankan
kursi presiden. Siapa pun tokohnya yang menjadi presiden, jika berada dalam
posisi minoritas di parlemen pasti harus melakukan koalisi, kalau tidak ingin
dimakzulkan seperti Sukarno, Soeharto, Habibie, dan Gus Dur.
Setelah
Dekrit Presiden 5 Juli, Djuanda menjadi Menteri Pertama sampai wafat pada
November 1963. Bung Karno menunjuk presidium tiga waperdam untuk mendampingi
memimpin
kabinet sampai mereka dijatuhkan oleh Soeharto pada 1966. Sama seperti Syahrir
yang mengkup Sukarno dari posisi perdana menteri melalui dominasi parlemen yang
waktu itu bernama KNIP, Soeharto melengserkan Bung Karno juga melalui mekanisme
Sidang Istimewa MPRS. Setelah itu, dengan manuver intrik politik yang
manipulatif dan opresif, Soeharto menjadi presiden otoriter sampai
1998,walaupun pada 1978 pernah mengalami ancaman Dewan Mahasiswa seluruh
Indonesia yang menuntut masa jabatan presiden dibatasi dua kali saja.
Benang
merah dari jatuh-bangun atau bangkit lengsernya elite Indonesia penuh dengan
intrik Ken Arok. Orang kedua selalu mengancam orang pertama dan menjadi Ken
Arok terhadap mentornya. Syahrir mengkup Bung Karno melalui perubahan sistem presidensial
ke parlementer dengan alasan Sukarno adalah kolaborator Jepang. Amir
Syarifuddin sesama Partai Sosialis menggulingkan Syahrir dengan sentimen garis keras
anti-Belanda, Sukiman sesama Masyumi menggantikan Natsir. Wilopo dari PNI
dirongrong oleh ancaman kudeta 17 Oktober 1952 yang memensiunkan Simatupang dan
A.H. Nasution, KSAP dan KSAD saat itu. Simatupang pensiun, sedangkan Nasution sempat
kembali sebagai KSAD karena diangkat kembali oleh PM Burhanudin Harahap
1955, tapi kemudian Nasutionlah yang menahan mantan Perdana Menteri Syahrir, Natsir,
termasuk Burhanudin Harahap, yang mengangkatnya sebagai tapol Orla.
Bung
Karno mengangkat Soeharto yang muncul karena kematian Yani di tangan G30S, dan
memecat Nasution pada reshuffle kabinet yang akan memicu kejatuhan Bung Karno
ketika Soeharto memaksakan keluarnya Supersemar. Soeharto akan menerapkan kekejaman
mirip Zia ul Haq yang menggantung Presiden Zulfikar Ali Bhutto yang mengangkat
Zia sebagai KSAD Pakistan. Soeharto sendiri akan ditinggalkan oleh Habibie dan 14
menterinya pada kudeta berdarah “The Rape of Jakarta” Mei 1998.
Habibie
memperoleh hukum karma, karena pertanggungjawabannya ditolak dan gagal
memperoleh Hadiah Nobel, walaupun telah memberi referendum dan kemerdekaan Timor
Timur dari Indonesia. Ia mundur dari kepresidenan dan digantikan oleh Gus Dur,
melalui manipulasi politik Poros Tengah yang diprakarsai Amien Rais. Karena
bukan haknya,maka koalisi semu Poros Tengah bubar dan Megawati memperoleh
haknya sebagai partai terbesar pemilu menjadi presiden.Tapi, sebagai petahana,
Megawati justru dikalahkan oleh mantan menterinya, SBY. Dalam persepsi Megawati,
SBY adalah Ken Arok yang menikam dirinya yang menimbulkan luka sulit diobati
bahkan hingga detik ini. SBY sendiri tentu merasa Jusuf Kalla sebagai Ken Arok
yang kemudian memang menantang secara terbuka dalam pilpres periode kedua.
Problem
utama SBY sekarang ini ialah keluar dari trauma tragedi mertua Sarwo Edhie,
yang tersingkir oleh intrik rivalitas antarjenderal lingkaran dalam Soeharto, paranoid
terhadap pemakzulan atau kudeta istana sejak Sukarno, Soeharto, Habibie, dan bersaing
dengan wapresnya sendiri (JK) untuk dengan percaya diri melakukan gebrakan
politik mewariskan suatu legasi kepresidenan yang dicapai dalam sisa masa
jabatan
tiga tahun mendatang. SBY sudah bertahan dan terpilih kembali. Apakah ia hanya
akan defensif, takut dimakzulkan, berkoalisi terus-menerus dengan partai korup
dan membiarkan negara melayang bagaikan pesawat dengan autopilot?
Pesawat
RI terbang melaju 6 persen ketika pilotnya waswas, ragu ragu, dan tersandera
sesama
kru model Pansus, Panja, demo ochlocracy. Setelah sekarang melakukan reshuffle
kabinet dengan memasang birokrat profesional, maka pilot SBY harus berani
menjadi Sebastian Vettel mengemudikan KIB hasil reshuffle ini menjadi
Formula 1. Jika SBY masih tersandera oleh momok sejarah reshuffle dan
kudeta kabinet di Indonesia, maka 54 menteri dan wakil menteri hanya akan
menjadi ojek yang tenggelam dalam kemacetan kehidupan politik ekonomi nasional
di tengah kemelut lalu lintas geopolitik. Menantu Sarwo Edhie sedang menghadapi
koalisi Sukarno-Soeharto. Itulah sebabnya SBY menjadi sangat ekstra hati-hati.
Tapi,
kalau SBY tidak berhasil melakukan sprint seperti Vettel dalam tiga
tahun ini, ia akan dikenal sebagai “do-nothing surviving president”. Hanya
sukses dalam bertahan mencegah pemakzulan, tapi tidak mencapai apa-apa bagi
bangsa dan negara Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar