Jangan Berbohong untuk Pendidikan
Sidharta Susila, PENDIDIK DI YAYASAN PANGUDI LUHUR DI MUNTILAN, MAGELANG
Sumber
: KOMPAS, 25 November 2011
Pendidikan
adalah titian niscaya untuk membangun kehidupan yang bermartabat. Ketika
pendidikan diselenggarakan dengan kepura-puraan, manipulasi, bahkan kebohongan,
tragedi kehidupan segera lahir.
Pendidikan
adalah investasi jangka panjang. Buah dari ketekunan dan kesetiaan pada karya
pendidikan tak selalu bisa segera dipetik. Menekuninya berarti meniscayakan
pribadi pemuja kehidupan dengan visi hidup berkarakter dan kemampuan bertahan
dalam pengharapan.
Kebalikannya,
bagi kaum pragmatis-oportunis, pilihan bertekun dalam dunia pendidikan adalah
kekonyolan, bahkan ketololan. Dalam roh pragmatis dan oportunis, keterlibatan
mereka dalam dunia pendidikan pertama-tama dan utama demi kepentingan pribadi
yang sesaat. Dinamika pendidikan seperti ini diwarnai kepura-puraan,
manipulasi, dan kebohongan. Dunia pendidikan menjadi kendaraan untuk mencapai
ambisi pribadi atau kelompoknya sendiri.
Dinamika
pendidikan berjiwa pragmatis dan oportunis hanya melahirkan tragedi kehidupan.
Pendidikan demikian tak menuntun manusia menuju hidup bermartabat. Di tangan
kaum oportunis-pragmatis, pendidikan justru mengerdilkan dan menghasilkan
generasi yang gagap menghadapi realitas kehidupan.
Realitas
semacam itu baru saja penulis jumpai di Malawi, salah satu negara miskin di
Afrika. Lebih menakjubkan, pendidikan di negara ini gratis.
Ada
sebuah sekolah pendidikan guru berasrama—setaraf PGSD—milik pemerintah.
Kebutuhan makan dan tempat tinggal peserta didik yang lebih dari 900 orang itu
dipenuhi secara gratis.
Namun,
kondisi sekolah itu memprihatinkan. Bangunan fisiknya kokoh, tetapi tak
terawat. Perabot kelas berantakan. Lingkungan sekolah yang tak terawat itu
tentu tidak mendukung pendidikan karakter. Kondisi sekolah-sekolah lain yang
lebih rendah ternyata lebih parah. Kesan yang muncul, meski gratis, seolah-olah
sekolah hanya tempat penampungan orang muda.
Pada
realitas pendidikan semacam ini menyeruaklah beragam tanya: seriuskah negara
menyelenggarakan pelayanan pendidikan bagi warganya? Ataukah sekolah gratis itu
bagian dari permainan akal-akalan penguasa?
Pertanyaan
terakhir menyeruak karena kebetulan saja sampai saat ini Malawi dalam kondisi
politik dan ekonomi yang limbung. Aroma kemiskinan dan tindak koruptif
menyengat di segenap penjuru negeri itu. Pengetahuan politik berbagai kelompok
rakyat tentang pemimpin mereka beragam lagi kontras. Jurang kelompok kaya dan
miskin teramat lebar.
Menghindari Tragedi
Pendidikan
yang tidak dikelola dengan lugas dan sungguh-sungguh hanya melahirkan tragedi
kehidupan. Seorang sahabat yang telah lebih dari 20 tahun jadi guru di Malawi
merasakan kehampaan jiwa sebagai pendidik. Jerih payah mendidik bertahun-tahun
tak membekas dalam kehidupan anak didiknya sebagai pribadi maupun bangsa. Karya
pendidikan tak membuat mereka nyaman dengan hidup sebagai orang Malawi. Mereka
lebih merasa bermartabat jika hidup seperti orang Eropa atau Amerika.
Karena
itu, teknologi yang memanfaatkan alam dengan bertani tak pernah memesona meski
tanah mereka sangat subur. Mereka melarat di tanah yang kaya.
Belajar
dari Malawi, kebijakan pendidikan gratis tidaklah cukup. Kebijakan sekolah
gratis adalah bagian kecil dari perwujudan kesungguhan negara menyelenggarakan
pendidikan yang terjangkau, adil, dan bermutu bagi segenap warganya. Kita hanya
bisa berharap jadi bangsa berkarakter, bermartabat, percaya diri, dan hidup
mengakar di negeri sendiri ketika negara menyelenggarakan pendidikan dengan
lugas, transparan, terjangkau, adil, dan berkualitas bagi segenap warganya.
Sebaliknya
kita hanya akan jadi bangsa pecundang ketika negara menyelenggarakan pendidikan
dalam kepura-puraan, manipulasi, bahkan kebohongan. Kita bersyukur Mahkamah
Konstitusi telah mengembalikan hakikat negara yang wajib memberikan perhatian
kepada lembaga pendidikan berbasis masyarakat/swasta (Kompas, 30/9/2011). Kita
berharap tak akan pernah ada permainan akal-akalan negara terhadap nasib semua
lembaga pendidikan, khususnya sekolah swasta, termasuk pada upaya pemerintah
menetapkan gaji guru di sekolah swasta (Kompas, 12/11/2011) di negeri ini.
Meminjam
ungkapan iklan obat: untuk anak jangan main-main! Ya, jangan main-main untuk
pendidikan segenap anak bangsa kita. Di mana pun mereka belajar, mereka tetap
anak bangsa ini. Bukan semata-mata anak lembaga pendidikan tempat mereka belajar.
Atau, kita memang menghendaki tragedi kehidupan bangsa ini? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar