Narasi Bernegara
Yonky Karman, PENGAJAR DI SEKOLAH TINGGI TEOLOGI JAKARTA
Sumber
: KOMPAS, 28 November 2011
Baru-baru
ini dalam ajang Olimpiade Sains dan Matematika setingkat sekolah dasar, yang
juga diikuti Malaysia dan Filipina, peserta dari Papua meraih empat medali
emas, lima medali perak, dan tiga medali perunggu. Namun, berita yang
membesarkan hati itu tertutup eskalasi gejolak di Papua.
Sebelum
dijajah Belanda, selama berabad-abad manusia Papua yang sederhana sampai
sekarang masih begitu: sudah hidup sejahtera menyatu dengan alam. Dalam kultur
mereka, uang bukan ukuran kesejahteraan dan kerja bukan untuk uang. Hasil
tambang pun dimanfaatkan seperlunya, bukan untuk ditimbun.
Harapan
mereka ketika menjadi bagian dari Indonesia merdeka adalah kembalinya
kemandirian dan kesejahteraan yang pernah dimiliki. Mereka percaya niat baik
Negara Kesatuan Republik Indonesia membangun manusia Papua lebih cerdas dan
sejahtera. Pemerintah merasa paling tahu apa yang terbaik bagi mereka.
Narasi Pembangunan
Hutan
belantara ditebas. Jalan dan pabrik dibangun. Industri modern yang padat
teknologi dan modal disertai keterampilan penguasaan teknologi. Gabungan
investasi dan kultur kapitalistik itu melahirkan kultur yang memuliakan
keuntungan. Waktu adalah uang. Efisiensi adalah segala-galanya. Eksploitasi
baik, apa pun ongkos sosialnya. Terciptalah kultur destruktif tak ramah
lingkungan. Pembangunan ekonomi yang mengabaikan dimensi manusia.
Pemerintah
lepas tangan tak membimbing masyarakat beradaptasi dengan kultur industri.
Pendidikan keilmuan dan keterampilan tak didulukan sebagai landasan
industrialisasi. Pembentukan institusi sosial sebagai mekanisme kontrol (partai
politik, serikat buruh, dan media massa) tak dipersiapkan untuk mengawal
jalannya pembangunan. Yang lebih banyak terserap di lapangan pekerjaan pun kaum
pendatang.
Lalu,
pembangunan meluncur tanpa kendali dan tak terintegrasi ke dalam kultur dan
agama lokal. Terjadilah benturan peradaban yang keras. Manusia Papua terpental
kalah dan daya hidup kultural mereka lumpuh. Mereka tak menjadi agen
pembangunan, hanya menjadi penonton aktivitas pembangunan atau menjadi buruh
kasar yang martabatnya diukur dari jam kerja dan besaran upah.
Hasil
pembangunan di Papua tecermin dari Indeks Pembangunan Manusia di se- mua
kabupatennya sebagai terendah di Indonesia. Juga Provinsi Papua menempati
peringkat pertama untuk jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia. Kaum pendatang
dan orang asing menikmati kesejahteraan sebesar-besarnya. Eksploitasi sumber
daya alam memperkaya pemodal dan pejabat korup. Manusia Papua menjadi seperti
orang asing di tanah sendiri.
Ternyata,
NKRI sebuah bentuk penyeragaman politik pembangunan. Pembangunan hanya dilihat
sebagai sebuah proses ekonomi menyangkut angka pertumbuhan, besaran keuntungan
yang diperoleh pemerintah (pusat dan daerah), besaran uang yang masuk ke
kantong pribadi pejabat dan pemuka masyarakat.
Dalam
pembangunan, disintegrasi dan reintegrasi kultur lokal adalah sebuah proses
kultural yang menyakitkan dan menelan korban (Soedjatmoko, ”Pembangunan Ekonomi
sebagai Masalah Kebudayaan”, Konfrontasi, 1954). Tugas pemerintahlah mengurangi
rasa sakit dan jumlah korban. Pembangunan mestinya sebuah proses kultural yang
kreatif, secara sadar dilakukan masyarakat (sebagai subyek) dan dibimbing
pemerintah (sebagai fasilitator).
Paradoks Bernegara
Harapan
manusia Papua berbunga kembali dengan otonomi khusus. Pemerintah
menggelontorkan banyak uang ke sana untuk menebus kesalahan pada masa lalu.
Namun, sebagian dikorupsi dan sebagian lagi habis untuk keperluan konsumtif
dalam hitungan hari. Tanpa kultur menabung dan berdagang, uang lekas habis.
Mereka tetap terjerat rantai kemiskinan.
Daripada
memutus rantai kemiskinan, negara dengan kekuasaannya yang besar justru
melanggengkan pemiskinan. Pemerintah tak serius memberdayakan rakyat Papua,
juga tak serius memberantas korupsi besar-besaran di sana. Penyelenggara negara
membebani rakyat yang sebagian besar miskin. Sebagian besar APBN terkuras
membiayai birokrasi dengan alokasi dana dua kali lebih besar daripada anggaran
mengurangi kemiskinan.
Penguasa
kolonial tak menghendaki rakyat menjadi cerdas dan kuat. Kini mereka secara
politik adalah bagian dari bangsa merdeka, tetapi secara ekonomi seperti
terjajah. Mereka seperti menjadi korban piramida pembangunan. Stigmatisasi
negara hanya membuat mereka sah untuk dicurigai, diburu, ditangkap, dianiaya,
bahkan dibunuh.
Dengan
alasan memelihara keutuhan NKRI, pengamanan obyek vital dan kesucian kontrak,
pemerintah membela perusahaan asing dan berhadapan dengan rakyat sendiri.
Menyakiti rakyat yang menuntut keadilan hanya menambah sakit hati. Mereka
tersisih dari proses pembangunan, tetap terbelakang, semakin kehilangan harga
diri di tengah taburan simbol modern.
Masalah
Papua bukan hanya otonomi khusus yang berjalan kurang efektif, melainkan juga
ketiadaan cara pandang dan solusi radikal (radix ’akar’), yang menyentuh akar
masalah. Rakyat pun menganggap perubahan nasib harus datang dari diri sendiri,
termasuk dengan cara-cara radikal. Sayang, rakyat Papua sulit bersatu dan
berdamai.
Tanah
Papua sesungguhnya pemberian Tuhan kepada mereka. Rakyatlah pemilik sah tanah
itu. Hasil tanah mereka sudah membiayai jalannya pemerintahan dan memajukan
sebagian kita. Papua adalah kita. Wajah pembangunan kita dan ironinya di banyak
tempat. Wajah manusia Indonesia yang terluka dan nyaris putus asa. Pemerintah
perlu menegaskan kedaulatan ekonomi dan keberpihakan kepada rakyat demi
konstitusi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar