Selasa, 22 November 2011

Suara Pembaca, 22 November 2011


Suara Pembaca, 22 November 2011
*** Tanggapan/Komentar para pembaca akan dimuat pada Suara Pembaca ***

 

Bukan “Centeng Freeport” (Febri Diansyah, Kompas 21 November 2011)

Komentar-1 :

Jika dicermati, ternyata dana yang diterima secara langsung oleh anggota Polri dan TNI di lapangan hanya 7, 56 persen. Masih ada selisih lebih dari Rp 116 miliar. Ke mana dan siapa penikmat dana 92,44 persen lainnya?

Saya kira mudah ditebak bahwa hanya sebagian kecil saja dari seluruh dana keamanan Freeport yang diberikan secara langsung kepada aparat keamanan.  Perkiraan saya, sisa dana lainnya digunakan untuk biaya operasional pengamanan Freeport lainnya seperti transportasi, akomodasi, uang makan, dan lain-lain untuk keperluan pendukung pengamanan Freeport.  Bagaimanapun, menurut saya, kesediaan Polri untuk diaudit terkait dengan penggunaan dana keamanan tersebut merupakan sikap yang perlu mendapatkan apresiasi.

Dari sisi nominal, dana keamanan dari Freeport yang diberikan kepada Polri jumlahnya pasti sangat kecil, terutama bila dibandingkan dengan seluruh jumlah dana keamanan dari perusahaan-perusahaan pertambangan non-Freeport yang diberikan kepada Polri.  Oleh karena itu, menurut saya, masalah dana keamanan Freeport seharusnya ditempatkan dalam konteks yang lebih luas dan penyelesaiannya melibatkan Kementerian Keuangan, BPK, institusi penegak hukum, dan juga lembaga DPR yang berwenang menangani masalah regulasinya. 

Pertanyaannya, benarkah penggunaan dana keamanan yang bersumber dari perusahaan-perusahaan tambang tersebut, yang notabene sudah sejak lama dikelola oleh Polri, dari sisi regulasi keuangan negara tidak dapat dibenarkan?  Lalu, mengapa sejak dulu hal yang tidak benar tersebut dibiarkan terus terjadi tanpa tindakan tegas dari aparat hukum dan juga dari pihak auditor keuangan negara?  Selama ini, apa pendapat DPR, BPK, Kementerian Keuangan, dan juga KPK tentang penggunaan dana pengamanan obyek vital dari perusahaan untuk Polri tersebut?   

Saya sarankan kepada ICW (Febri Diansyah) untuk mendapatkan data secara lengkap dari institusi-institusi tersebut di atas guna mendukung dan memperkuat argumennya bahwa penerimaan dan penggunaan dana keamanan tersebut oleh Polri adalah ilegal (melanggar hukum). Yang saya khawatirkan adalah, dari sisi regulasi, masih banyak pasal pada undang-undang atau ketentuan hukum lainnya tentang pengelolaan keuangan negara kita yang, seperti banyak terjadi di sana-sini, bisa disalahtafsirkan.  

Sebagai contoh, soal dana hibah yang menurut Febri Diansyah harus disetor ke kas negara.  Setahu saya, dalam praktek tidak semua dana hibah (terutama yang bersumber dari luar negeri) harus disetor ke kas negara. Dan itu mempunyai payung hukumnya dan diputuskan berdasarkan pertimbangan karena pihak pemberi hibah pada umumnya tidak menghendaki mata rantai birokrasi yang terlalu panjang. Selain itu, mereka juga ingin terlibat langsung dalam pengawasan penggunaan dana hibah tersebut di lapangan, sekaligus untuk memastikan bahwa dana hibah tersebut tidak dikorupsi oleh aparat-aparat negara yang tidak bertanggungjawab.      

(Bayu Biru, bayu_1412@yahoo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar